Koran Sulindo – Kerumunan orang berbaju kotak-kotak itu tiba-tiba seperti terdiam sejenak, sebelum seorang ibu meledak tangisnya dan seorang anak muda berteriak-teriak ke arah gedung Kementerian Pertanian di Ragunan, pekan lalu. Di gedung itu, baru saja Guberbur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) divonis hukuman penjara 2 tahun dan langsung ditahan.
Kesedihan di jalanan depan ruang sidang darurat di Jakarta Selatan itu tak berhenti hanya menjadi gerutuan di media sosial atau unjuk rasa. Beberapa dari mereka kemudian berkumpul malam-malam di Patung Proklamasi Jakarta Pusat menyalakan lilin, seolah dengan diam menyatakan Ahok tak sendiri dan tak dibiarkan sendirian. Seperti cendawan, lilin-lilin juga dinyalakan di malam-malam di Yogyakarta, Pekanbaru, Bitung, Medan, Manado, Sorong, Atambua, Kupang, Rote, Soe, Toraja, Batam, Alor, Surabaya, Minahasa, Balikpapan, Semarang, Bandung. Lilin-lilin juga dinyalakan di Inggris, Jepang, Belanda, Amerika Serikat, Australia, Swedia…
Aksi lilin untuk Ahok yang berlangsung di Sorong, Papua Barat, adalah unjuk rasa pertama kalinya di sana yang mengusung isu bukan Papua.
Gubernur beretnis Cina beragama Kristen yang resmi pada 19 November 2014 menggantikan Joko Widodo yang terpilih menjadi Presiden RI itu telah membangkitkan kesadaran bahwa negara ini di ujung tanduk ke arah pecah berkeping jika dibiarkan.
”Saya kira sekarang kita tak lagi bisa cuma diam dan pasif karena minoritas,” kata Inez Sutanto, seperti dikutip BBC Indonesia.
Mulai Pilkada Jakarta lalu, Indonesia memang menyaksikan perbedaan etnis dan agama sangat dominan dalam kampanye, juga beberapa aksi unjuk besar-besaran kaum muslim yang merasa agamanya dinistakan.
“Ini ekspresi dari silent majority,” kata ahli psikologi politik Hamdi Muluk, seperti dikutip Metrotvnews.com.
Ekspresi itu merupakan simbol keprihatinan terhadap kondisi bangsa saat ini. Mereka capek dengan penggunaan politik identitas yang mula pertama berlangsung pada zaman pilpres 2014, dalam pertarungan politik, namun menemukan bentuknya yang paling brutal dalam Pilkada Jakarta lalu.
“Belum pernah politik identitas dalam bentuk suku, agama, ras ini dimainkan dengan sangat keras,” kata Hamdi.
Seluruh rakyat Indonesia yang setia membatinkan Pancasila di dalam kehidupan sehari-hari, yang sejak lama sebenarnya sudah biasa dan menerima keragaman, tapi yang selama ini diam tertelan oleh teriakan keras para pemakai politik SARA itu sebagai senjata, pelan-pelan mulai bersuara.
Aksi itu seolah mendengarkan pidato Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, saat merayakan ulang tahun partainya awal tahun lalu. “Kita tidak perlu reaksioner, tetapi sudah saatnya silent majority bersuara dan menggalang kekuatan bersama. Saya percaya mayoritas rakyat Indonesia mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika.”
Tes pada Toleransi
Kasus Ahok memang tes pada toleransi dan keberagaman agama dan budaya di Indonesia. Kasus ini tak boleh dibiarkan membuka jalan yang membuat impian para pendiri bangsa ketika membangun negara ini hancur. Vonis kasus penodaan agama pada Ahok bersatupadu dengan ancaman atas kebhinnekaan di Indonesia.
Tak pelak dalam berbagai orasi di antara lilin dan gelap malam di berbagai daerah hampir selalu muncul poster-poster atau teriakan “Pancasila Harga Mati!”, atau “Jangan Sampai Indonesia terpecah-belah”. Aksi-aksi itu juga selalu diwarnai kor yang mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan bersambung dengan lagu-lagu perjuangan nasional.
Namun Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat berharap aksi lilin pendukung Ahok itu dihentikan karena malah merugikan Ahok.
“Jadi ini bukan hanya persoalan Pak Ahok. Oleh karena itu satu ‘warning’ bagi kita semua jangan sekali-sekali gunakan isu-isu sara untuk kepentingan kepentingan politik praktis. Ini kan sudah bukan persoalan Ahok saja ini persoalan bangsa,” kata Djarot, di Balai Kota, Jakarta, akhir pekan lalu.
Sementara itu peneliti Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun meminta rasional dalam melihat kasus penodaan agama Ahok. Kasus tidak bisa dilepaskan dari adanya pertarungan politik dalam penyelenggaraan Pilkada serentak 2017 di DKI. Isu SARA atau toleransi secara terang-benderang digunakan elite politik untuk kepentingan kekuasaan dan memperkeruh suasana selama Pilkada.
“Isu SARA yang muncul tersebut memberikan efek sosial berupa kontestasi ideologi yang ekstrem di masyarakat,” kata Ubedilah, dalam sebuah diskusi bertajuk ‘Dramaturgi Ahok’ di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, pekan lalu.
Efek itu diperparah dengan adanya pengerahan massa sebelum dan sesudah putusan pengadilan kasus Ahok dijatuhkan. Gerakan tidak natural itu karena provokasi yang didasari kepentingan politik.
Sudahlah, sekarang ini Ahok sedang menjalankan tuntutan vonis majelis hakim di tahanan Mako Brimob Depok. Ia dan tim hukumnya sudah menyatakan naik banding, juga kejaksaan yang dalam pengadilan itu hanya menuntut Ahok 1 tahun penjara, separuh dari vonis hakim.
Sebuah petikan surat Ahok dari dalam penjara, yang diperdengarkan pada para pendukungnya di depan Mako Brimob dalam bentuk rekaman suara, ini memperjelas peta besar tentang apa yang terjadi dalam perpolitikan Indonesia selama 3 tahun terakhir setelah Jokowi memenangkan pertarungan kursi presiden.
“Teman-teman seperjuangan, terima kasih untuk cinta dan dukungan yang sudah kalian tunjukan buat saya. perjuangan kita belum selesai. bahkan justru baru dimulai dengan babak yang baru juga. teruslah menjaga nyala api perjuangan, sekuat apa pun angin yang mencoba untuk memadamkan api itu.” [DAS]