Ilustrasi/javasolo.com

Koran Sulindo – Indonesia adalah komunitas abstrak yang mengikat semua penduduknya. Kesadaran kebangsaan itu,  mengutip almarhum Benedict Anderson dalam bukunya “Imagined Community”, tidaklah muncul karena kesamaan ras atau agama. Ia dibentuk rasa persaudaraan antar manusia yang tak saling kenal satu sama lain, tapi berimajinasi sama: bersama-sama bagian dari sebuah proyek bernama Indonesia.

Dalam usianya yang baru 71 tahun, masih muda dan imut untuk sebuah konsep bernama bangsa itu, Indonesia hari-hari ini menghadapi gelombang pasang radikalisme agama (Islam). Masa ketika hukum bisa dipentaskan di ruang pengadilan karena tuntutan gelombang massa berbendera agama; masa ketika kitab suci lebih banyak dikutip dan disebarkan daripada kontitusi di sebuah republik sekuler.

Indonesia menjadi identitas politik ketika Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto Mangunkusumo mengusung gagasan modern dalam berpolitik melalui Indische Partij (Partai Hindia) pada 25 Desember 1912. Inilah partai politik pertama di nusantara yang membangun kesadaran politik dan kebangsaan Indonesia tanpa membedakan sekat perbedaan suku-rasial dan keyakinan. Partai ini memicu pergerakan kebangsaan di kalangan pemuda.

Tatkala Sumpah Pemuda dibacakan pada 28 Oktober 1928, nama Indonesia menjadi  identitas pemersatu sebuah bangsa modern baru di Asia. Sumpah itu merekatkan suku, agama, dan sekat primordial.

Pada 1 Juni 1945, Soekarno berpidato di hadapan BPUPKI yang bersidang tiga hari berturut mencari dasar negara. “Kita tidak mendirikan negara buat satu orang, satu golongan, tetapi buat semua sehingga dasar pertama untuk negara Indonesia adalah dasar Kebangsaan,” kutipan isi pidato Bung Karno hari itu.

“Kita mendirikan suatu negara kebangsaan Indonesia. Kita bukan hanya membicarakan bangsa, melainkan juga tanah airnya. Rakyat Minangkabau yang ada dimana-mana merasakan “kehendak akan bersatu” walaupun Minangkabau hanya sebagian kecil dari nusantara, demikian juga masyarakat Jogja, Sunda dan Bugis. Nationale staat meliputi seluruh wilayah Indonesia yang merupakan wilayah kesatuan.”

Nama Indonesia menjadi sebuah negara bangsa baru di dunia.

Di Ambang Bahaya

Namun hari-hari ini Indonesia di ambang bahaya.

“Kalau hanya melihat ‘kami’ dan ‘mereka’, yang dilihat hanya perbedaan, persaingan, mungkin sentimen. Kita ditantang untuk betul-betul menghayati ‘kita bersama’,” kata Rohaniwan Frans Magnis Suseno, dalam acara refleksi akhir tahun bertajuk “Tantangan Merawat Kebangsaan Indonesia”.

Acara di Museum Nasional, Jakarta, pekan lalu itu digelar bersama antara lain DPP Projo (Pro Jokowi), Ikatan Sarjana Katolik Indonesia, Jaringan Duta Joko Widodo, dan Iluni UI.

Agamawan dan ahli filsafat itu lalu mencontohkan tokoh-tokoh Islam pada awal berdirinya Indonesia, yang tak menuntut kedudukan istimewa dalam Undang-Undang Dasar 1945.

“Itu sebetulnya menjadi modal dasar luar biasa,” katanya.

Sementara itu Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsudin, mengatakan ancaman perpecahan atas kemajemukan Indonesia bisa diselesaikan melalui dialog. Ia mengibaratkan persoalan itu seperti proses berumah tangga.

