Koran Sulindo – Bambang Bujono pernah membuat marah S. Sudjojono. Pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) itu bahkan merasa perlu membuat tulisan panjang lebar menjelaskan “pemikiran”nya. Kemarahan itu bisa dibaca ulang dalam buku Sudjojono, “Cerita Tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya”, yang terbit Juni 2017 lalu.
Awalnya adalah tulisan wartawan Tempo itu, akrab dipanggil Bambu di majalahnya, edisi 12 November 1977, “Mengapa Seni Lukis Indonesia”. Pendek, hanya sekitar 2 kolom setengah, berisi reportase ceramah pelukis yang terkenal dengan kredo Jiwa-ketok itu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Bagi Sudjojono, seni lukis Indonesia sudah ada sejak abad ke-8 M. Sudjojono juga menyatakan pelukis Indonesia tak usah repot-repot dengan gaya pribadi, karena pelukis Perancis misalnya juga tidak otentik lagi.
Menurut Bambu, Sudjojono kerepotan menghadapi seorang hadirin yang menanyakan kalau gaya pribadi tak perlu lagi, lalu apa yang membedakan seni lukis Indonesia dari Rusia?
“Entah malam itu Sudjojono memang mau melawan orang yang mengatakan seni lukis Indonesia belum–sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu–sehingga ia sangat bernafsu meyakinkan hadirin (dan dirinya sendiri terutama, saya kira) bahwa seni lukis Indonesia ada (dan mungkin: penting). Ia lupa menjelaskan bahwa gaya pribadi baru muncul pada Zaman Renaisans…” tulis Bambu.
Paragraf terakhir tulisan itu mengatakan Sudjojono salah seorang pelukis kita yang baik, dan mempunyai andil membentuk pelukis seperti Zaini, Nashar, dan lain-lain. Bambu mengatakan Sudjojono bukan seorang pemikir seni lukis. Pernyataan-pernyataannya saling bertentangan.
“Mungkin lebih baik jika ia menguraikan saja pengalamannya sebagai pelukis selama ini. Bukankah ia sudah membuat sejarah?”
Perfeksionis
Lebih 40 tahun kemudian, masih seperti itulah gaya tulisan Bambu, hampir-hampir seperti kesehariannya: Apa adanya, lurus, sinis, kadang jenaka tapi dengan jenis kelucuan yang tak membuat ledakan tawa.
Saya mengenal Pak Bambu pertamakali sekitar 20 tahunan lalu di sebuah majalah baru yang berkantor di sekitaran Velbak, Kebayoran Lama. Walau masih reporter tapi tulisan saya langsung dipegang Beliau, saat itu redaktur eksekutif. Dan dongeng yang sebelumnya sering saya dengar memang benar adanya. Tulisan saya akhirnya berubah sama-sekali ketika naik cetak. Lebih tepat tulisan itu tak saya kenali lagi, kecuali beberapa tanda baca yang masih dipertahankannya.
Seperti itulah Pak Bambu sejak awal saya kenal hingga beberapa hari lalu bertemu ketika melayat kepergian rekan wartawan, Mas Rusdi Mathari. Serius dan perfeksionis hampir dalam semua hal, terutama dalam hal menulis. “Lha menulis itu sulit, tak bisa diajarkan. Hanya harus menulis,terus-menerus,” katanya, sering kali.
Pada November 2017 lalu terbit buku kumpulan tulisannya, Melampaui Citra dan Ingatan: Bunga Rampai Tulisan Seni Rupa 1968-2017.
Baru tahu, ia sudah menulis bahkan jauh sebelum saya lahir.
Buku setebal 574 halaman termasuk indeks itu saya baca hingga 2 kali, mencoba menelusuri gaya tulisannya sejak awal. Dalam pengantarnya, editor buku itu Ardi Yunanto mengatakan Bambu kritikus yang selalu menulis dengan lugas, bebas jargon, sesekali jenaka, dengan deskripsi yang kuat. Saya sepakat, tapi menurut saya, Bambu bukan hanya sesekali jenaka. Hampir semua tulisannya sebenarnya jenaka.
Buku itu adalah bunga rampai pertama tulisan-tulisan seni rupa Bambu. Sejak 1968 ia telah menerakan 432 buah tulisan, termasuk yang diduga manuskrip, tapi tidak menghitung tulisan pendamping di majalah Tempo yang dianggap satu kesatuan dengan tulisan utama. Jumlah itu termasuk esai, ulasan, dan artikel seni rupa di berbagai media massa, buku, katalog—maupun makalah dalam diskusi dan lokakarya.
