Haji Misbach: Tokoh Islam dan Pejuang Kaum Tertindas

Haji Mohamad Misbach Ahmad (1876-1926).

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, banyak sekali tokoh-tokoh nasionalis yang lahir dan memberi kisah heroik yang berbeda. Pejuangan mereka tidak hanya berhenti pada kemerdekaan namun banyak tokoh yang memperjuangankan agama dan sosialisme dalam melawan penindasan. Salah satunya adalah Haji Misbach, meskipun namanya tidak terlalu tersohor namun perjuangannya dalam sosialisme patut untuk diceritakan.

Haji Misbach, laki-laki kelahiran Kauman, Solo Jawa tengah pada 1876 mempunyai nama lengkap Haji Mohamad Misbach Ahmad.

Dilansir dari berbagai sumber, rumah Haji Misbach terletak di sisi barat alun-alun utara tepat di depan Keraton Kasunanan dekat Masjid Agung Surakarta. Semasa Kecil Haji Misbach bernama Ahmad namun setelah dirinya menikah, namanya berganti menjadi Darmodiprono. Nama Haji Mohamad Misbach sendiri dipakai sepulang dirinya menjalankan ibadah haji di Tanah Suci Mekkah. Ayahnya merupakan pengusaha batik yang kaya raya.

Masa kecil Haji Misbach banyak dihabiskan di pesantren, selain itu dirinya juga menimba ilmu di sekolah Bumiputera ”Ongko Loro”. Dasar pesantren inilah yang kemudian membawa Haji Misbach ke dunia dakwah dengan menjadi Mubaligh. Perkenalannya dengan banyak aktivis membawa ketertarikan untuk ikut terjun dalam organisasi dengan bergabung dalam Inlandsche Journalisten Bond (IJB).

Inlandsche Journalisten Bond (IJB)

Inlandsche Journalisten Bond (IJB) merupakan organisasi wartawan yang didirikan pada tahun 1914 di Solo dan merupakan organisasi wartawan pertama di Indonesia.

Berdirinya organisasi ini diprakarsai oleh Tjipto Mangoenkoesoemo, Raden Sosro Koornio, dan dan Marco Kartodikromo . Tujuan dibentuknya organisasi ini selain sebagai tempat perkumpulan wartawan juga menjadi sarana dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan menjadi organisasi intelektual dalam bidang kewartawanan.

Pergerakan Islam Haji Misbach

Di Yogyakarta pada tahun 1912 terbentuklah organisasi Islam Muhammadiyah yang dipimpin oleh K.H Ahmad Dahlan, dan disana menjadi sentral kegiatan Islam saat itu. Mereka yang berkegiatan disana kebanyakan berlatar belakang keluarga pegawai keagamaan Sultan dan pengaruh Muhammadiyah sangat kuat saat itu.

Lain halnya dengan Surakarta, disana belum ada organisasi yang mempunyai pengaruh kuat seperti K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah. Hal ini dikarenakan, di Surakarta sudah ada sekolah agama modern pertama di Jawa yang didirikan oleh patih R. Adipati Sosrodiningrat (1906). Sarekat Islam(SI) pun sudah lebih dulu berkiprah menjadi wadah dalam pergerakan Islam di Surakarta.

Pergerakan Islam Surakarta & Yogya masih ada perbedaan yang mencolok. Di Yogya, gerakan Islam tidak hanya reformis, tetapi juga modernis. Berbeda dengan Surakarta, gerakan kaum muda Islam semuanya bersifat modernis namun tidak semuanya reformis.

Kegiatan keislaman pada Surakarta banyak dipengaruhi kiai yg progresif pada metode penyampaian namun ortodoks secara isi dakwahnya, misalnya Kiai Arfah & KH Muhammad Adnan.

Sampai suatu waktu ortodoksi yg cenderung menghindar ijtihad itu terpecah ketika tahun 1918.

Perjuangan Sosial dan Pandangan Politik

Haji Misbach adalah sosok yang unik karena mampu memadukan nilai-nilai Islam dengan perjuangan kelas. Pada awal tahun 1920-an, ia mulai aktif menulis untuk surat kabar seperti Islam Bergerak untuk mengkritik kesenjangan sosial dan penindasan kolonial.

Misbach meyakini Islam adalah agama yang memperjuangkan keadilan dan melawan segala bentuk eksploitasi. Namun yang membedakannya dari orang lain adalah keterbukaannya terhadap ideologi komunis. Ia percaya bahwa prinsip-prinsip komunis seperti pemerataan kekayaan dan memperjuangkan masyarakat miskin sejalan dengan ajaran Islam. Dalam beberapa karyanya, ia menegaskan bahwa umat Islam harus mendukung gerakan sosialis karena tujuan utamanya adalah membangun masyarakat yang adil.

Konflik dengan pemerintah kolonial dan kaum tradisionalis

Pandangan progresif Haji Misbach tentu tidak diterima  semua pihak. Pemerintah kolonial Belanda menganggapnya sebagai ancaman karena kritik kerasnya terhadap sistem kolonial yang eksploitatif. Dia ditangkap dan dipenjara beberapa kali atas tuduhan subversif.

Selain itu, pandangannya mendapat kritik dari kalangan Islam konservatif, yang menganggap komunisme sebagai ideologi anti-agama. Namun Haji Misbach dengan tegas membantah tudingan tersebut. Baginya, Islam dan komunisme tidak bertentangan, namun bisa bekerja sama memperjuangkan hak-hak kaum tertindas.

Pengasingan dan Akhir Hidup

Pada tahun 1924, Haji Misbach diasingkan  Belanda ke Manokwari, Papua. Jauh dari pusat-pusat gerakan, ia tetap aktif menyebarkan gagasannya di kalangan masyarakat lokal. Meski terkucilkan, namun semangat juangnya tak surut.

Di tempat pengasingan kondisi kesehatannya memburuk karena lingkungan yang tidak bersahabat dan beratnya hidup di pengasingan. Haji Misbach meninggal  di Manokwari pada tahun 1926. Meski meninggal jauh dari kampung halamannya, ide dan perjuangannya terus menginspirasi banyak aktivis di tahun-tahun berikutnya. [IQT]