Darahnya biru kental. Namun, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto bukanlah bangsawan feodal yang tidak peduli nasib bangsanya.
Tjokro dilahirkan di Desa Bakur, Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur, tahun 1883. Ayahnya Raden Mas Tjokoamiseno, seorang wedana. Kakeknya menjadi Bupati Ponorogo. Buyutnya seorang ulama, Kiai Bagus Kasan Besari.
Lulus dari sekolah calon amtenar (Opleiding School voor Inlandse Ambtenaren) di Magelang, Jawa Tengah, tahun 1902, ia langsung bekerja sebagai juru tulis pangrehpraja di Ngawi, Jawa Timur, tiga tahun. Setelah itu, Tjokro bekerja sebagai pegawai swasta di Firma De Kooy, Surabaya, dan sorenya melanjutkan pendidikan di sekolah teknik, Burgerlijke Avond School, jurusan teknik mesin.
Ketika lulus, ia pindah bekerja ke sebuah pabrik gula di Surabaya, sebagai ahli kimia. Tahun 1912, Tjokro berkenalan dengan Hadji Samanhoedi, pendiri dan Ketua Sarekat Dagang Islam (SDI). Samanhoedi datang dari Solo ke Surabaya untuk mengembangkan SDI.
Bertemu pemuda muslim terpelajar, Samanhoedi begitu senang. Ia langsung mengajak Tjokro terlibat dalam upaya memperjuangkan kepentingan umat Islam. Tawaran tersebut langsung disambut Tjokro. Bahkan, dalam pertemuan itu juga, Tjokro langsung mengusulkan ke Samanhoedi agar nama Sarekat Dagang Islam diubah, menjadi Sarekat Islam (SI) saja. Alasannya: agar perkumpulan itu dapat menjangkau golongan masyarakat yang lebih luas, bukan hanya dari kalangan pedagang dan saudagar.
Samanhoedi setuju. Bahkan, ia meminta Tjokro untuk menyusun anggaran dasar organisasi tersebut, yang kemudian disahkan oleh notaris pada 10 September 1912. Seperti tertulis dalam anggaran dasarnya, tujuan SI adalah memajukan perdagangan, menolong anggotanya yang mengalami kesulitan, memajukan kepentingan rohani dan jasmani kaum bumiputera, dan memajukan kehidupan agama Islam.
Ketuanya tetap Samanhoedi. Tjokro diangkat sebagai komisaris untuk daerah Jawa Timur. Dalam waktu singkat, organisasi ini berkembang pesat dan anggotanya terus bertambah. Itu sebabnya, belum lagi SI setahun usianya, Samanhoedi mengajukan permohonan ke pemerintah Hindia Belanda agar diakui sebagai badan hukum untuk seluruh Indonesia, namun permohonan itu ditolak. Pemerintah kolonial Belanda hanya mengakui SI-SI setempat.
Maka, dibentuklah SI-SI lokal, yang kemudian digabungkan di bawah Centraal Committe SI. Tahun 1915, istilah centraal comitte diganti dengan Centraal SI. Tjokro diangkat sebagai Ketua Centraal SI, sedangkan Samanhoedi sebagai ketua kehormatan.
Bergabung dengan SI, sikap Tjokro yang radikal menentang penjajahan mulai terlihat, bahkan sebelum menjadi ketua. Dalam Kongres Pertama SI pada Januari 1913 di Surabaya, misalnya, Tjokroaminoto mengatakan, kongres itu pertanda bukti kebangkitan hati rakyat Indonesia yang dipandang orang sebagai seperempat manusia. “Apabila suatu rakyat telah bangun dari tidurnya, tak satu pun yang dapat menghalangi geraknya,” katanya.
Pada Kongres Ketiga SI pada Juni 1916 di Bandung, yang biasanya disebut Kongres Nasional Pertama SI, Tjokjro semakin memperlihatkan warna dan keberpihakan yang tegas terhadap bangsanya yang sedang dijajah. “Tidak wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberi makan hanya disebabkan susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai suatu tempat di mana orang-orang datang dengan maksud untuk mengambil hasilnya, dan tidaklah dapat lagi dipertanggungjawabkan bahwa penduduk pribumi tidak mempunyai hak untuk ikut serta dalam masalah-masalah politik yang menyambut nasibnya sendiri. Tidak boleh terjadi lagi bahwa seseorang mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk kita tanpa mengikutkan kita, mengatur hidup kita tanpa mengikutsertakan kita. Kita harus mengharapkan dengan ikhlas dan jujur datangnya pemerintah sendiri bagi Hindia Belanda…. Semakin lama semakin tambah kesadaran orang bahwa pemerintahan sendiri adalah perlu. Lebih lama lebih dirasakan bahwa tidak patut lagi Hindia diperintah oleh Nederland seperti tuan tanah mengurus persil-persilnya,” ujar Tjokro.
Ia juga mengatakan, hak-hak dan kebebasan politik baru diberikan kepada rakyat kalau rakyat itu meminta sendiri dengan memaksa. “Jarang sekali terjadi bahwa hak kebebasan itu diberikan sebagai hadiah oleh sesuatu pemerintah. Di bawah pemerintah yang tiranik dan zalim, hak-hak dan kebebasan itu dicapai dengan revolusi,” kata Tjokro di bagian akhir pidatonya.