Indonesia 75 Tahun Kemudian, Sudahkah Kita Merdeka?

Ilustrasi/goodnewsfromindonesia.id

Koran Sulindo – Ada yang beda pada peringatan kemerdekaan Indonesia yang mencapai 75 tahun. Wabah Covid-19 membuat semuanya menjadi terbatas. Bahkan pejabat tinggi negara yang hadir di Istana Merdeka dalam rangka peringatan kemerdekaan Indonesia hanya enam orang.

Mereka adalah Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Ketua MPR Bambang Soesatyo (pembaca teks proklamasi), Menteri Agama Fachrul Razi (pembaca doa), Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, dan Kapolri Jenderal Idham Azis. Ini dilakukan demi menjaga jarak sosial karena wabah Covid-19.

Sementara itu sehari sebelumnya Sekretariat Presiden dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) melakukan serah terima arsip bersejarah untuk ditampilkan di mimbar kehormatan ketika upacara berlangsung di halaman Istana Merdeka. Dokumen bersejarah yang merupakan naskah asli Proklamasi yang ditulis Bung Karno itu diserahkan kembali kepada ANRI pada 18 Agustus 2020.

Meski situasi tahun ini serba terbatas, tetap tidak ada salahnya untuk mengingat kembali sejarah penulisan naskah asli Proklamasi yang ditulis pakai tangan oleh Bung Karno itu. Dokumen bersejarah penting itu wajib diketahui generasi muda asal muasalnya.

Pada suatu malam di 16 Agustus 1945, sekelompok orang berkumpul di rumah Laksamana Tadashi Maeda, di Jalan Imam Bonjol Nomor 1 Menteng, Jakarta Pusat – yang kini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Chairul Saleh baru saja menjejakkan kakinya di rumah itu. Ia mendapati di rumah itu sudah berkumpul sejumlah orang.

Mereka adalah Bung Karno, Bung Hatta, Mr. Subardjo, M. Sutardjo, Mr. Teuku M. Amir, Jusuf Kunto, Dr. G.S.J. Ratulangi, Mr. I.G. Ketut Pudja, R. Oto Iskandardinata, Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr. Abbas, Andi Pangeran, Supeno, K. Gunadi, Semaun Bakri, Sayuti Melik, B.M. diah, Prof. Mr. Dr. Supomo, Sukarni, Dr. Samsi, Dr. Buntaran, Andi Sultan Dg. Radja, Hamidhan dan A.R. Ripai.

Sejumlah orang tersebut, kata Sidik Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 benar-benar bekerja mempersiapkan Proklamasi walau banyak yang tidak hadir. Umumnya yang hadir adalah anggota-anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan yang memang sedang berkumpul di Jakarta untuk menghadiri rapat pada 18 Agustus 1945.

Terkecuali perwakilan kaum pemuda dan beberapa tokoh tertentu, kata Sidik, mereka yang hadir itu sudah pernah menjadi “kawakan” menjadi aparat penindasan pemerintah dua zaman kolonial. Sekarang orang-orang tersebut terpaksa menerima tuntutan kemerdekaan sebagai suatu kenyataan yang tak bisa ditolak meski harus berpikir berulang kali sebelum berani menyatakan “selamat tinggal” kepada sistem lama.

Sebagai perwakilan kaum pemuda, Chaerul Saleh menolak pertemuan itu sebagai rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan karena menilai badan tersebut terlalu berbau Jepang. Keberatan Chaerul, kata Sidik, rupanya bisa dimaklumi oleh yang hadir. Dalam kata pembukaan Bung Karno mengatakan “Rapat ini bukanlah rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan, rapat ini adalah rapat wakil-wakil bangsa Indonesia.”

Lebih jauh Bung Karno mengatakan “……untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diharapkan dan untuk tidak memalukan bangsa kita, saya memajukan suatu resolusi. Rapat inilah yang mengambil resolusi itu dan Panitia Persiapan Kemerdekaan yang akan melaksanakannya kemudian…….”

