Koran Sulindo – Kemerdekaan memiliki ruang problematisnya sendiri. Simpang-siur suara dari orang-orang yang menghirup udara kemerdekaan bisa bergesekan, bahkan berbenturan, yang dapat memicu ledakan demi ledakan. Juga lalu-lalang pergerakan orang dalam mengisi kemerdekaan bisa bertabrakan, yang dapat menimbulkan korban, bahkan mengoyak persatuan.

Karena itu, perjuangan mengisi kemerdekaan tak selalu menjadi lebih mudah dibanding dengan perjuangan mengusir penjajah. Bung Karno pun sudah memprediksi ini semasa hidupnya: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Namun, seperti kata penyair Toto Sudarto Bachtiar dalam sebuah puisinya: “Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara, jangalahn takut padanya”. Karena, di alam kemerdekaan terbuka peluang besar bagi manusia untuk berada atau ditempatkan sebagaimana layaknya manusia, bukan diperlakukan bak hewan atau budak.

Juga dalam alam kemerdekaan dimungkinkan diminimalkannya praktik-praktik diskriminatif. Dalam sebagian besar urusan, manusia satu sama lain berada dalam posisi yang sepadan—suatu hal yang tak mungkin bisa didapatkan di alam penjajahan.

Lalu, bagaimana mengatasi atau memecahkan berbagai masalah yang menjadi keniscayaan dalam alam kemerdekaan? Sejarah mencatat jawaban atas pertanyaan tersebut: hukum harus senantiasa dijadikan panglima!

Dalam sejarah di negeri kita sendiri, masyarakat dari daerah-daerah yang begitu kuat berpegang pada hukum adatnya menjadi masyarakat yang paling belakangan takluk oleh aksi penjajahan dari bangsa asing. Aceh, Batak, Bangka, dan Minangkabau baru bisa ditaklukkan oleh penjajah asing pada abad ke-19. Bali, Sulawesi Selatan, Toraja, Ternate, dan Tidore baru abad ke-20. Penjajah itu dapat mengalahkan bangsa ini karena menguasai berbagai ilmu pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan tentang budaya bangsa ini.

Wajar jika kemudian para pendiri Republik Indonesia juga menjadikan negara ini sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan. Mereka tentulah belajar dari sejarah kearifan masyarakat masa lalu. Karena, dengan hukum menjadi panglima, rakyat di negara ini lebih punya kepastian hidup, bisa saling menghargai satu sama lain, sehingga terjadi ikatan yang kuat di antara rakyat. Sebaliknya, jika hukum diabaikan atau dipermainkan, kohesivitas sebagai satu bangsa bisa merenggang, yang pada gilirannya memicu konflik dan prahara yang berkepanjangan.

Inilah yang sedang kita alami belakangan ini di Tanah Air. Karut-marutnya dunia hukum kita selama puluhan tahun telah “membuahkan hasil yang gemilang” sekarang: bangsa ini terpolarisasi dalam berbagai kepentingan yang sangat banyak dan seolah tidak punya tujuan bersama sebagai suatu bangsa. “Bhinneka tanpa Tunggal Ika”. Akibatnya: ikatan persaudaraan sebangsa menjadi rapuh, kalau tidak ingin dikatakan amburadul. Ketatanegaraannya pun bisa dibilang kacau.

Negara ini seakan bukan lagi negara hukum, tapi telah berubah menjadi negara kekuasaan. Yang berkuasalah yang paling dominan menentukan hitam-putihnya negara ini. Dan, yang berkuasa itu bukan saja orang-orang yang mendapat amanat untuk menjalankan pemerintahan, tapi juga yang memiliki kekuatan modal besar, baik modal finansial, modal intelektual, maupun modal sosial. Yang punya kekuasaan kecil, apalagi tidak punya kekuasaan apa-apa, hanya menjadi keset di depan pintu istana—padahal jumlahnya masih sangat banyak di negara ini.

Prinsip-prinsip mulia dalam Pancasila juga akhirnya hanya menjadi pajangan di sekolah atau instansi pemerintah. Kalau ini dibiarkan dan hukum hanya dijalankan seperti apa adanya sekarang, kemungkinan bangsa dan negara ini pecah berkeping-keping pun menjadi sangat besar. Karena, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan populasi lebih dari 200 juta jiwa, dengan begitu banyak jumlah etnis, bahasa, budaya, agama, keyakinan, dan sebagainya, yang di dalamnya sudah menyimpan potensi konflik yang sangat besar—bahkan sudah sering terjadi. []