Koran Sulindo – Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan akan memberikan penjelasan mengenai langkah-langkah yang diambil pemerintahnya pada kurun waktu 2004-2009, dalam pekan ini.

Melalui akun twitter pribadinya, @SBYudhoyono di Jakarta, Senin, Presiden ke-6 RI itu mengatakan dua minggu terakhir ini pemberitaan media dan perbincangan publik soal hilangnya dokumen hasil kerja Tim Pencari Fakta kasus kematian aktivis Hak Asasi Manusia Munir amat gencar.

Perbincangan publik itu ada yang berada dalam konteks, namun ada pula yang bergeser ke sana ke mari dan bernuansa politik.

“Dalam dua minggu ini pula, sebagai mantan Presiden, saya terus bekerja bersama para mantan pejabat KIB, untuk siapkan penjelasan,” tulis SBY.

“Kami buka kembali semua dokumen, catatan dan ingatan kami, apa yang dilakukan pemerintah dalam penegakan hukum kasus Munir, yang ingin kami konstruksikan bukan hanya tindak lanjut temuan TPF Munir, tetapi apa saja yang telah dilakukan pemerintah sejak November 2004.”

Munir meninggal pada 7 September 2004 dalam perjalanan ke Amsterdam. Saat itu status SBY masih calon presiden. Menurut SBY, istri Munir, Suciwati bertemu dengannya tiga minggu setelah pelantikan sebagai Presiden.

“Aktivitas pemerintah dan penegak hukum selanjutnya, segera kami sampaikan kepada publik. Saya ingin publik tahu duduk persoalan yang benar,” tuit-nya.

SBY mengatakan selama ini enggan berkomentar banyak tentang isu hasil laporan kerja TPF Munir. Ia memilih menahan diri dan tak reaktif dalam tanggapi berbagai tudingan, karena menurutnya masalah itu penting dan sensitif.

“Penjelasan yang akan kami sampaikan dalam 2-3 hari mendatang, haruslah berdasarkan fakta, logika dan tentunya juga kebenaran,” tulis SBY.

Jubir Demokrat

Sementara itu pada Sabtu (22/10), Juru Bicara Partai Demokrat, Rachland Nashidik, mengatakan Presiden Joko Widodo sebaiknya menjelaskan pasal pidana apa yang disangkakan hingga ia memerintahkan Jaksa Agung untuk “memeriksa” Presiden RI ke-6 (2004-2014), yang juga Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, dalam urusan dokumen TPF Munir.

“Bila Jokowi sungguh-sungguh bermaksud mencari informasi mengenai isi laporan TPF Munir yang dokumennya diklaim istana “hilang”, ia sebenarnya bisa mengontak dan bertanya sendiri kepada Presiden RI ke- 6 dengan berbagi niat baik dan kepedulian terhadap penuntasan kasus Munir,” kata Rachland, dalam rilis pers yang juga dimuat di situs resmi Partai Demokrat.

Menurut bekas Direktur Eksekutif Imparsial (yang juga didirikan almarhum Munir) itu, menugaskan Jaksa Agung akan mengirim pesan keliru yang merugikan nama baik orang lain, mengingat Jaksa Agung adalah otoritas hukum pidana.

Justru SBY, katanya, adalah Presiden yang membentuk TPF Munir dan berperan besar dalam mendukung aparat hukum mengejar, mengungkap dan membawa para tersangka ke pengadilan. Nama-nama yang direkomendasikan TPF untuk diperiksa, sudah sebagian besar diadili dan dipidana.

Prasangka berencana yang dipamerkan Jokowi kepada SBY, menurut Rachland, berbalik menimbulkan pertanyaan  besar atas komitmennya sendiri pada penuntasan kasus. Presiden Jokowi dinilainya sengaja mengangkat isu dokumen hilang untuk mengalihkan perhatian publik dari kerasnya desakan yang ia hadapi.

“Bila itu benar, sungguh tercela perbuatan Presiden karena ia mempermainkan hukum dan rasa keadilan,” tulis Rachland.

Mantan Anggota Tim TPF Munir

Mantan anggota TPF pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, Hendardi, menilai anggapan yang menyatakan presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki peran besar dalam pengungkapan kasus Munir adalah salah.

“Partai Demokrat membanggakan SBY dalam kasus Munir cukup banyak mengadili para pelaku, itu enggak benar,” kata Hendardi.

Pernyataan itu bertentangan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Sebab, hanya satu orang yang dipidanakan dalam kasus Munir, yakni pilot pesawat yang ditumpangi Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto.

“Kan baru Pollycarpus yang dihukum sebagai aktor lapangan. Justru saat itu laporan TPF enggak diungkap ke publik,” kata Hendardi.

Saat itu tim TPF merekomendasikan pengusutan terhadap empat level aktor, yakni aktor lapangan, aktor pemberi fasilitas, aktor perencana, dan aktor pengambil keputusan.

Tim TPF Munir

Sejak awal proses pembentukannya, TPF Kasus meninggalnya Munir memang terkesan diterima setengah hati dan menimbulkan perdebatan tentang kewenangannya. Tiga nama besar dicoret dan tak masuk tim padahal mereka sebelumnya terlibat aktif, yaitu Syafii Ma’arif, Shinta Nurriyah Abdurrahman Wahid, dan Mulya Lubis.

Tim itu ditetapkan dengan Kepres No 111 Tahun 2004, tertanggal 22 Desember 2004. Ketuanya Brigjen Pol. Drs. Marsudi, SH. dengan wakil ketua Asmara Nababan. Anggotanya: Bambang Widjajanto, SH, Hendardi, Usman Hamid, SH, Munarman, SH, Smita Notosusanto, I Putu Kusa, SH, Kamala Tjandrakirana, Nazarudin Bunas; Retno L. P. Marsudi, Arief Havas Oegroseno, Rachland Nashidik, dan dr. Moein Idris.

Berdasarkan keputusan Komisi Informasi Publik, pemerintah berkewajiban mengumumkan dokumen itu ke publik. Ini merupakan keputusan sidang atas sengketa informasi yang diajukan KontraS terhadap Kementerian Sekretariat Negara RI.

Dalam putusan Majelis Komisioner yang dipimpin Evy Trisulo, informasi yang dimohon KontraS, yakni hasil resmi penyelidikan TPF Kasus Meninggalnya Munir, adalah informasi yang wajib diumumkan kepada publik. KIP memerintahkan kepada termohon (Kemensetneg) mengumumkan informasi tersebut.

“Hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta kasus meninggalnya Munir sebagaimana tercantum dalam penetapan kesembilan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 111 tahun 2004 tentang Pembentukan Tim pencari fakta kasus meninggalnya Munir adalah informasi yang wajib diumumkan untuk publik,” kata Evy membacakan amar putusan.

Presiden Jokowi, menanggapi kasus hilangnya dokumen TPF ini, mengatakan tetap berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran/ kejahatan HAM berat termasuk kasus Munir. [DAS]