Menurut Sidik, Bung Karno telah menyiapkan teks resolusi dengan tulisan pensil di atas kertas pada mulanya dinamakan Maklumat Kemerdekaan. Tetapi, kemudian judul itu diganti dengan Proklamasi Kemerdekaan. Sebagai reaksi atas usul resolusi Bung Karno bertanyalah Prof.Mr. Dr. Supomo, juris yang selalu mau segalanya persis itu.

“Apa sebelum pukul dua belas dapat dilakukan pemindahan kekuasaan?”

Menjawab pertanyaan itu, Bung Karno dengan tegas mengatakan “Itu harus dilakukan.”

Mendengar jawaban Bung Karno itu, Oto Iskandardinata bangkit bertanya tentang cara pemindahan itu. Bung Karno sekali lagi menjawab bahwa “Hal itu bukan pemindahan tetapi penyerahan.” Dalam debat kecil yang kemudian timbul, ada peserta pertemuan yang mengemukakan untuk lebih suka memakai kata “diselenggarakan” ketimbang memakai kata “diusahakan”.

Di sela-sela debat itu, terdengar pula suara ketakutan Dr. Mr. Amir “Apa ini bukan ergrefung (perebutan kekuasaan)?”

Sementara Dr. Radjiman mengatakan “Proklamasi itu harus terang.” Lalu menambahkan “Apakah Saiko Sikikan sudah menyetujuinya?” Dr. Radjiman berpendapat bahwa Saiko Sikikan harus tahu dan menyetujuinya. Hal itu akan membawa pengakuan dengan konsekuensi internasional.

Setelah melewati berbagai diskusi dan debat kecil, selesai juga pada akhirnya susunan Proklamasi Kemerdekaan itu. Dan Sayuti Melik mengetiknya secara bersih untuk ditandatangani dan akan diumumkan pada besok siangnya. Rupanya, kata Sidik, untuk menandatangani Proklamasi Kemerdekaan itu pun tidak berjalan lancar.

Wakil pemuda berharap agar penandatanganan teks Proklamasi Kemerdekaan itu enam orang saja, tetapi sebaliknya Bung Karno menghendaki agar semua yang hadir turut menandatangani sebagai wakil seluruh rakyat Indonesia yang datang dari seluruh pelosok Tanah Air. Akhirnya ditempuh jalan tengah bahwa cukup Bung Karno dan Bung Hatta saja yang namanya dicantumkan dan yang menandatangani.

Setelah semua itu disepakati, kata Sidik, pada 05.00 pagi 17 Agustus 1945, teks pernyataan itu diterima sebagai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. penandatanganan dilakukan dengan tenang dan dalam suasana yang khidmat serta hening, dalam buaian angin pagi yang sejuk.

Disusul dengan acara mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur mengorbankan jiwa dan raganya selama penjajahan Belanda dan penindasan Jepang. Dengan ditandatanganinya naskah itu, maka kembalilah kedaulatan yang selama ini hilang. Kemerdekaan yang dirampas kini sudah diraih kembali. Sejarah baru Indonesia mulai ditulis, kata Sidik.

75 Tahun Kemudian
Berjarak 75 tahun dari peristiwa sejarah yang luar biasa itu, justru situasi kebangsaan Indonesia mulai robek dan terpolarisasi secara luar biasa. Banyak orang bahkan takut bersuara baik itu di ruang publik maupun di media sosial internet. Bukan hanya karena ancaman penjara, juga khawatir dengan perundungan dan doxing (menyebarluaskan informasi pribadi ke publik terhadap seseorang individu atau organisasi ke dunia maya).

“Pasukan hantu” yang dipelihara oleh pihak atau pribadi tertentu, yang dampaknya bisa meluas, bukan hanya kepada orang yang telah bersuara itu, tapi juga kepada keluarga dan kaum kerabatnya. Baru-baru ini Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan anggaran belanja pemerintah senilai Rp 1,29 triliun disalurkan untuk aktivitas digital.

Dari jumlah itu sekitar Rp 90,45 miliar dianggarkan untuk influencer. Menurut analis politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun, penggunaan influencer oleh pemerintah itu berpotensi merisak kelompok kritis di media sosial. Lebih parahnya, kata Ubedilah, untuk membiayai para influencer itu menggunakan uang rakyat.

