Ilustrasi/theconversation.com

Koran Sulindo – Saat ini sudah tidak boleh lagi bergantung pada ekonomi berbasis fosil karena cadangan fosil di berbagai negara sudah menurun, termasuk Indonesia. Pada tahun 2046 mendatang dikhawatirkan Indonesia akan mengalami defisit energi bila dalam waktu dekat tidak ditemukan sumber-sumber energi baru yang signifikan.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha memaparkan hal ini dalam acara Diskusi Nasional Kebijakan Energi di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Rabu (26/4). “Ini harus menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia,” tegasnya.

Dikatakan Satya, penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) ini tidak hanya sebagai upaya untuk mengurangi pemakaian energi fosil saja, namun juga untuk mewujudkan energi  bersih atau ramah lingkungan. Indonesia, lanjutnya, berkontribusi menyumbangkan emisi karbon terbesar dari sektor Land Use Land Use Change and Forsetry (LULUCF) sebanyak 50 %. Sedangkan dari sektor energi menumbangkan emisi karbon hingga 30 % dan dari sektor transportasi mencapai 12 %.

“Malahan 90 % polusi udara ditimbulkan dari transportasi darat,” kata Satya lagi.

Sebagaimana diketahui  pencemaran udara ini berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernafasan di bagian atas. “Sebut saja, di Jakarta terdapat sekitar 1,9 juta penduduk Jakarta yang menderita akibat polusi pada tahun 2010 lalu,” ujarnya.

Nah, menurut Satya, persoalan polusi ini bisa ditekan melalui kebijakan pemerintah khususnya di sektor energi dengan pemanfaatan EBT yang ramah lingkungan.  Dengan menjalankan kebijakan tersebut maka akan bisa mengurangi emisi karbon dan mewujudkan kemandirian energi.

Diungkapkan Satya, bauran energi nasional telah dirancang untuk terus meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Pada tahun 2015 bauran energi nasional terdiri dari 39% minyak bumi, 22% gas, 29% batu bara, dan 10 % EBT. Selanjutnya pada 2025 bauran energi nasional direncanakan menjadi 25% minyak bumi, 22% gas, 30% batu bara dan 23% EBT. Lalu bauran energi nasional di tahun 2050 menjadi 20% minyak bumi, 24% gas, 25% batu bara, dan 31% EBT.

“Yang menjadi persoalan saat ini adalah pencapaian targetnya. Diperlukan kerja sama lintas sektoral agar bisa mencapai target dan terwujud Indonesia yang memiliki kemandirian energi,” tuturnya.

Sementara Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam sambutan tertulis menyatakan perlunya kebijakan yang teregulasi dan perencanaan secara komperehensif dalam pelaksanaan kebijakan energi nasional. Hal tersebut dibutuhkan untuk mendukung kebijakan baik di pusat maupun daerah.

Adanya perubahan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dari  UU No. 32 Tahun 2004 bergeser menjadi UU No. 23 tahun 2014, menurut Tjahjo, telah menimbulkan kewenangan pengelolaan sejumlah sektor dari daerah  ke pusat. Antara lain pada sektor pertambangan, kehutanan, dan pendidikan terjadi pengalihan kewenangan dari daerah ke provinsi. Daerah berhak menetapkan kebijakan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah pada pasal 17 ayat 1.

Tjahjo juga menyoroti pentingnya pembinaan dan pengawasan umum dan teknis dalam pengelolaan energi. Sinergi antara kementerian teknis dan kemendagri diperlukan untuk pembinaan dan pengawasan pada daerah otonom dalam rangka mencapai kemandirian energi.

“Jika mencermati kebijakan energi antara pusat dan daerah maka untuk mendukung kebijakan energi dibutuhkan regulasi, perencanaan keuangan, bimbingan dan pengawasan yang dikelola dengan baik,” tegasnya. [YUK]