Hantu Kiri Hidup Kembali

Ilustrasi: Pemutaran film Maha Guru Tan Malaka di LBH Padang, Sumatera Barat/sumbarsatu.com

Koran Sulindo – Timbunan cerita tentang pembubaran acara karena dihubung-hubungkan dengan kiri, komunis, dan atau sejenisnya bertambah tinggi lagi. Yang mutakhir, pembubaran pemutaran film tentang Tan Malaka di tanah kelahiran tokoh yang difilmkan itu, pekan lalu.

“Maha Guru Tan Malaka” itu digarap dengan bantuan dana sebesar Rp175 juta dari sebuah Direktorat Jenderal pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Film mengambil sepotong hidup Tan Malaka dari perspektif anak muda lulusan sekolah drama Paris, Marko. Anak muda milenial itu mencari jejak pahlawan Indonesia yang seolah terlupakan itu ke Negeri Belanda. Orang Minang itu memang pernah menetap dan belajar di Haarlem antara 1913-1919.

Dalam film itu, Marko berkeliling Belanda antara lain menemui sejarawan Harry A Poeze, penulis 3 jilid buku biografi Tan Malaka.

Sebelumnya pemutaran film tersebut direncanakan di depan lapangan Porkas, Kecamatan Nanggalo Kota Padang, namun gagal. Acara kemudian dipindah ke kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang.

Komunitas Shelter Utara, penyelenggara pemutaran film itu di Padang, menyatakan otoritas setempat mendatangi lokasi acara ingin memastikan acara itu dihentikan. Kabar tersebut dibagikan di media sosial lewat akun Instagram @shelterutara. Dalam beberapa video pendek Instagram Stories, tampak aktivitas di luar dan di dalam kantor LBH Padang, termasuk mobil polisi dengan lampu rotator biru.

“Intelijen, Pol PP (polisi pamong praja), (ketua) RT, (ketua) RW, lurah, bertandang untuk memastikan dipaksa batal atas pemutaran film Mahaguru Tan Malaka,” kata @shelterutara di akun tersebut.

Dalam video itu terdengar dua orang mewakili kedua pihak sedang berdebat soal pelaporan agenda acara pemutaran ini. Video lain menunjukkan aktivitas menonton film dari beberapa orang di dalam ruangan.

Sebelumnya, lewat media sosial juga, Shelter Utara mengumumkan pemutaran film dibatalkan karena “intimidasi dari berbagai pihak”.

Shelter Utara adalah komunitas perpustakaan yang telah melaksanakan bedah film dan diskusi selama 3 tahun terakhir.

“Setelah itu ada ancaman pembubaran oleh oknum militer namun kita tidak mengetahui siapa oknum tersebut,” kata staf Divisi HAM LBH Padang, Aulia Rizal Staf.

Sutradara film itu, Daniel Rudi Haryanto, mengatakan road show (pemutaran keliling) film tentang salah satu pendiri bangsa itu kemungkinan ditunda sementara.

“Setelah kejadian di Padang kemarin pemutaran keliling film itu kemungkinan kami tunda sementara. Apalagi ada kabar aparat akan mencegah,” kata Daniel, kepada koransulindo.com, pekan lalu.

Ada kabar burung, Badan Intelijen Negara (BIN) mengontak Kemendikbud agar pemutaran keliling film Daniel itu dihentikan, konon, untuk mencegah kegaduhan sejenis terus berlanjut.

Tan Malaka (kiri) dan Sukarni (tengah)/earthofpeople.com

Apakah Tan Malaka kiri? Boleh jadi. Tapi siapakah tokoh bangsa negeri ini, dalam konteks sebelum dan selama mempertahankan kemerdekaan agar tak dijajah lagi, yang tidak kiri? Ingat, ini adalah negeri jajahan yang hendak memerdekakan diri dari kolonialisme asing. Yang jelas, Tan Malaka diakui negara lewat Keputusan Presiden RI No. 53 Tahun 1963 yang menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional.

Ganjil

Ariel Heryanto dalam tulisannya di  theconversation.com, “Hiruk pikuk ‘bahaya’ komunis: sampai kapan?”, mengatakan setiap masyarakat menyimpan keganjilan. Dan pembubaran acara yang dituduh kiri adalah contoh keganjilan berganda dari Indonesia.

Keganjilan pertama, sejak berakhirnya Perang Dingin topik itu memudar dalam percakapan dunia. Tapi topik ini tidak pernah ada surutnya di negeri yang paling berhasil melakukan pembantaian terhadap kaum komunis. Yang lebih ganjil, tulis Ariel, sumber bahaya yakni “komunisme” dilarang dipelajari. Buku sumber komunisme, juga Marxisme, terlarang. Bahkan sobekan sampul buku semacam itu, jika bergambar palu-arit, bisa dianggap membahayakan negara. Pemiliknya bisa diserang gerombolan preman bayaran, atau ditahan polisi.