Fakta tersebut, kata Ubedilah, merupakan ciri-ciri rezim neo-otoritarianisme yang rela menggelontorkan banyak uang untuk membungkam kelompok kritis. Meski penggunaan “pasukan hantu” bisa siapa saja, namun umumnya mereka memiliki kekuasaan baik kekuasaan modal, kekuasaan intelektual maupun kekuasaan lain yang dapat memengaruhi orang atau kelompok lain agar bertindak sesuai keinginan mereka.

Lantas bila demikian, apa artinya merdeka bila kita takut untuk bersuara, takut menyuarakan pendapat kita, seperti masa penjajahan dulu? Apa gunanya merdeka bila pada akhirnya kita dijajah kembali oleh “tetangga sendiri” setelah berhasil mengusir penjajah yang datang dari negeri jauh.

Padahal, soal semacam itu mestinya sudah selesai di Indonesia setelah Revolusi Agustus 1945, yang menurut Bung Karno merupakan revolusi tahap pertama. Pada revolusi ini, kita bukan saja berhasil merdeka dari cengkeraman penjajah, tapi juga mampu membuat pijakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis: falsafah negara Pancasila dan undang-undang dasar yang berlandaskan falsafah negara tersebut. Tentunya juga teks proklamasi serta bendera kebangsaan Sang Merah-Putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya, yang luar biasa.

Kita punya negara yang berdaulat, dengan kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Artinya, Indonesia adalah negara yang menolak kolonialisme/imperialisme dalam segala bentuknya, feodalisme, dan otoritarianisme.

Semua itu merupakan modal yang sangat penting. Namun, seperti kata Bung Karno, revolusi belum selesai, masih ada tahapan revolusi selanjutnya, untuk mencapai masyarakat yang berkesejahteraan sosial, yang tak ada lagi I’exploitation de I’homme par I’homme dan berbagai bentuk pengisapan lainnya.

Namun, upaya melakukan revolusi selanjutnya memang tak mudah. Bahkan, pada 20 Mei 1963, Bung Karno mengatakan, selesainya revolusi Indonesia masih akan bertahun-tahun lagi. “Ini perlu dicamkan, dicamkan oleh Saudara-Saudara sekalian, bahwa Revolusi Indonesia tidak akan selesai dalam satu dua hari, bahwa Revolusi Indonesia itu memang belum selesai, bahwa Revolusi Indonesia itu sudah bertahun-tahun berjalan, tetapi masih akan berjalan bertahun-tahun lagi. Sebabnya ialah oleh karena Revolusi Indonesia itu adalah revolusi yang besar, bukan revolusi yang kecil-kecilan, bukan revolusi peyeum, Dulur-Dulur, tetapi revolusi amat besar. Dan sudah sering saya katakan bahwa Revolusi Indonesia adalah revolusi Pancamuka, revolusi multikompleks, revolusi yang bermuka banyak, ya revolusi nasional, ya revolusi politik, ya revolusi ekonomi, ya revolusi sosial, ya revolusi membentuk manusia Indonesia baru. Revolusi yang demikian ini tidak akan selesai dalam tempo satu dua tahun. Revolusi yang demikian ini akan memakan berpuluh-puluh tahun….”

Jadi, revolusi di Indonesia memang belum selesai, bahkan sampai sekarang. Apalagi, selama lebih dari 30 tahun pada masa rezim Soeharto, jangankan berupaya melanjutkan revolusi, berbicara tentang revolusi saja seakan menjadi hal tabu. Mestinya, setelah rezim Soeharto berhasil ditumbangkan, revolusi Indonesia digulirkan kembali dan bahkan sekarang ini semakin relevan untuk digerakkan, ketika Indonesia semakin jauh tertinggal kemajuannya dari banyak negara lain, termasuk dari negara-negara yang ada di kawasan Asia. Bukan malah berjalan mundur ke masa penjajahan. [Kristian Ginting]