Hari Pers Nasional: Mengenang Pers di Masa-masa Kelam

Presiden Soeharto memutuskan tali balon sebagai tanda dibukanya Konkernas PWI. Ketua PWI Pusat Harmoko, Gubernur Kalsel Mistar Tjokrokoesoemo (latar belakang) dan Ketua PWI Cabang Kalsel/Ketua Panitia , H. Adenansi, menyaksikan upacara tersebut. Sumber Foto : Majalah Pers Indonesia Edisi April 1981

PERS pada dasarnya merupakan satu institusi sosial yang didalamnya melekat banyak tugas dan fungsi yaitu sebagai pendidik, penghibur, penyebar informasi dan pelaku kontrol sosial. Pers di sini akan menyalurkan informasi dari dan ke masyarakat secara obyektif dan bertanggung jawab. Untuk bisa menjalankan fungsinya dengan baik, pers tidak bisa melepaskan diri dari sistem tempat pers itu berada. Pers di Indonesia secara politis-ideologis adalah pers Pancasila yang sikap dan perilakunya berorientasi pada Pancasila dan UUD 1945.

Perkembangan pers terus berubah seiring berkembangnya zaman. Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan ini, salah satunya adalah politik. Pada saat masa orde baru, pers di Indonesia menganut sistem pers otoritarian dimana pers Indonesia condong mendukung pemerintah. Namun, setelah orde baru ini berakhir pers Indonesia mengalami banyak perubahan. Hal ini menjadi titik terang karena merupakan awal dari perkembangan kebebasan pers di Indonesia. Pihak pelaksana dapat melakukan kegiatan pers leluasa tanpa campur tangan pemerintah tetapi tetap bertanggung jawab.

Selama lima tahun berturut-turut, hasil survei indeks kebebasan pers menunjukkan tren peningkatan nilai, yaitu, 63,44 (2016), menjadi 67,92 (2017), 69,00 (2018), 73,71 (2019), dan terakhir 75,27 (2020). Ini menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai peringkat cukup bebas. Akan tetapi angka ini masih relatif rendah dibanding negara lain. Di tahun 2019 sendiri Indonesia menduduki peringkat 124, berada di bawah Malaysia, Ethiopia dan Kenya.

Pers di Masa Orde Baru

Selama masa pemerintahan Orde Baru ruang gerak pers Indonesia sempat terbelenggu sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Lembaga-lembaga pemerintah melakukan kontrol ketat terhadap pers. Lembaga pemerintah yang melakukan kontrol antara lain Departemen Penerangan, Bakorstanas, Bakin, Sekretariat Negara dan lainnya. (Susilastuti, Kebebasan Pers Pasca Orde Baru, 2000)

Pada masa Orde baru, posisi pers tunduk dan berada di bawah elit penguasa. Pers Indonesia senantiasa dibayangi bentuk-bentuk intervensi pemerintah seperti regulation, advantages, subsides dan taxation yang dalam bentuk aplikasi tertentu menghambat kebebasan pers. Kenyataan itulah yang memaksa pers Indonesia untuk tetap memperhatikan pemerintah sebelum menyajikan sebuah informasi. Salah satu bentuknya dalam penggunaan sumber-sumber berita yang masuk dalam kategori routine information channels (Tiffen, 1978:163), apalagi untuk informasi yang  berdimensi politik.

Tahun 1991 Presiden Soeharto dalam pidato pengantar HUT ke-46 RI menyinggung tentang keterbukaan. Presiden menyatakan, “…..dialog-dialog yang positif dan konstruktif menandakan adanya keterbukaan. Keterbukaan adalah jaminan kebebasan. Namun tanpa tanggung jawab kebebasan adalah anarki yang akan menghancurkan demokrasi. Kebebasan yang bertanggung jawab harus diperhatikan.” (pidato pengantar HUT RI k3-46 RI tanggal 16-8-1991)

Menggelindingnya angin keterbukaan ini direspon positif oleh pers nasional dengan mencoba keluar dari tekanan pemerintah. Walaupun kontrol yang sifatnya eksternal masih ada, budaya telepon mulai berkurang. Pers nasional menyambut positif keterbukaan yang digulirkan pemerintah. Pers mulai berani memaparkan realitas politik uang sebelumnya dianggap tabu, misalnya soal korupsi. Dwi Fungsi ABRI dan lainnya. Namun era keterbukaan tersebut ternyata tidak berlangsung lama karena adanya pembredelan tiga penerbitan yaitu majalah Tempo, Editor dan tabloid Detik di bulan Juni 1994. Langkah pemerintah melakukan pembredelan menyebabkan pers berusaha membuat berita-berita yang dianggap aman. Walaupun demikian, ada juga sejumlah ‘pers bawah tanah’ yang berani menampilkan kebobrokan rezim Soeharto.

