Koran Suluh Indonesia Volume III Nomor 4, 19 Februari 2018 - 4 Maret 2018

Koran Sulindo – Risiko dari demokrasi antara lain munculnya kegaduhan demi kegaduhan, karena kebebasan untuk bersuara, kebebasan berpendapat, diberi ruang luas dan dilindungi pula oleh konstitusi. Itulah yang kita alami sejak 20 tahun belakangan ini, setelah rezim militer yang berkuasa di negara ini selama lebih dari 30 tahun dapat ditumbangkan pada tahun 1998.

Tapi, demokrasi bukanlah konsep yang sudah selesai. Demokrasi harus terus-menerus disempurnakan mengikuti perkembangan masyarakat.

Kita saksikan sendiri sampai sekarang, bagaimana demokrasi yang kita jalankan masih memiliki banyak sisi gelap, mulai dari politik uang, politik transaksi, politik gentong babi, sampai politik identitas yang mengancam keutuhan dan persatuan kita sebagai suatu bangsa. Tak mengherankan pula bila kemudian muncul juga ekses negatif pada berbagai aspek lain kehidupan kita.

Lihat saja, menurut laporan Oxfam dan International NGO Forum on Indonesian Development,  tingkat ketimpangan Indonesia pada tahun 2017 lalu berada di peringkat keenam terburuk di dunia. Kekayaan 4 orang konglomerat di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 40% atau 100 juta penduduk termiskin Indonesia.

Korupsi pun mewabah. Menurut kajian Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, dari tahun 2001 sampai 2015 ada 2.321 kasus korupsi yang melibatkan 3.109 terdakwa. Kerugian negara akibat korupsi pada rentang waktu itu mencapai Rp  203, 9 triliun. Untuk tahun 2016, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, ada lebih dari Rp 3 triliun total kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus korupsi. Untuk 2017, mulai 1 Januari hingga 30 Juni saja ada 226 kasus korupsi, dengan kerugian negara mencapai Rp 1,83 triliun dan nilai suap Rp 118,1 miliar.

Toh, apa pun, sistem demokrasi telah menjadi pilihan kita bersama. Namun, wacana demokrasi kita hari-hari ini hampir selalu dikaitkan dengan politik elektoral, politik kekuasaan. Juga terkesan, banyak dari kita yang memandang demokrasi sebagai sesuatu yang “ready to wear”.

Jarang sekali ada pembicaraan yang lebih luas dan kritis tentang, misalnya, benarkah sistem demokrasi sekarang ini dapat menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sebagaimana diamanatkan UUD 1945; seberapa kuatkah demokrasi sekarang ini menopang begitu banyaknya perbedaan yang ada di negeri ini; bagaimana demokrasi bisa menjawab situasi dan kondisi riil bangsa dan negara ini, dan; bagaimana demokrasi bisa mengantarkan Indonesia meraih cita-cita proklamasi kemerdekaan.

Kita sesungguhnya punya modal yang cukup untuk melakukan pembicaraan seperti itu. Para pendiri negara ini umumnya adalah cendekiawan yang banyak melahirkan pemikiran yang bernas. Bahkan, jauh sebelum kemerdekaan, di negeri ini pernah ada “Polemik Kebudayaan”. Pemikiran-pemikiran Bung Karno juga punya pengaruh sangat besar di banyak negara.

Pembentukan ‘pola pikir ilmiah’ (scientific mind) sudah dimulai setidaknya sejak awal abad ke-20. Artinya, bangsa ini sudah punya tradisi bernalar relatif lama. Tapi, mengapa jejaknya seakan hilang dalam beberapa tahun belakangan ini?

Padahal, tanpa kemampuan bernalar-yang-cukup sulit menganalisis informasi—yang pada masa kini datang bak air bah.Pada gilirannya, bangsa ini pun mudah mengalami disorientasi dan mudah terhasut takhayul (hoax). Lalu, bagaimana bisa kita membangun bangsa, membangun karakternya?

Mari kita ingat kembali ucapan Bung Karno dalam pidatonya pada 17 Agustus 1966: “Sesungguhnya toh bahwa membangun suatu negara, membangun ekonomi, membangun teknik, membangun pertahanan adalah pertama-tama dan pada tahap-utamanya membangun jiwa bangsa! Bukankah demikian? Sekali lagi, bukankah demikian? Tentu saja keahlian adalah perlu! Tetapi keahlian saja, tanpa dilandasi pada jiwa-yang-besar, tidak akan dapat mungkin akan mencapai tujuannya. Inilah perlunya, sekali lagi mutlak perlunya, nation and character building!” [PUR]