Pidato kenegaraan Preisden Joko Widodo tentang nota keuangan dan RAPBN 2017 di gedung DPR, Selasa (16/8)/setkab.go.id

Koran Sulindo – Ekonomi Indonesia yang hanya tumbuh stagnan di kisaran lima persen akan menimbulkan beban fiskal, setelah berkurangnya produktivitas masyarakat dan rendahnya pendapatan per kapita. Gejala stagnasi pertumbuhan ekonomi itu bisa menimbulkan fenomena “tua sebelum kaya”.

“Kalau tua sebelum kaya, beban negara dengan aging population yang sudah berhenti kerja jadi enggak bayar pajak dan masih hidup, butuh kesehatan dari BPJS Kesehatan. Harus ada beban fiskal yang besar,” kata ekonom M Chatib Basri, saat menjadi pembicara di acara DBS Bank Indonesia, di Jakarta, Selasa (21/11), seperti dikutip antaranews.com.

Fenomena itu adalah beban anggaran negara yang bertambah karena populasi penduduk dengan usia yang tak produktif, lebih banyak dibanding penduduk usia produktif.

Chatib memperkirakan fenomena itu bisa terjadi di Indonesia pada 2050, ketika negara harus mengucurkan anggaran untuk jaminan kesehatan bagi banyak penduduk usia tua.

Menurut pengajar di Universitas Indonesia itu, fenomena seperti itu kali ini dihadapi Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Namun negara-negara itu mempunyai bekal memadai karena pendapatan penduduk mencapai 40.000 dolar Amerika Serikat perkapita.

Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata lima persen, maka pada 2050 pendapatan perkapita Indonesia hanya ada di kisaran 20.000 dolar AS, dengan jumlah penduduk yang sangat banyak.

Manfaat Momentum

Tahun lalu ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,02 persen. Pada 2017, target pemerintah adalah 5,2 persen dan saat ini sudah memasuki triwulan akhir tahun. Tahun depan, RAPBN menargetkan di angka 5,4 persen.

Penyumbang angka pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi dalam negeri dan belanja modal serta pembangunan pemerintah.

Chatib menilai pemerintah perlu waktu untuk menaikkan tingkat pertumbuhan konsumsi yang saat ini 4,93 persen pada kuartal III 2017. Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III 2017 yang sebesar 5,06 persen ditopang ekspor komoditas. Dengan meningkatnya ekspor komoditas, maka akan ada perbaikan harga yang berdampak pada peningkatan konsumsi masyarakat.

Chatib menyebut sejumlah faktor eksternal yang dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018. Menurutnya,  pertumbuhan ekonomi 2018 bisa mencapai 5,2 sampai 5,3 persen, berbeda dengan target pemerintah sebesar 5,4 persen.

“Sekarang situasi eksternalnya jauh lebih baik, itu sebabnya Filipina bisa tumbuh 6,9 persen di kuartal III, Vietnam bisa 7,5 persen. Kita harus manfaatkan momentum ini,” katanya.

Pertumbuhan ekonomi Vietnam bisa lebih tinggi karena negara itu berbasis manufaktur. Sementara Indonesia berbasis sumber daya alam (SDA) lainnya seperti Brasil, Meksiko, dan Nigeria.

Jika dibandingkan 3 negara di atas, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terbilang baik.

Indonesia diuntungkan dengan bonus demografi saat ini, yaitu dominasi penduduk usia muda, maka konsumsi mestinya berjalan dan bahkan meningkat.

Penerimaan negara dari pajak juga bisa terus tumbuh karena penduduknya dalam usia produktif yang memiliki pekerjaan dan memiliki hasrat konsumsi.

“Penduduk dengan usia muda akan mendapatkan penghasilan dan membayar pajak. Mereka juga cenderung berbelanja, juga membeli rumah, apartemen, dan mobil,” kata Chatib. [DAS]