Koran Sulindo – Berita kenaikan harga berbagai kebutuhan sempat “mengguncang” masyarakat di awal tahun ini. Tahun baru dengan harga baru. Selain mengguncang, kenaikan harga itu “menyengat” masyarakat karena harus membayar tarif listrik yang lebih tinggi dari sebelumnya. Juga harga cabai yang melambung terasa semakin “pedas” dan harga bahan bakar minyak (BBM) serta biaya pembuatan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) kian “mencekik leher” sebagian besar masyarakat.
Upah minimum baru bagi buruh nampaknya sama sekali tak ada artinya dengan kenaikan harga bahan kebutuhan tersebut. Pun petani yang sama sekali tak merasakan manfaat dari kenaikan harga cabai. Kenaikan harga barang kebutuhan kalah jauh dengan harga produk pertanian mereka. Alhasil mereka hanya bisa membeli sedikit barang atau jasa yang dibutuhkan. “Petani yang merupakan porsi terbesar rakyat Indonesia justru mengalami penurunan kesejahteraan,” kata ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri yang dikutip dari laman resminya, medio Januari lalu.
Mahasiswa, baik di ibu kota dan berbagai daerah, menolak kebijakan yang tidak pro pada rakyat tersebut. Mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) mengadakan aksi serentak di berbagai kota pada 12 Januari lalu. Ada sekitar 19 titik wilayah aksi yang ditetapkan seperti Aceh, Padang, Riau, Jambi, Jakarta, Bandung, Surabaya, Samarinda dan lain sebagainya.
Aksi mahasiswa ini menolak skema kenaikan harga berbagai kebutuhan yang dinilai memberatkan rakyat. Antara lain menolak kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik, pembuatan STNK, SIM dan BPKB. Mahasiswa menilai kenaikan harga ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang membuka pintu selebar-lebarnya atas modal asing atau mereka menyebutnya liberalisasi di segala bidang.
Harga BBM, misalnya, karena mengikuti harga pasar, maka tentu saja ada kenaikan harga. Untuk penaikan tarif dasar listrik pengguna 900 VA, pemerintah beralasan subsidi yang tidak tepat sasaran. Itu sebabnya, perlu dicabut kendati subsidi merupakan hak rakyat. Karena itu, kehancuran ekonomi hari ini disebut mahasiswa karena cengkeraman kapitalisme yang kian menggerogoti negeri.
Organisasi kaum tani Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) juga mengkritik keras pemerintah yang tidak mampu mengendalikan harga cabai yang melambung. Pemerintah tidak memiliki informasi yang jelas dan tidak konsisten tentang penyebab harga cabai naik tajam di luar batas kemampuan daya beli masyarakat. Karena itu, bisa jadi pemerintah mempunyai rencana atas sikapnya yang tidak jelas itu.
Petani Tidak Kuasa Menentukan Harga
Tingginya harga komoditas termasuk cabai, demikian AGRA, bukan sesuatu yang baru. Karena nyaris terjadi setiap tahun terutama untuk kebutuhan pokok. Organisasi ini menemukan kenaikan harga produksi pertanian di pasar selama ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan harga di petani. Dengan kata lain, harga cabai yang sempat mencapai antara Rp 120 ribu hingga Rp 250 ribu per kilogram bukan karena petani menjualnya dengan harga tinggi.
“Petani justru tidak berkuasa menentukan harga. Nyatanya petani harus menerima harga yang ditentukan pembeli (tengkulak). Harga cabai di petani hanya berkisar Rp 40 ribu hingga Rp 70 ribu per kilogram,” demikian keterangan resmi AGRA dalam laman resminya.
Dengan demikian, AGRA menarik kesimpulan bahwa penaikan harga cabai disebabkan hal lain yang secara sengaja “memainkan” harga untuk meraup keuntungan besar. Terlebih lagi Indonesia tidak kekurangan stok cabai. Pasokannya pun lancar. Data Kementerian Pertanian justru menggambarkan produksi cabai dari November 2016 hingga Januari 2017 mengalami kelebihan. Pada November, misalnya, kebutuhan cabai secara nasional hanya 53.810 ton, sementara produksi cabai pada bulan yang sama mencapai 58.747 ton.
Selanjutnya, di bulan Desember produksi cabai nasional mencapai 61.435 ton, sementara kebutuhan nasional hanya 54.346 ton. Pada Januari 2017 produksi cabai nasional mencapai 73.757 ton, sedangkan kebutuhan pada bulan yang sama hanya 68.303 ton. Berdasarkan data itu, Indonesia sesungguhnya kelebihan produksi cabai.
Lantas mengapa harga cabai bisa melambung?
