Koran Sulindo – Pernyataan Perhimpunan Hindia yang dibacakan sang ketua, Goenawan Mangonkoesoemo, seketika mengegerkan jagat perpolitikan Belanda. Pernyataan yang diumumkan, 22 November 1928 itu menegaskan bahwa sudah waktunya organisasi itu terjun dalam politik.
Selengkapnya “Pernyataan Perhimpunan Hindia” tersebut berbunyi:
Orang-orang Indonesia yang tinggal di Nederland dengan penuh perhatian dan kepentingan mengikuti kejadian-kejadian besar di Eropa, yang tidak diragukan lagi besar juga artinya bagi tanah air mereka sendiri. Secara umum mereka menunjukkan rasa simpati dan kekaguman atas sikap tenang dan bermartabat dari pemerintah dan rakyat Nederland di tengah terjadinya pembaruan-pembaruan radikal dewasa ini.
Melihat semakin besarnya minat terhadap masalah-masalah politik yang pada hakikatnya hanya menyangkut kepentingan Nederland, orang-orang Indonesia yang tinggal di sini menganggap sangat penting agar pemerintah dan rakyat Nederland tetap mencurahkan perhatian penuh kepada Hindia.
Karena masa depan tanah jajahan tergantung pada pembaruan-pembaruan di Eropa pada umumnya, khususnya dengan Nederland, maka ‘Perhimpunan Hindia’ menganggap perlu, sesuai dengan keinginan perhimpunan-perhimpunan besar di Hindia, untuk lewat pengurusnya menyatakan hal-hal sebagai berikut.
Demi berkembangnya Hindia secara lancar dan tenang menjadi negara yang mandiri, perlulah:
1. Dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat dengan wewenang membentuk undang-undang, dan dihapuskan wewenang membentuk undang-undang oleh Dewan Hindia.
2. Diadakan kembali jabatan direktur-direktur pemerintahan umum, dengan pengertian bahwa mereka ini bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat seperti disebut dalam butir 1.
Atas nama Perhimpunan Hindia,
G. Mangoenkoesoemo, Ketua.
Soerjomihardjo, Sekretaris.
Dahlan Abdoellah, Komisaris.
Delft, (Havenstraat 7a, 22 Nov. 1928
Memang sejak di bawah kepempinan Goenawan Mangoenkoesoemo, sebagai wakil ketua di tahun 1917 dan ketua di tahun 1918, Perhimpunan Hindia menjadi jauh lebih radikal dari tahun-tahun sebelumnya. Di masa itu Goenawan sedang menempuh pendidikan diploma dokter Belanda.
Tokoh yang berperan besar dalam perubahan garis politik Perhimpunan Hindia ke arah radikal itu tak lain Soewardi Soerjaningrat. Sejak kedatangannya ke Belanda tahun 1913, sebagai orang buangan pemerintah kolonial, ia mengikuti berbagai kegiatan orang-orang Indonesia di negeri penjajah tersebut. Dan seringkali ia tampil sebagai pemrakarsa atau pembicara. Ia lah yang berperan besar mengalihkan jalannya Perhimpunan Hindia “dari perhimpunan untuk bersenang-senang menjadi perhimpunan yang terlibat politik dan menjadi pendukung kebebasan Hindia.”
Kebijaksanaan, ketenangan, dan kekuatan persuasif Soewardi membuat ia dicintai dan dapat diterima oleh kalangan yang lebih luas. (Poeze 2008, 135). Pernyataan Perhimpunan Hindia yang dibacakan Goenawan Mangoenkoesoemo di atas juga terinspirasi pidato Soewardi Soerjaningrat berjudul “Perhimpunan Hindia dan Semangat Baru”.
Pendiri Boedi Oetomo
Goenawan adalah adik dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, salah seorang pelopor gerakan nasionalisme di Indonesia. Nama Goenawan tidaklah setenar kakaknya. Tapi seperti Tjipto, ia pun memiliki minat terhadap aktivitas politik dan sama-sama bernyali tinggi.
Di usia belum lagi 17 tahun, Goenawan telah membuat gempar pembaca koran Java Bode yang kebanyakan datang dari kalangan priayi dan pejabat pemerintah Belanda. Artikel yang ditulisnya itu menyerang kebijakan pemerintah yang mengangkat bupati bukan karena kualifikasinya melainkan karena garis keturunan. Goenawan seorang priayi, namun sejak mula ia telah merasakan sesuatu yang tidak beres pada masyarakat jajahan: diskriminasi.
