Koran Sulindo – Sebagai anak bangsa, saya pribadi merasa bangga atas lancar dan suksesnya penyelenggaraan Asian Games 2018. Lebih dari itu, saya salut dengan perjuangan para atlet kita, yang telah mempersembahkan kemampuan terbaik mereka, sehingga menempatkan Indonesia di posisi keempat juara di tengah persaingan yang sangat ketat di antara para atlet se-Asia. Dan, kita sama-sama mengetahui, Asian Games merupakan pesta atau kompetisi olahraga terbesar kedua setelah Olimpiade. Bravo!

Rasanya tak sia-sia pemerintah menganggarkan Rp 10,3 triliun dana dari APBN 2015-2018 untuk perhelatan akbar ini. Di luar itu, pemerintah juga mengeluarkan investasi di sektor konstruksi kurang-lebih Rp13,7 triliun untuk Jakarta dan Palembang, yang juga pembiayaannya dari APBN sejak 2015 hingga 2018. Artinya, tak kurang dari Rp 24 triliun dikucurkan untuk Asian Games 2018.

Namun, tentu saja, semua fasilitas yang telah dibangun, berikut infrastrukturnya, itu dapat dimanfaatkan masyarakat meski Asian Games 2018 telah usai. Juga dapat dijadikan ajang atau tempat pesta olahraga berkaliber internasional lainnya.

Pada Oktober 2018 nanti, misalnya, fasilitas-fasilitas yang telah dibangun itu, terutama yang di Jakarta, akan digunakan untuk Asian Para Games 2018. Saya berharap, ajang kompetisi olahraga untuk para atlet difabel se-Asia ini juga bisa lancar dan menuai kesuksesan yang sama dengan penyelenggaraan Asian Games 2018.

Menyaksikan itu semua, saya pun menjadi semakin kagum dan bangga dengan apa yang dilakukan Presiden Soekarno dalam menyiapkan Asian Games 1962 di Jakarta. Kondisi pada masa itu jelas sangat jauh berbeda dengan masa kini. Indonesia belum punya banyak dana dan teknologi yang ada juga belum secanggih sekarang.

Tapi, sejarah mencatat, Indonesia sukses menyelenggarakan acara internasional tersebut. Padahal, itulah kali pertama Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan kompetisi olahraga internasional. Meski perolehan medalinya tidak sebanyak atlet sekarang, prestasi atlet Indonesia ketika itu menempati urutan kedua se-Asia.

Untuk menyiapkan Asian Games 1962, dengan dana terbatas, sejumlah infrastruktur besar pun dibangun Pada 8 Februari 1960, misalnya, Bung Karno menancapkan tiang pancang pertama Stadion Utama Gelora Bung Karno, yang waktu itu disaksikan Wakil Perdana Menteri Uni Soviet, Anastas Mikoyan. Memang, pembangunan stadion utama didanai kredit lunak dari Uni Soviet, yang kepastiannya baru diperoleh pada 23 Desember 1958.

Stadion Utama Gelora Bung Karno kemudian selama bertahun-tahun menjadi stadion sepakbola terbesar di Asia Tenggara dan salah satu yang terbesar di dunia. Stadion utama ini bisa menampung 100.000 penonton.

Juga dibangun stadion renang berkapasitas 8.000 penonton, yang terdiri dari kolam tanding 50 meter, kolam loncat indah, kolam pemandian, dan kolam anak. Dibangun pula stadion tenis berkapasitas 5.200 penonton; stadion madya berkapasitas 20.000 penonton; Istana Olahraga (Istora) berkapasitas 10.000 penonton; Gedung Bola Basket berkapasitas 3.500 penonton, dan berbagai fasilitas olahraga lainnya.

Masih berhubungan dengan itu didirikan pula Gedung Televisi Republik Indonesia Pusat; Patung Selamat Datang; Jembatan Semanggi; Jalan M.H. Thamrin, dan; Hotel Indonesia untuk menginap para tamu Asian Games. Bandar Udara Kemayoran juga diperluas, sebagai pintu masuk masuk kontingen Asia.

Proses pembangunan bermacam infrastruktur tersebut bisa dikatakan sangat singkat, hanya kurang-lebih setahun. Wajar jika banyak orang dari berbagai negara berdecak kagum kepada bangsa Indonesia. Apalagi, untuk pembangunan Kompleks Gelora Bung Karno itu harus dilakukan pula “bedol desa”, pemindahan penduduk yang ada di sana. Dan, semua itu dilakukan tanpa kegaduhan dan ribut-ribut.

Jadi, dari dua kali menyelenggarakan Asian Games dan sukses, sudah selayaknya kita berbangga dan percaya diri bahwa bangsa kita punya kemampuan besar yang dapat diandalkan. Yang penting: kita tetap bersatu sebagai satu bangsa, bahu-membahu membangun negeri ini. [Emir Moeis]