Jelas, tindakan dan kampanye anti kiri ini tidak akan pernah semarak sekarang jika tidak disponsori elite politik negara, dengan modal daya dan dana berlimpah.

“Dalam propaganda Orde Baru, Islam dan Komunisme dipertentangkan secara hitam putih. Tetapi di kalangan elite politik negara, baik Islam maupun Komunisme sama-sama diperlakukan sebagai alat berpolitik untuk membakar emosi massa atau stigma yang dilemparkan kepada lawan politik,” tulis Ariel.

Bisakah tanah air ini reda dari hiruk pikuk hantu komunisme ini? Bisa. Jika sudah ada alat lain yang bisa dimanfaatkan para politisi untuk ambisi politiknya, karena bagi mereka tidak terlalu penting apakah itu ajaran komunisme, atau Islam. Yang penting bisa dimanipulasi untuk kepentingan politiknya.

Ancaman?

Kiri sebagai ancaman bagi kedaulatan dan keutuhan Indonesia memang telah lama dipersepsikan, bahkan sebelum negara bangsa ini terbentuk. Semua pejuang yang melawan penjajahan Belanda pasti dicap kiri, komunis, atau paling sial ekstremis. Presiden RI pertama Ir Soekarno hingga wafatpun masih dianggap ektremis oleh pemerintah Belanda.

Dalam tulisan peneliti LIPI Muhamad Haripin, “Kiri sebagai Ancaman”, disebut masih banyak regulasi dengan pernyataan eksplisit maupun momen tertentu dalam dinamika perkembangan sektor keamanan di Indonesia yang memperlihatkan kiri masih dipersepsikan sebagai ancaman.

Pertama dan utama, Ketetapan MPRS/XXV/1966 tentang pembubaran PKI, PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang, dan pelarangan bagi penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme, masih berlaku.

Berdasarkan penelusuran dokumen, Harpin mengatakan kiri memang betul-betul tampak sebagai ancaman bagi Indonesia. Dan ia mengingatkan, reformasi sektor keamanan di Indonesia, meskipun sudah berlangsung hampir 20 tahun, masih berada pada fase perkembangan awal.

“Masih begitu banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan oleh militer, polisi, maupun intelijen Indonesia dalam menyelaraskan dirinya dengan sistem politik demokrasi, yaitu di antaranya mau menerima pengawasan eksternal dan mau bekerja berdasarkan prinsip transparansi serta akuntabilitas.”

Selain itu, menurut Harpin, aktor keamanan juga memperlihatkan sikap resistensi terhadap upaya reformasi yang diusung kelompok sipil, terutama legislatif serta organisasi non-pemerintah, atas isu-isu tertentu, seperti misalnya restrukturisasi komando teritorial (perampingan maupun pengurangan jumlah koter di provinsi tertentu), likuidasi dan transfer aset bisnis militer sepenuhnya kepada kementerian sipil (Kementerian Keuangan), serta reformasi peradilan militer (personel militer dapat diadili di pengadilan sipil dan pengadilan hak asasi manusia).

Menurut Harpin, mempercayai sepenuhnya penilaian serta pandangan pemangku kepentingan negara di sektor keamanan atas ancaman keamanan nasional merupakan pilihan sikap yang sulit dipertanggungjawabkan. Respon yang semestinya diberikan adalah melakukan evaluasi kritis serta, jikalau diperlukan, menulis-ulang apa yang dipersepsikan sebagai ancaman.

“Jika aktor keamanan terus melakukan resistensi, jangan-jangan aktor keamanan-lah yang justru menjadi atau akan menjadi ancaman keamanan nasional.”

Yang patut dipikirkan, sejak reformasi 1998 hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo kini para pemangku kepentingan keamanan di tanah air selalu mempersepsikan kiri sebagai ancaman, padahal secara nyata tak ada ancaman dari luar batas teritorial.

Penyebutan kiri sebagai ancaman menunjukkan orientasi keamanan Indonesia, berdasarkan cara pandang negara, masih belum beranjak jauh. Pertama, keamanan dari dalam negeri atau keamanan dari rakyat Indonesia sendiri yang dipersepsikan tidak sejalan dengan ideologi resmi negara.

Lalu yang sering terjadi sejak rezim Soeharto pada 1965 lampau, hantu kiri dipakai untuk memenuhi kepentingan kekuatan lama dan keturunannya untuk mengeluarkan lawan dari gelanggang politik, ekonomi, budaya, dan akademik. Dan pemerintahan yang sekarang juga bergerak tak lebih jauh dari awal reformasi 20 tahun lalu. Hanya diam jika ada teriakan-teriakan membubarkan acara karena dituduh kiri, atau diam-diam menekan yang mengadakan acara untuk menghentikan diri. [Didit Sidarta]