Koran Sulindo – Ghouta harus jatuh, begitulah kata tentara Suriah. Ketika wilayah itu jatuh, Idlib pasti akan menjadi yang berikutnya. Setelah semua itu tuntas, orang-orang Suriah harus memikirkan bagaimana cara menghentikan pendudukan AS-Kurdi di Raqqa.
Di Ghouta Timur, alih-alih bergerak malam hari seperti lazimnya taktik tradisional, Tentara Arab Suriah atau SAA justru berbaris sambil beryanyi sepanjang jalan raya menuju Damaskus dari Aleppo di siang bolong.
Tak hanya yang datang dari Aleppo, dari Deraa di selatan dan pedesaan Damaskus tentara-tentara itu berbaris dengan terang benderang.
Tentu itu pesan yang jelas, SAA ingin menunjukkan kepada teroris dan militan di Ghouta bahwa mereka harus tahu bagaimana pertempuran bakal berakhir nantinya.
Sementara perundingan terus diupayakan oleh pemberontak dengan SAA dan media barat yang terus memekik-mekik atas jatuhnya korban sipil, selama ini toh mereka bungkam atas kampanye pemboman yang lebih berdarah di Mosul ataupun Raqqa.
Terlepas dari semua retorika Barat dan medianya termasuk PBB, jelas pemboman bakal terus berlanjut.
Ghouta Timur adalah sebuah kantong pemberontak yang dikepung SAA sejak tahun 2013. Di wilayah itu berkuasa militan faksi Arab Saudi yakni Jaish al Islam yang sejak semula memang enggan menyerah. Bahkan meski jika mereka diizinkan meninggalkan daerah itu dengan senjata ringan seperti yang selama ini dinegosiasikan.
Tak hanya melawan tentara Suriah, di Ghouta mereka juga berseteru sengit dengan proxy Qatar yakni Hayat Tahrir al-Sham yang merupakan rebranding dari Jabhat al Nusra atau Al-Qaeda cabang Suriah. Wilayah Ghouta juga dikuasai Legiun Faylaq al-Rahman yang berafiliasi dengan Ikhwan al-Muslimin.
Mereka para ‘penguasa’ Ghouta ini tak pernah kompak dan memiliki strategi tunggal melawan SAA selain menembakkan mortir secara membabi-buta ke distrik-distrik pro pemerintah seperti Bab Touma di Kota Tua Damaskus.
Harus Tumpas
Selain mengirim Tiger Forces yang tak pernah kalah pada semua pertempuran di Suriah, melumat teroris-teroris itu SAA juga mengerahkan Divisi Lapis Baja ke-4 Maher al Assad dan Brigade 104, 105 dan 106 dari Garda Republik.
Tak ada tawar menawar, bagi SAA Ghouta harus jatuh.
Pengepungan sekaligus penyerbuan Ghouta kali ini bisa jadi menjadi yang terakhir dari pengepungan besar yang dalam perang Suriah setelah pengepungan Aleppo.
Di awal-awal perang, SAA menyesuaikan strategi dengan membiarkan musuhnya mengelilingi mereka dan memusatkan kekuatannya pada mereka yang pro-pemerintah untuk mempertahankan wilayahnya termasuk jalan-jalan utama atau wilayah perkotaan penting. Daerah-daerah yang menjadi kantong pemberontak ditutup dengan pos pemeriksaan.
Ghouta Timur yang hanya berjarak beberapa mil di sebelah timur Damaskus merupakan kawasan perkotaan dan pertanian luas dengan populasi mencapai 400 ribu jiwa. SAA mengepung wilayah ini secara longgar sejak 2013.
Ada kekurangan pasokan medis, suku cadang mesin dan beberapa barang bernilai tinggi lainnya namun bukan persediaan makanan pokok.
Tahun lalu SAA memperketat pengepungan dengan menutup sistem terowongan yang digunakan oleh pemberontak untuk memasok bahan bakar. Kota ini bertahan karena ukurannya yang memang besar dan sangat dipersenjatai.
Membiarkan Ghouta di tangan pemberontak, sejak empat tahun terakhir membuat penduduk di Damaskus tak pernah bisa tidur nyenyak. Roket dan artileri secara konstan ditembakkan mengincar pemukiman sipil di ibu kota. Dari wilayah itu juga ancaman bom mobil bunuh diri terus terjadi.
Ini adalah pengepungan berbeda, yang tak memiliki preseden dan ukuran selama tujuh tahun perang Suriah. Syok, kaget atau ngeri memang menjadi target yang harus dialami oleh pemberontak di Ghouta. Serangan udara Suriah dalam beberapa hari terakhir menunjukkan hal itu.
Dengan serangan pertama mengincar wilayah-wilayah yang dikendalikan al-Nusra, hanya berarti bahwa militan al-Qaeda yang keras kepala ini harus dibuat menderita terlebih dahulu, meski itu konsekuensinya menimpa warga sipil.
Setelah demonstrasi senjata ini, bagaimana mungkin orang-orang Suriah dan Rusia berhenti sekarang hanya karena Barat dan media-medianya yang hipokrit merengek-rengek?
Jika mereka berhenti, siapa pula yang akan percaya dengan mereka pada pengepungan-pengepungan berikutnya? Di barat laut Idlib atau kota-kota lain di sekitarnya.[TGU]