Ilustrasi remaja (Foto: Milada Vigerova on Unsplash)

Di era digital yang serba cepat ini, remaja menghadapi tekanan yang semakin kompleks, baik dari lingkungan sosial, pendidikan, hingga ekspektasi pribadi. Kemajuan teknologi yang seharusnya membawa kemudahan, justru kerap menjadi sumber stres baru, mulai dari tekanan media sosial hingga tuntutan akademik yang semakin tinggi. Sayangnya, kesehatan mental remaja masih sering dianggap remeh dan bahkan distigmatisasi, sehingga banyak dari mereka yang merasa kesulitan untuk mencari bantuan.

Hari Kesehatan Mental Remaja Sedunia yang diperingati setiap tanggal 2 Maret hadir sebagai pengingat bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Momentum ini bukan sekadar seremoni, melainkan ajakan untuk meningkatkan kesadaran, memahami tantangan yang dihadapi remaja, serta mencari solusi agar mereka dapat tumbuh dalam lingkungan yang lebih suportif. Lantas, bagaimana sejarah dan perkembangan pemahaman masyarakat terhadap kesehatan mental? Dan seberapa mendesak isu ini untuk ditangani saat ini?

Mengutip laman National Today, setiap tanggal 2 Maret, dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Remaja Sedunia. Perayaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan berbagai tantangan kesehatan mental yang dihadapi remaja, serta mengedukasi masyarakat agar stigma terhadap isu ini dapat dihilangkan. Berbagai platform menyediakan materi informatif yang bermanfaat untuk membantu memahami dan menangani kesehatan mental remaja dengan lebih baik.

Sejarah dan Perkembangan Pemahaman Kesehatan Mental

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan mental sebagai kondisi kesejahteraan di mana individu menyadari kemampuan dirinya, dapat mengatasi tekanan hidup, bekerja secara produktif, dan berkontribusi bagi komunitasnya. Meskipun pemahaman tentang kesehatan mental telah berkembang pesat, masih banyak tantangan dalam upaya edukasi dan penghapusan stigma terkait.

Dalam sejarahnya, masalah kesehatan mental sering dikaitkan dengan hal supernatural atau bahkan dianggap sebagai bentuk hukuman dalam masyarakat religius. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, bidang psikologi mulai memahami kesehatan mental dengan lebih baik. Namun, hingga kini, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan pentingnya kesehatan mental, terutama bagi remaja.

Remaja menjadi kelompok yang rentan terhadap gangguan kesehatan mental. Menurut data WHO, sekitar 16% dari total penyakit dan cedera pada individu berusia 10 hingga 19 tahun berkaitan dengan masalah kesehatan mental. Sayangnya, banyak dari kasus ini tidak terdiagnosis dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Masalah kesehatan mental biasanya mulai muncul pada usia sekitar 14 tahun, dan jika tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan dampak serius di masa depan, seperti penyalahgunaan zat atau bahkan bunuh diri.

Depresi dan bunuh diri menjadi penyebab utama kematian di kalangan remaja. Jepang, misalnya, mencatat angka bunuh diri yang tinggi di kalangan anak sekolah. Pada tahun 2024, terdapat 527 kasus bunuh diri di kalangan siswa, meningkat dibandingkan tahun 2022 yang mencatat 514 kasus, dan 2023 yang mencatat 513 kasus. Data ini dikumpulkan oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang.

Kondisi serupa juga terjadi di Korea Selatan. Menurut laporan The Korea Herald, jumlah remaja di bawah 20 tahun yang dilarikan ke unit gawat darurat akibat percobaan bunuh diri meningkat drastis. Pada tahun 2023, angka ini mencapai 30.665 orang atau 43,3% dari total kasus, dibandingkan dengan 21.545 kasus pada tahun 2019 yang hanya sekitar 35%.

Pentingnya Edukasi dan Penghapusan Stigma

Hari Kesehatan Mental Remaja Sedunia menjadi momen penting untuk membuka ruang diskusi dan meningkatkan kesadaran global akan isu ini. Banyak remaja yang mengalami gangguan kesehatan mental enggan mencari bantuan karena takut dicap negatif oleh lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih memahami bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Yang paling dekat adalah keluarga, perbanyak komunikasi tentang kesehariannya bisa sedikit membuat remaja merasa memiliki tempat untuk cerita.

Menghapus stigma terhadap gangguan mental bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga komunitas, institusi pendidikan, dan pemerintah. Edukasi mengenai kesehatan mental harus terus digalakkan, baik melalui program sekolah, seminar, maupun kampanye di media sosial.

Dengan adanya Hari Kesehatan Mental Remaja Sedunia, diharapkan semakin banyak orang yang memahami betapa pentingnya kesehatan mental bagi generasi muda. Remaja yang sehat secara mental akan tumbuh menjadi individu yang lebih produktif, bahagia, dan mampu menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik. [UN]