Hari Santri Nasional, Resolusi Jihad, dan Pertempuran Surabaya

Ilustrasi/gontorgraphy

Koran Sulindo – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama memperingati Hari Santri Nasional (HSN) tahun 2016 di halaman Monumen Nasional, Jakarta, Sabtu (22/10).

“Hari ini keluarga NU dan rakyat Indonesia, memperingati peristiwa mengenang jasa ulama dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari rongrongan penjajah,” kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj.

Hadir dalam peringatan itu perwakilan sejunlah ormas keagamaan Islam dan lintas agama, santri dari berbagai pondok pesantren, perwakilan figur publik, dan elemen masyarakat lainnya.

Said berharap perjuangan kaum santri di masa awal kemerdekaan Indonesia mampu diaktualisasikan di masa kini yaitu dengan menolak terorisme, radikalisme, gerakan ekstrim, melawan kemiskinan, dan memerangi peredaran narkoba.

HSN adalah momentum memperingati keluarnya Resolusi Jihad oleh pendiri NU Hasyim Asyari dengan tujuan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Resolusi itu, kata Said, keluar pada 22 Oktober 1945 di Surabaya, Jawa Timur guna mencegah kembalinya Belanda yang membonceng tentara sekutu NICA untuk kembali menguasai Indonesia yang telah mendeklarasikan kemerdekaan.

“Pemicu Resolusi Jihad di bawah komando Hasyim Asyari. Ada kewajiban membela Tanah Air untuk melawan tentara NICA,” katanya.

Pada 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asyari mengeluarkan fatwa berisi kewajiban bagi setiap muslim untuk mempertahankan kemerdekaan. Di situlah peranan santri terlihat begitu menonjol.

“Yang pasang bom di mobilnya Brigjen Mallaby adalah santri Tebuireng, namanya Harun. Dia juga gugur. Sopirnya Brigjen Mallaby dan Harun tewas. Bung Karno hampir nggak percaya itu,” kata Said.

Darul Islam

Pada 2015, Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Hari Santri adalah wujud penghormatan kepada sejarah pesantren, sejarah perjuangan para kiai dan santri.

Zainul Milal Bizawie, penulis buku “Laskah Ulama-Santri dan Resolusi Jihad”, mengatakan Hari Santri adalah wujud penghormatan kepada sejarah pesantren, sejarah perjuangan para kiai dan santri.

Pendiri NU, Syekh Hasyim As’yari, menyadari secara kultural, gerakan Islam dan nasionalis berbeda satu dari yang lain, tetapi sama dari sudut ideologi berupa kebutuhan akan kemerdekaan sebagai satu bangsa.

Pada 1933, Asy’ari memerintahkan putranya, Kiai Wahid Hasjim, yang baru pulang dari Tanah Suci Mekkah untuk mempersiapkan Muktamar NU ke-9 di Banjarmasin (Borneo Selatan), yang akan membahas tema kebangsaan. Dalam Muktamar tersebut salah satu masalah yang diajukan adalah wajibkah bagi kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia Belanda, padahal diperintah orang-orang non¬muslim?

Muktamar yang dihadiri ribuan ulama itu menyepakati bahwa wajib hukumnya secara agama, karena adanya dua sebab. Pertama, karena kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan ajaran Islam. Kedua, karena dahulu di kawasan tersebut telah ada Kerajaan Islam.

]Jadi sesungguhnya negara Indonesia adalah dar Islam karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir (Belanda). Negeri ini pernah mengenal adanya kerajaan-kerajaan Islam, penduduknya sebagian masih menganut dan melaksanakan ajaran Islam, dan Islam sendiri tidak sedang dalam keadaan diganggu.

Negara Indonesia dapat dikategorikan sebagai darul Islam (daerah Islam), bukan daulah Islamiyyah (pemerintahan Islam), karena mayoritas penduduk di wilayah ini beragama Islam dan dapat melaksanakan syari’at Islam dengan bebas dan secara terang-terangan. Keputusan tersebut merujuk dari kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan Sayed Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar atau dikenal dengan Syekh Ba’lawi.

Mengenai cita-cita Indonesia sebagai negara bangsa sebagaimana yang dirumuskan oleh para aktivis pergerakan itu dianggap sudah memenuhi aspirasi umat Islam, karena di dalamnya ada jaminan bagi umat Islam untuk mengajarkan dan menjalankan agamanya secara bebas. Dengan demikian umat Islam tidak perlu membuat negara lain yang berdasarkan syariat Islam, karena negara yang dirumuskan telah memenuhi aspirasi Islam.

KH Ahmad Siddiq (Rosis Am PBNU 1984-1991) menegaskan kata dar Islam bukanlah sistem politik atau ketatanegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan (Islam), yang lebih tepat diterjemahkan sebagai wilayatul Islam (daerah Islam), bukan negara Islam.

Namun untuk membangun masyarakat Islam, penjajah harus disingkirkan. Inilah mengapa ketika mempersiapkan negara bangsa, saat pertama kali datang pada 1943 pimpinan tertinggi tentara Jepang Laksamana Maeda menanyakan siapa yang bisa menjadi pemimpin tertinggi negeri ini untuk diajak berunding dengan Jepang? Hasyim Asy’ari menjawab yang pantas memimpin bangsa ini ke depan adalah seorang tokoh nasionalis terkemuka: Soekarno. [harisantri.id/Antara/DAS]