Inflasi Tinggi, Mata Uang Kripto Mulai Dilirik

Ilustrasi, mata uang kripto - CNBC

Krisis ekonomi global yang ditandai meningkatnya inflasi menjadi salah satu faktor pemicu meluasnya peredaran aset kripto. Masyarakat menilai investasi pada aset kripto seperti Bitcoin atau Ethereum lebih aman dibanding mempertahankan aset berupa mata uang.

Angka inflasi telah meningkat selama sepanjang tahun 2021, bahkan di Amerika Serikat (AS), data pemerintah yang dirilis menunjukkan harga konsumen naik lima persen secara tahunan pada bulan Oktober, tertinggi sejak 1990.

Di wilayah Eropa, harga konsumen naik 4,1 persen, tertinggi dalam 13 tahun. Di Inggris, peningkatannya mencapai 4,2 persen. Inflasi di AS, Eropa dan Inggris itu meningkat lebih dari dua kali lipat dari target yang ditetapkan oleh masing-masing bank sentral.

Tingginya inflasi menyebabkan penurunan nilai mata uang yang kemudian tercermin dalam harga barang kebutuhan sehari-hari. Selain itu kemerosotan nilai mata uang juga terlihat pada kurs mata uang tiap negara terhadap dolar AS.

Misalnya saja mata uang rupee India telah turun 17,5% terhadap dolar dalam 5 tahun terakhir, sedangkan rupiah mengalami depresiasi sebesar 50% terhadap dolar AS sejak tahun 2011 hingga 2020.

Kenyataan ini menyebabkan masyarakat mulai mencoba berinvestasi pada aset digital demi melindungi nilai asetnya. Peminat aset digital berbentuk mata uang kripto semakin bertumbuh di seluruh dunia.

Survei terbaru dari bursa cryptocurrency AS Gemini mendapati hampir separuh dari pemilik mata uang kripto di Amerika Serikat, Amerika Latin, dan Asia Pasifik membeli aset digital untuk pertama kalinya pada 2021. Survei itu dilakukan terhadap hampir 30.000 orang di 20 negara pada November 2021 hingga Februari 2022.

Hasil ini menunjukkan tahun 2021 adalah momentum gebrakan untuk industri kripto didorong oleh inflasi pada negara-negara yang telah mengalami devaluasi mata uang.

Brasil dan Indonesia memimpin dunia dalam adopsi kripto, menurut temuan Gemini, dengan 41% orang yang disurvei di negara-negara tersebut melaporkan kepemilikan kripto, dibandingkan dengan 20% di Amerika Serikat dan 18% di Inggris.

Gemini menemukan bahwa 79% orang yang melaporkan mulai memiliki aset kripto tahun lalu dengan alasan membeli aset digital untuk potensi investasi jangka panjang.

Hanya 16% responden di Amerika Serikat dan 15% di Eropa yang setuju bahwa mata uang kripto melakukan lindung nilai terhadap inflasi, dibandingkan dengan 64% di Indonesia dan India.

Sementara itu, hanya 17% orang Eropa yang melaporkan bahwa mereka memiliki aset digital pada 2021, dan hanya 7% dari mereka yang saat ini tidak memiliki kripto mengatakan bahwa mereka berminat membeli aset digital.

Persediaan Bitcoin menipis

Hampir setiap mata uang kripto memiliki batasan jumlah peredaran, maka dengan jumlah yang terbatas dan meningkatnya jumlah peminat dapat menyebabkan kenaikan harga secara signifikan.

Persediaan mata uang kripto, Bitcoin, yang siap untuk ditambang saat ini kian menipis. Seperti dikutip Gizchina, Senin (4/4), kini sudah 19 juta bitcoin telah ditambang dan menyisakan 2 juta bitcoin terakhir yang siap ditambang. Prediksi ini persis seperti yang diprediksi oleh Satoshi Nakamoto, sang pencipta mata uang kripto Bitcoin.

Satoshi Nakamoto memang memutuskan untuk membatasi jumlah bitcoin hingga 21 juta koin. Setelah 21 juta Bitcoin telah ditambang, maka akan habis dan tak bisa ditambang lagi. Menurut para ahli, perlu menunggu hingga 2140 agar bitcoin keluar lagi dari penambangan.

“Setelah jumlah koin yang telah ditentukan telah dirilis, insentif dapat sepenuhnya didanai oleh biaya transaksi dan tidak lagi membutuhkan inflasi,” kata Satoshi Nakamoto, yang identitasnya masih belum diketahui, dalam Buku Putih.

“Penerbitan bitcoin bersifat matematis, dan pada akhirnya dapat diprediksi. Ini lah mengapa orang dapat memperkirakan kerangka waktu antara perubahan penyesuaian kesulitan dan kapan halving berikutnya terjadi.” kata Chainalysis. [PTM]