Abdul Halim Perdanakusuma. (Foto: Situs TNI AU)
Abdul Halim Perdanakusuma. (Foto: Situs TNI AU)

Halim Perdana Kusuma adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Angkatan Udara Republik Indonesia. Lahir pada 18 November 1922 di Sampang, Madura, Halim adalah anak ketiga dari pasangan H. Abdulgani Wongsotaruno dan R.A. Aisyah.

Ayahnya, seorang birokrat dan penulis, memegang jabatan sebagai Patih di Sampang dan menulis karya “Batara Rama Sasrabahu” dalam bahasa Madura.

Halim memulai pendidikan formalnya di HIS (Hollandsche Inlandsche School) Sumenep pada 1928 dan lulus pada 1935. Ia kemudian melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) dan lulus pada 1938.

Ayah Halim berharap ia mengikuti jejaknya sebagai pamong praja, sehingga Halim dikirim ke MOSVIA (Mideelbaar Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren), sebuah sekolah yang mendidik pemuda bumiputra untuk menjadi birokrat Hindia Belanda.

Namun, sebelum Halim menyelesaikan pendidikannya, Perang Dunia II pecah di Eropa. Ketika Nazi Jerman menginvasi Polandia dan negara-negara Eropa lainnya pada 1940, Belanda jatuh ke tangan Jerman.

Di tengah ancaman perang, Hindia Belanda mengadakan milisi umum, dan Halim bergabung dengan Angkatan Laut Belanda untuk pendidikan sebagai Opsir Terpedo di Surabaya. Saat pendidikan berlangsung, Jepang menyerang Pearl Harbor pada Desember 1941, memulai Perang Pasifik.

Setelah Jepang menguasai Kalimantan Utara dan mendarat di Jawa pada Maret 1942, Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Pemerintah Hindia Belanda sempat memindahkan staf dan siswa perwira angkatan laut, termasuk Halim, ke Amerika Serikat untuk melanjutkan pendidikan militer.

Halim kemudian berkesempatan belajar di RCAF (Royal Canadian Air Forces) dan bertugas sebagai perwira navigasi udara di Inggris, berpartisipasi dalam misi pengeboman terhadap Jerman selama Perang Dunia II. Keberhasilannya membuatnya dijuluki “The Black Mascot” oleh Angkatan Udara Inggris.

Setelah perang, Halim dikembalikan ke Angkatan Laut Hindia Belanda dan kembali ke Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya. Halim sempat dipenjara oleh NICA di Kediri tetapi dibebaskan atas perintah Menteri Pertahanan Amir Syarifudin.

Kembali ke Sumenep, Halim diajak oleh Suryadi Suryadarma, tokoh pendiri Angkatan Udara RI, untuk bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat di Jawatan Penerbangan. Bersama Suryadarma, Adi Sucipto, dan Abdulrahman Saleh, Halim membangun Angkatan Udara dengan pangkat Komodor Moeda Oedara (KMO).

Salah satu tugas penting Halim adalah mengkoordinasi serangan balasan terhadap tentara NICA selama Agresi Militer I pada 22 Juli 1947. Serangan itu ditujukan ke Semarang, Salatiga, dan Ambarawa, namun dibalas oleh NICA yang menembak jatuh pesawat Dakota VT-CLA yang ditumpangi Adi Sucipto, Abdulrahman Saleh, dan Adi Sumarmo Wiryokusumo, menewaskan ketiganya.

Pasca gugurnya ketiga perwira tersebut, Halim menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Udara RI dan diberi tugas penting membangun kekuatan udara di Sumatra. Halim berhasil mengumpulkan dana dan emas dari masyarakat Sumatra, menghasilkan 12 kg emas yang kemudian dibelikan pesawat AVRO Anson dengan nomor registrasi VH-PBY (RI-003). Dengan pesawat ini, Halim menembus blokade udara NICA untuk melakukan perdagangan dengan Singapura dan Thailand.

Tragisnya, pada 14 Desember 1947, saat kembali dari Singapura menuju Bukit Tinggi, pesawat AVRO Anson yang ditumpangi Halim mengalami kecelakaan di Pantai Tanjung Hantu, Semenanjung Malaya, akibat cuaca buruk, dan Halim gugur dalam peristiwa tersebut.

Jenazah Iswahyudi, pilot pesawat, tidak ditemukan hingga kini. Sebagai penghargaan atas pengabdiannya, Halim dianugerahi pangkat Laksamana Muda Udara (Anumerta), dan pada 17 Agustus 1952, lapangan udara Cililitan diubah namanya menjadi Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma. [UN]