Goenawan dan Tjipto berasal dari kalangan priyayi pembangkang. Dalam buku Keselerasan dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Priayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX, Savitri Prastiti Scherer menulis tentang asal-usul keluarga Mangoenkoesomo. Mangoenkoesomo senior, ayah Tjipto dan Goenawan, bekerja sebagai guru bahasa Melayu di sekolah dasar pribumi di Ambarawa. Pada masa akhir kariernya, ia diangkat menjadi kepala sekolah dasar di Semarang.
Ayah Mangoenkoesomo senior atau kakek dari Tjipto dan Goenawan bersaudara, Mangoensastro, pernah mengabdi kepada Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa berlangsung 1825 – 1830. Ketika Diponegoro kalah perang Mangoensastro menyingkir ke pedesaan di pantai Utara Jawa dan mengubah namanya menjadi Pantjoroso. Kekalahan Diponegoro merupakan pukulan telak buat pengikutnya, tak terkecuali buat Pantjoroso.
Goenawan, sebagaimana Tjipto, dikenal juga sebagai murid kedokteran yang jenial dan pemberani. Ketika ia bersekolah di STOVIA, sekolah tinggi dokter Jawa, ia telah memendam kesadaran kebangsaan. Karena itu, ketika Soetomo di tahun 1908 melontarkan gagasan untuk membentuk wadah bagi kalangan priyayi Jawa yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya, Goenawan pun langsung tertarik. Ia, bersama Tjipto, dan temannya, Soeraji, bergabung dengan organisasi yang kemudian diberi nama Boedi Oetomo.
Tapi, belakangan Tjipto Mangoenkoesmo memutuskan keluar dari Boedi Oetomo, yang dinilainya terlalu konservatif. Bersama Soewardi Soerjaningrat dan E.F.E, Douwes Dekker (yang juga dikenal sebagai Setiabudi), ia kemudian di tahun 1912 mendirikan Indische Partij—organisasi pergerakan pertama yang memakai label partai politik.
Indische Partij, yang berdiri pada 25 Desember 1912, membawakan aspirasi nasionalisme Hindia Belanda, yang menuntut kebebasan Hindia-Belanda menjadi milik orang yang tinggal di Hindia. Indische Partij terbuka untuk semua golongan bangsa (bangsa Indonesia, bangsa Eropa yang terus tinggal di wilayah Hindia, Belanda peranakan, Peranakan Tionghoa dan sebagainya) yang merasa dirinya seorang “Indier“, tidak mengingat tingkatan kelas, laki-laki atau perempuan.
Sedangkan Goenawan memutuskan bertahan di Boedi Oetomo, Goenawan segaris dengan Soetomo, dan dalam beberapa hal pemikiran Soetomo dipengaruhi oleh Goenawan. Goenawan bertahan di Boedi Oetomo, betapapun Boedi Oetomo telah mengalami disorientasi, karena dia masih percaya bahwa priayi-birokrat masih bisa diajak untuk menjadi manusia yang tak serta merta tunduk begitu saja pada kemauan Belanda. Seperti juga Soetomo, demikian tulis Savitri Prastiti Scherer, Goenawan menyadari sedalam-dalamnya bahwa sudah kewajiban mereka membimbing para priyayi supaya menghargai martabat sendiri sebagai orang merdeka.
Keputusan Goenawan untuk bertahan di Boedi Oetomo mendapatkan tentangan dari Tjipto dan acapkali mereka terlibat adu pendapat. Kendati demikian mereka sama-sama memiliki idealisme tentang gambaran negeri mereka pada masa yang akan datang. Pada perayaan sepuluh tahun Boedi Oetomo, Goenawan membuat beberapa tulisan yang menegaskan sumbangan Boedi Oetomo bagi masyarakat jajahan di Hindia Belanda. Sebuah tulisan lain dari Goenawan juga menunjukkan sikapnya yang antidiskriminasi. Menurutnya Boedi Oetomo merupakan langkah awal dari bentuk nasionalisme Indonesia.