“Ibarat berumah tangga yang besar, ada anak yang berbeda pendapat itu biasa. Namun saya yakin rumah tangga itu akan baik-baik saja. Dan itulah yang dihadapi Indonesia sekarang,” kata Din.

Kecemasan akan keberagaman Indonesia juga dikatakan Wakil Ketua DPD GKR Ratu Hemas, yang melihat kesatuan bangsa hendak dirusak oknum-oknum yang memiliki kepentingan politik. Menurut Hemas suasana tak kondusif belakangan ini akibat adanya kelompok-kelompok yang memanfaatkan isu agama untuk kepentingan politik.

“Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana kesatuan dan persatuan Indonesia sedang diuji dengan berbagai cara yang mendominasi ruang publik, dalam kepentingan yang bertentangan dengan spirit bangsa Indonesia sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika,” kata Hemas.

Sementara itu Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan modal budaya bangsa Indonesia untuk merawat jiwa kebangsaan sangat kuat. Sayangnya belum tahu cara mengarahkan modal itu menjadi kekuatan konkret.

Salah satu tantangan terdepan saat ini adalah bagaimana bangsa ini menyikapi transformasi budaya dengan dominannya teknologi digital.

“Sebagai kolektif kita sesungguhnya belum tahu persis bagaimana cara memanfaatkan teknologi digital ini untuk kebaikan bersama,” katanya.

Teknologi digital yang punya potensi yang luar biasa justru meng-alienasi satu sama lain.

“Kalau kita lihat dalam group-group WA dalam satu tahun terakhir ini mungkin isinya pertengkaran terus. Bukan suatu percakapan yang beradab tentang bagaimana sebaiknya membangun, tetapi suatu pertengkaran. Kita dengan bersemangat bertempur untuk sesuatu yang kebenarannya saja belum tentu. Stres komunal. Ini perkara kebudayaan,” kata Hilmar.

Situasi saat ini menurut Hilmar adalah karakteristik sebuah masyarakat yang tidak memiliki kendali penuh terhadap teknologi. Secara kolektif masyarakat Indonesia gagap dengan transformasi digital. Kegagapan ini lalu melahirkan macam-macam kegelisahan.

“Dalam pembicaraan-pembicaraan diskusi publik yang sering saya hadiri, sering kali orang bertanya, sebetulnya arah bangsa ini ke mana? Padahal sederhana sekali. Tujuan didirikannya republik ini jelas tertera dalam Pembukaan UUD ’45. Jadi tidak ada lagi diskusi tentang arah,” kata Hilmar.

Alinea IV

Tujuan didirikan Indonesia, lebih tepat lagi, terletak di alinea IV Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Garis bawah di kalimat “melindungi segenap bangsa Indonesia”. Indonesia itu adalah segenap suku, agama, dan ras, yang bersatu dalam ikatan sama. Tak ada yang lebih besar, tak ada yang lebih benar.

“Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi setiap orang Indonesia hendaknya bertuhan dengan Tuhannya sendiri. Hendaknya rakyat bertuhan secara kebudayaan, dengan tiada egoisme agama. Marilah kita jalankan agama secara berkeadaban, saling menghormati. Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur,” kembali kutipan pidato Bung Karno pada tanggal yang kini diresmikan sebagai Hari Lahirnya Pancasila itu.

Bung Karno meyakini tidak ada satu pun dasar negara yang menjelma menjadi realitas tanpa perjuangan.

“Jika ingin merealisasikan Pancasila , perlu perjuangan. Dengan berdirinya Negara Indonesia tidak berarti perjuangan selesai. Justru kita baru memulai perjuangan, tetapi sifat dan coraknya lain.”

Sifat dan corak perjuangan Indonesia terkini memang lain daripada tahun proklamasi kemerdekaan itu, namun mungkin dengan musuh yang lebih sulit dan licik.

Benar katamu, Bung, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu lebih susah karena melawan bangsamu sendiri.” [Didit Sidarta]