Kehati-hatian pers dalam memberitakan realitas politik tampak ketika memberitakan gerakan reformasi yang ada dalam masyarakat dengan tuntutan mundurnya Presiden Soeharto yaitu dengan mengandalkan narasumber dari kalangan birokrat. Akan tetapi,ketika perkembangan politik mulai tampak berpihak kepada kalangan reformis yaitu dengan munculnya pernyataan dari kalangan birokrat misalnya pernyataan Presiden Soeharto yang disampaikan oleh Menteri Penerangan Dr. Alwi Dahlan tentang gerakan reformasi yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat pada tanggal 16 Mei 1988. Disana terlihat pers nasional mulai berani menyampaikan berita berdimensi politik dengan narasumber dari luar birokrat, bahkan memaparkan fakta kejadian tentang korban gerakan reformasi secara transparan.

Sesudah Orde Baru

Dengan mundurnya Soeharto dari jabatan presiden yang berarti berakhirnya pemerintah Orde baru, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie memberikan ruang gerak yang lebih bebas kepada pers nasional yaitu dengan dicabutnya Permen No 01/Per/Menpen/1984 tentang Ketentuan-ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)  dan Permenpen No 02/Per/Menpen/1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Wartawan.

Empat SK Menpen juga dicabut yaitu SK Menpen No 214 A tentang Prosedur dan Persyaratan untuk mendapatkan SIUPP, SK Menpen No 47/Kep/Men/1975 tentang PWI dan SPS sebagai satu-satunya organisasi wartawan dan organisasi penerbit pers Indonesia, SK Menpen No 184/Kep/Menpen/ 9178 tentang pengukuhan serikat grafika pers (SGP) sebagai satu-satunya organisasi percetakan pers nasional dan SK Menpen No 24/Kep/Menpen/1978 dan SK Menpen No.226/Kep/Menpen/1984 tentang Wajib Relai Siaran RRI dan Penyelenggaraan Siaran Berita oleh Radio Siaran RI (Laporan tahunan LSPP, 1999:7)

Pers di Era Reformasi

Pada era reformasi ini pers seakan-akan merasakan angin surga dengan longgarnya kebijakan atas pers. Dihapuskannya pengakuan pemerintah atas PWI sebagai organisasi pers satu-satunya membuat pers kembali sesuai dengan fungsinya sebagai media massa yang bebas dari kontrol pemerintah. Maka, lahirlah organisasi pers seperti AJI, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan PWI reformasi (Martini, Analisis Peran dan Fungsi Pers Sebelum dan Sesudah Reformasi Politik di Indonesia, 2014).

Pasca reformasi, pemerintah mencabut sejumlah peraturan yang dianggap mengekang kebebasan pers, antara lain: Peraturan Menteri Penerangan  Nomor 1 tahun 1984 tentang Ketentuan- Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), Permenpen Nomor 2 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Wartawan, Surat Keputusan (SK) Menpen Nomor 214 Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP, dan SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 tentang Pengukuhan PWI dan Serikat Pekerja Surat Kabar sebagai satu- satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia. Kebebasan pers ini kemudian ditegaskan lagi lewat Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Adapun kebebasan atau kemerdekaan pers diatur dalam pasal 4 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999. (Momentum, Lembaga Pers Mahasiswa FT Undip)

Pers yang bebas merupakan hal yang dicita-cita kan oleh masyarakat, karena pers merupakan salah satu media aspirasi masyarakat. Tentu pers yang bebas harus tetap bertanggung jawab atas informasi yang dipublikasikan. Seperti yang dicetuskan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dimana pers yang bebas tetap bertanggung jawab agar pers sebagai media massa tidak bertindak semena-mena atas pemberitaan yang diberikan karena menganggap memiliki kemampuan dan kekuasaan atas media massa. Pers pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus mengalami kemajuan, pers beralih dari surat kabar cetak menjadi media online (Arnus, 2015). [S21]