Ilustrasi/istimewa

Koran Sulindo – Indonesia belum mempunyai skema besar yang jelas dan sistematis untuk penanganan terorisme.

“Sebagian besar kebijakan pemerintah untuk menangani terorisme cenderung reaktif,” kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakkir, dalam diskusi pemaparan hasil kajian kekerasan ekstremisme LIPI, di Jakarta, Rabu (8/11), seperti dikutip antaranews.com.

Padahal Indonesia salah satu negara suaka besar bagi para pelaku kejahatan ekstrimisme bersenjata di Asia Tenggara, dan sejak 2.000 sering menjadi target serangan teror dalam bentuk bom maupun senjata api dengan 22 insiden yang tercatat. Artinya lebih dari setahun sekali negara ini mengalami serangan terorisme dengan korban ratusan orang.

Menurut Amin, pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 2 tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat, yang ditujukan sebagai dasar hukum untuk membubarkan organisasi radikal, hanyalah langkah reaktif menghadapi tuntutan masyarakat, bukan bagian dari strategi besar penanggulangan terorisme.

“Perpu ini tidak mungkin sah menjadi undang-undang tanpa tekanan dari organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, ini menunjukkan kalau pemerintah reaktif,” katanya.

Tanpa skema besar sulit menilai sejauh mana keberhasilan ataupun kegagalan pemerintah dalam pemberantasan radikalisme dan kekerasan.

“Hingga kini kita tidak bisa mengevaluasi kinerja otoritas yang menangani radikalisme seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, karena ukurannya tidak ada,” katanya.

Indonesia bisa mencontoh Inggris yang sejak 2006 lalu punya skema besar anti-terorisme dan anti-radikalisme bernama “Contest” yang memayungi empat program turunan, yaitu Pengejaran, Pencegahan, Perlindungan, dan Persiapan.

Meski Inggris bisa disebut gagal karena ada 10 serangan teror sejak “Contest” diberlakukan, dengan korban jauh lebih banyak dibandingkan dengan Indonesia,  strategi seperti itu tetap penting untuk evaluasi kinerja pemerintah. [DAS]