Buku itu mencakup setengah abad tulisan Bambu sejak awal hingga tahun lalu. Dipilih 101 tulisan, dibagi dalam 5 bab, dan dilengkapi 38 foto karya, seniman, maupun suasana pameran, beberapa hasil jepretan Bambu sendiri.
Peneliti buku ini Berto Tukan membuka satu persatu arsip majalah Tempo sejak terbit hingga tulisan terakhir Bambu terlacak. Berto juga melacak ke pusat Iformasi Kompas (PIK), Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Dewan Kesenian Jakarta, dan Indonesian Visual Art Archive (IVAA) di Yogya.
Bersama dengan tulisan Bambu, buku ini—dikutip dari punggung buku—mengajak mengunjungi kembali berbagai peristiwa seni rupa selama setengah abad terakhir. Bambu mencermati semua hal, dari booming harga lukisan gara-gara sebuah galeri menaikkan harga lukisan karya pelukis Indonesia secara gila-gilaan pada 1980-an, menjamurnya galeri dalam masa pasang Orde Baru yang diikuti matinya mereka satu persatu, hingga terakhir yang sangat merisaukannya: lukisan palsu, yang menurutnya bisa merusak dunia seni rupa Indonesia.
Sebanyak 3 paragraf tulisan berikut ini dinukilkan dari pengantar buku tersebut.
Bab pertama membicarakan peristiwa seni rupa selama lebih dari empat dekade- khususnya di Jakarta- diawali apresiasi lukisan Affandi dengan revolusi bentuk dan penemuan teknik sebagai bagian dari seni lukis modern. Pembaca juga disuguhi cara analisis, telaah karya dengan beberapa contoh pelukis dengan sapuan yang khas seperti Srihadi Sudarsono, Fadjar Sidik, dan Nazar di Pameran Seni Lukis Indonesia 1972.
Bab kedua mencermati karya pameran dan seniman secara urut. Mengenali sosok yang berpengaruh dalam sejarah seni rupa, dari pameran kelompok, pameran tunggal dan beberapa tonggak perjalanan seni rupa seperti Pameran Besar Seni Lukis Indonesia, Biennale Jakarta, momentum yang disebut melahirkan Seni Lukis Modern, Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB), hingga Seni Rupa Kontemporer.
Dalam bab-bab selanjutnya, buku ini menggambarkan landskap sejarah seni rupa, khususnya di Jakarta sejak Taman Ismail Marzuki (TIM) menjadi pusat seni rupa di Jakarta. Perkembangannya mulai dari sejak masih didominasi lukisan dan patung, sampai muncul objek instalasi, video art hingga new media art. Juga perjalanan pameran yang dulunya dikerjakan secara mandiri oleh seniman dan galeri, hingga kini populer profesi kurator sebagai pengawal sebuah pameran.
Sampai selesai membaca buku ini, dan membaca lagi, saya masih penasaran satu hal. Beberapa kali saya mengikuti Bambu melihat pameran lukisan, diam-diam melihat ekspresi wajahnya, semua acara itu tak pernah saya lihat menjadi tulisan. Tapi saya yakin semua dicatatnya diam-diam, dimasukkan dalam folder di benaknya, untuk kelak dilihatnya lagi sebagai perbandingan atau apa, ketika mau mengabarkan lagi.
Seperti pengantar pendek Bambu dalam buku ini, “Pada mulanya adalah sebuah pameran seni rupa, lalu muncullah hasrat untuk mengabarkan kepada siapa saja yang mungkin tertarik tentang apa yang saya peroleh dari pameran itu. Maka, lahirlah tulisan-tulisan ini.”
Pak Bambu masih terus mengabarkan setelah setengah abad lalu, dan masih. [Taty Haryati, penulis].
Melampaui Citra dan Ingatan: Bunga Rampai Tulisan Seni Rupa 1968-2017
Penulis: Bambang Bujono
Editor: Ardi Yunanto
Esai pengantar: Hendro Wiyanto
Peneliti dan pengarsip: Berto Tukan
Editor bahasa: Ninus D. Andarnuswari
Desain: Andang Kelana
Diterbitkan oleh Yayasan Jakarta Biennale
Cetakan pertama, November 2017
Tebal: xxxii + 576 hlm; 13,8 x 20,3 cm