Umat Hindu melakukan upacara Melasti untuk menyucikan diri dari dosa menjelang Hari Raya Nyepi, di Yogyakarta, Minggu (27/2/2022). AFP/DEVI RAHMAN.
Umat Hindu melakukan upacara Melasti untuk menyucikan diri dari dosa menjelang Hari Raya Nyepi, di Yogyakarta, Minggu (27/2/2022). AFP/DEVI RAHMAN.

HARI RAYA NYEPI merupakan perayaan tahun baru oleh umat Hindu yang berlaku sejak 78 Masehi Tahun Baru Saka. Hari Raya Nyepi juga digunakan sebagai momentum untuk menyatu dengan Brahma dalam mencapai moksa dan untuk koreksi diri. 

Hari Raya Nyepi bersumber dari kitab suci Weda, yang menceritakan bahwa Negeri India pada saat itu digambarkan sedang mengalami konflik sosial yang berkepanjangan. Tahun Saka dianggap sebagai tonggak awal bersejarah bagi suku bangsa di India yang saat itu selalu bermusuhan. Dengan lahirnya Tahun Saka, suku di India yang selalu bermusuhan itu pada akhirnya berdamai.

Hindu yang kemudian disebarluaskan ke seluruh dunia, mencapai wilayah Nusantara di abad ke-4 Masehi. Masuknya ajaran agama Hindu ke Nusantara tentu juga turut diiringi dengan sistem kalender Saka.

Nyepi sebagai Simbol Perayaan Tahun Baru

Nyepi berasal dari kata sepi yang berarti “sunyi” atau “senyap”. Tujuan Nyepi ini sendiri agar masyarakat Hindu Bali bisa leluasa untuk introspeksi diri. Mereka akan memohon kepada Tuhan untuk melakukan penyucian terhadap Bhuana Alit (manusia) dan Bhuana Agung (alam semesta).

Bagi umat Hindu, Hari Raya Nyepi mengandung makna sebagai hari pembaharuan, hari kebangkitan, hari kebersamaan, hari toleransi, hari kedamaian, dan hari kerukunan nasional.  Hari Raya Nyepi dan berbagai ritual-ritual pengiringnya hanya ada diperingati oleh umat Hindu di Bali dan sekitarnya, seperti Suku Tengger di Gunung Bromo. 

Nyoman S Pendit dalam bukunya “Nyepi: Kebangkitan, Toleransi, dan Kerukunan” disebutkan bahwa Nyepi adalah Hari Tahun Baru dalam sistem penanggalan Bali. 

Perayaan Nyepi di Bali terbilang cukup unik. Kendati namanya adalah “perayaan”, tetapi Hari Raya Nyepi tidak dirayakan dengan gegap gempita. “Hari Raya Nyepi adalah hari yang sangat disucikan umat Hindu sebagai awal tahun. Untuk memulai tahun kedepan maka perlu dilakukan introspeksi dan retrospeksi. 

Perayaan Nyepi di Indonesia dan di India

Jika Bali yang memperingati Tahun Baru Saka dengan melakukan kontemplasi, umat Hindu di India justru merayakannya dengan meriah. Karena banyak aliran Hindu di India sehingga memunculkan banyak ragam festival Tahun Baru Saka. 

Di Bali, Tahun Baru Saka dirayakan dengan Nyepi yang dilakukan pada Sasih Kesanga setiap tahun. Perayaan Nyepi ini dilakukan dengan sejumlah upacara sebelumnya, seperti upacara Melasti dan Tawur. 

Saat puncak Nyepi, masyarakat Hindu Bali akan berdiam di rumah dan tidak melakukan kegiatan seperti biasa. Semua aktivitas publik akan dihentikan kecuali pelayanan kesehatan. Dalam kondisi Nyepi ini, masyarakat Hindu Bali akan melakukan catur brata penyepian selama 24 jam. 

Dalam Nyepi ini manusia diminta untuk mengevaluasi diri terkait yang sudah dilakukan. Catur brata sendiri dilakukan dengan amati geni atau mematikan api, amati karya atau tidak bekerja, amati lelungan atau tidak bepergian, dan amati lelanguan atau tidak bersenang-senang. Dengan demikian, alasan masyarakat tidak boleh keluar rumah saat Nyepi adalah untuk introspeksi diri.

Perbedaan ini didasarkan pada sifat agama Hindu yang moderat dan dapat menyesuaikan dengan budaya dan kearifan lokal setempat. Mengutip dari Kompas.com, Guru Besar Pariwisata dari Universitas Udayana, I Gede Pitana menuturkan bahwa agama Hindu dapat menyesuaikan kondisi setempat serta geografis umat. Sebagai contoh adalah perayaan Hari Raya Galungan di Bali dan Perayaan Diwali di India.

Prinsip dan filosofi yang dirasakan oleh umat Hindu tidak berbeda pada kedua hari besar tersebut. Namun waktu dan cara perayaannya berbeda, sesuai dengan kearifan lokal. Berbagai perbedaan ini harus diterima karena keberagaman dan kebebasan adalah bentuk dari kekayaan. Meski berbeda, yang menyatukan umat Hindu di seluruh dunia adalah konsep-konsep sakral dalam kitab suci Weda.

Sejarah 

Dalam catatan sejarah, sistem kalender Saka di Nusantara dibawa oleh seorang pendeta bernama Aji Saka. Pendeta Aji saka ini merupakan keturunan bangsa Saka dari Kshatrapa Gujarat. Aji Saka tiba di Pulau Jawa dan mendarat di Desa Waru, Rembang pada tahun 456 Masehi. Sejak saat itu, penggunaan kalender Saka terus mengalami perkembangan di Nusantara.

Pada masa Kerajaan Majapahit, peringatan Tahun Baru Saka dilakukan besar-besaran, dengan melibatkan seluruh unsur kerajaan. Seluruh kepala desa, prajurit, cendekiawan, Pendeta Siwa, Budha, dan Raja tampak hadir dalam peringatan tahun baru ini di alun-alun Majapahit.

Meski Islam menyebar dan menguasai Tanah Jawa, namun penggunaan kalender Saka tidak benar-benar dihapus. Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Mataram Islam memodifikasi sistem ini dari perhitungan matahari menjadi perhitungan bulan. Perubahan perhitungan bertujuan agar sesuai dengan peringatan hari-hari besar Islam. Sementara secara angka tahun, Sultan Agung melanjutkan dan tidak memulai baru. [S21]