Berdasarkan kajian AGRA, pemerintah menetapkan cabai sebagai produk pertanian penting yang menjadi bagian dari delapan kebijakan fokus pengembangan komoditas. Kebijakan ini merupakan bagian dari lima strategi pembangunan pertanian 2015 hingga 2019. Lima strategi itu adalah menjadikan basis produksi komoditas pangan, komoditas ekspor, penyediaan bahan baku bio-energi dengan pendekatan kawasan; meningkatkan kualitas dan daya saing produk pertanian; menyediakan prasarana dasar bidang pertanian; memberikan perlindungan dan pemberdayaan petani; dan meningkatkan tata kelola kepemerintahan yang baik.
Sesuai dengan hal tersebut, kemudian dibentuk kebijakan upaya khusus masalah cabai. Karena telah menjadi produk pertanian penting, maka pemerintah memberi perhatian serius atas produk tersebut. AGRA menduga setidaknya ada dua alasan mengapa pemerintah menetapkan cabai sebagai produk pertanian penting. Pertama, pemerintah menyadari cabai merupakan produk pertanian yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat yang mesti dipenuhi baik dari harga maupun stok.
Kedua, sebagai kebutuhan pokok, maka cabai memiliki pangsa pasar yang besar dan sangat menjanjikan secara bisnis. Jika karena alasan ini cabai ditetapkan sebagai produk pertanian yang penting, tentu saja pemerintah berkepentingan memonopolinya sehingga berkuasa untuk mengontrol harga cabai di pasar. Dugaan AGRA itu bukan tanpa dasar. Lombok Timur dan Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi contoh nyata dari kebijakan tersebut.
Pemerintah dan kelompok tani telah menjalin kemitraan sejak 2015 di daerah itu. Gagasan yang berasal dari Bank Indonesia (BI) itu dimaksudkan untuk menekan tingkat inflasi di desa akibat lonjakan harga kebutuhan pokok. Dalam pelaksanaan kemitraan itu, BI juga menggandeng Badan Koordinasi Penyuluhan NTB bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai pendamping. Sedangkan Bulog berperan sebagai distributor cabai.
Salah satu klausul kerja sama yang tertuang dalam nota kesepahaman (MoU) antara petani dan pemerintah, petani wajib menjual 20 persen hasil panen kepada Bulog. Jika tidak, maka petani bisa dipidanakan. Bulog membeli harga cabai dari petani hanya Rp 40 ribu per kilogram. Setelah itu disalurkan ke berbagai pasar di kedua daerah itu seperti skema operasi pasar dengan harga Rp 90 ribu per kilogram atau selisih sekitar 125 persen. Sementara harga cabai di pasar hari ini menyentuh angka antara Rp 105 ribu hingga Rp 110 ribu per kilogram.
Dari skema itu, tampak bagaimana Bulog bisa memainkan harga karena bisa mengakses langsung ke petani. Kelebihan produk cabai di NTB ini kemudian disalurkan ke berbagai wilayah seperti Jakarta, Bali, Surabaya, Bandung, Riau dan Batam. Berdasarkan kajian tersebut, AGRA menyimpulkan penyebab penaikan harga cabai hari-hari ini bukan karena stoknya kurang melainkan adanya monopoli yang mengendalikan harga.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan jajarannya memberikan jawaban yang saling bertentang satu dengan lainnya soal lonjakan harga cabai. Amran, misalnya, mengatakan, melonjaknya harga cabai lantaran pasokan yang tersendat karena cuaca buruk. Sedangkan, Dirjen Holtikultura Kementerian Pertanian Sputnik Sujono menyebutkan, gangguan cuaca menyebabkan tanaman cabai cenderung gugur. Tentu saja, alasan ini bertentangan dengan data ketersediaan cabai yang disebutkan surplus dari November 2016 hingga Januari 2017.
Kepala Staf Presiden (KSP) Teten Masduki turut menimpali – kendati tidak secara khusus membahas penaikan harga cabai – pemerintah sebenarnya tidak punya kebijakan menaikkan tarif listrik, BBM bersubsidi dan pajak kendaraan. Untuk STNK, SIM dan BPKB hanya ada kenaikan biaya administrasi, kata Teten.
Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir membenarkan pernyataan Teten. Kondisi sesungguhnya adalah pemerintah mencabut subsidi listrik yang diberikan kepada golongan rumah tangga 900 VA karena dianggap tidak tepat sasaran. Kenaikan ini akan dilakukan secara bertahap mulai Januari, Maret dan Mei 2017. Pencabutan subsidi telah dirancang sejak 10 bulan sebelumnya dan telah pula disetujui Dewan Perwakilan Rakyat. Anggaran subsidi disebut akan dialihkan untuk menyediakan listrik di daerah terpencil. Hingga saat ini ada 12 ribu desa yang belum teraliri listrik.
Sementara alasan menaikkan harga BBM adalah karena kenaikan harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah. BBM non-subsidi seperti pertamax, pertalite dan dexlite mengalami kenaikan Rp 150 per liter. Kenaikan harga-harga ini “menyengat” dan membebani kehidupan masyarakat. Terlebih ini baru permulaan tahun. Dan pemerintah nampaknya masih saja membual dengan mengatakan kenaikan tersebut demi kesejahteraan rakyat. [Kristian Ginting]