Ilustrasi hegemoni dolar [Foto: Istimewa]

TINGGINYA angka inflasi di Amerika Serikat (AS) mendorong Federal Reserve atau The Fed – bank central AS – menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin pada hari Rabu (27/7). Kenaikan 0,75 persen ini adalah kali kedua setelah kenaikan pada bulan Juni.

“Inflasi tetap tinggi, mencerminkan ketidakseimbangan penawaran dan permintaan terkait pandemi, harga pangan dan energi yang lebih tinggi, dan tekanan harga yang lebih luas,” jelas Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang sepakat menaikkan level suku bunga ke kisaran antara 2,25% dan 2,50%.

FOMC menambahkan bahwa pihaknya tetap sangat memperhatikan risiko inflasi. Meski kenaikan pekerjaan tetap kuat, para pejabat mencatat dalam pernyataan kebijakan baru bahwa indikator pengeluaran dan produksi baru-baru ini telah melunak. Kondisi ini mencerminkan bahwa kenaikan suku bunga yang terjadi sejak Maret mulai menampakkan hasil.

Setelah kenaikan 75 bps bulan Juni dan kenaikan yang lebih kecil di bulan Maret dan Mei, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan dengan total 225 basis poin tahun ini.

The Fed mengerek suku bunga untuk memerangi inflasi yang mencapai level tertinggi sejak 1980-an. Berdasarkan data ekonomi AS, inflasi bulan Juli tercatat sebesar 9,1 persen dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya.

Sebagian besar pejabat The Fed memandang angka ini netral dan masih bisa diterima oleh pasar.

Dampak kenaikan suku bunga

Meski disambut baik oleh pasar, naiknya suku bunga ke level 2,50 persen diprediksi akan semakin membebani masyarakat AS terutama yang memiliki kewajiban membayar kredit.

Diperkirakan kewajiban pembayar kredit baik itu pengguna kartu kredit maupun kredit properti akan melonjak sebesar US$ 4 Miliar pada tahun ini akibat naiknya suku bunga.

Hal lain yang dikeluhkan adalah perlambatan ekonomi sebagai dampak pengetatan keuangan dan tingginya bunga pinjaman untuk permodalan. Perlambatan ekonomi ini dikhawatirkan akan memicu resesi ekonomi di AS.

Mantan Menteri Keuangan Larry Summers, salah satu pakar yang melihat kemungkinan besar terjadinya resesi. Ekonom Harvard itu mencatat bahwa tidak pernah dalam 65 tahun terakhir inflasi berada di atas 4%.

Melonjaknya inflasi telah berubah menjadi krisis biaya hidup yang serius di AS dan sebagian besar negara di dunia dan akan mendorong risiko resesi. Menurut para pakar ada kemungkinan sebesar 40% bahwa resesi akan terjadi di AS di tahun mendatang. Peluang resesi itu juga meningkat untuk zona euro dan Inggris. [DES]