Artikel itu ditulis pada masa di mana Boedi Oetomo sedang berada dalam titik nadir terendah, posisi di mana orientasi politik mereka sama sekali tidak menunjukkan ke arah yang lebih jelas kecuali sebagai gerakan budaya dan pendidikan. Goenawan yang masih punya harapan tinggi terhadap Boedi Oetomo memperlihatkan rasa muaknya terhadap para priayi-birokrat kendati terselip optimisme untuk terus berupaya menebarkan pengaruhnya di kalangan mereka. Tjipto jauh lebih frontal di dalam menghadapi kelompok medioker Jawa yang membungkuk-bungkuk di hadapan tuan Belandanya.
Goenawan memang tidak sefrontal abangnya. Goenawan tetap berpendapat bahwa ketertinggalan pemuda Jawa, Sunda dan Madura haruslah dikejar melalui pendidikan dan secara berangsur merebut kedaulatan serta kemerdekaanya.
Sejarah mencatat Boedi Oetomo sebagai organisasi yang menandai kebangkitan nasionalisme Indonesia. Sejarah juga mencatat keterlibatan beberapa tokoh pionir gerakan nasionalis pada saat berdirinya organisasi ini. Benar kemudian terjadi perpecahan, seperti yang dialami oleh Tjipto dan adiknya, Goenawan Mangoenkoesoemo, namun demikian perpecahan itu bukan terjadi pada pilihan berpihak kepada kolonialisme atau tidak, melainkan pada pilihan jalan menuju kemandirian. Tjipto lebih terbuka, tanpa kompromi melawan pemerintah kolonial dan segala macam bentuk dukungan kepada sistem kolonial itu.
Di Belanda Lebih Radikal
Tapi, saat bersekolah di Belanda, sikap Goenawan justru beralih radikal. Itu, misalnya, terlihat saat ia memimpin Perhimpunan Hindia di tahun 1917 dan 1918. Di tahun-tahun selanjutnya, ia juga banyak mempengaruhi Perhimpunan Hindia ke arah garis yang lebih radikal.
Tak lama setelah pernyataan keras Perhimpunan Hindia yang dibacakan Goenawan, sebuah diskusi kemudian digelar. Dalam diskusi itu, beberapa aktivis Perhimpunan Hindia—antara lain: Sorip Tagor Harahap (mahasiswa kedokteran hewan di Universitas Utrecht), TSG Moelia, Loekman Djajadiningrat, dan Dahlan Abdoellah—dengan sepenuh hati menyatakan setuju dengan ikut-sertanya Perhimpunan Hindia dalam lapangan politik. Menurut mereka, kegiatan politik dan studi dapat saling menunjang. Dahlan Abdoelah memuji Soewardi Soerjaningrat (kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara) sebagai orang yang menjadi sebab terjadinya titik-balik radikal di dalam Perhimpuan Indonesia. (Poeze 2008, 131)
Sorip Tagor kemudian menulis artikel tentang Perhimpunan Hindia dalam majalah Hindia Poetra, edisi Januari 1919, dengan kata-kata pedas. Menurutnya, dengan menghindari kegiatan politik, organisasi itu tak mencapai apapun “dalam bentuk manfaat yang nyata dan langsung bagi masyarakat Hindia, baik untuk hari ini maupun masa yang akan datang.” Ia mempermasalahkan sejumlah orang Jawa dari keluarga ningrat yang tidak punya perhatian terhadap situasi di Hindia dan keaadaan hidup wong cilik. Dikatakannya, mereka itu hanya khawatir akan kehilangan donatur dan simpatisan. Padahal, dengan mengenal politik, kesadaran akan berkembang. Jadi studi harus dimanfaatkan bagi kesejahteraan negara Hindia mendatang.
Arikel Sorip Tagor itu segera menarik perhatian, terutama dari anggota Perhimpunan Hindia asal Jawa. Maka, terjadilah polemik, yang kemudian berkembang menjadi pertentangan antara mahasiswa asal Jawa (yang konservatif) dengan mahasiswa non-Jawa.
Karena pertentangan itu, beberapa mahasiswa Hindia-Belanda asal Sumatra, seperti Sorip Tagor Harahap, TSG Moelia, dan Dahlan Abdoelah, mempelopori didirikannya “Sumatranen Bond” di Belanda. Pada tanggal 1 Januari 1917, “Sumatranen Bond” resmi didirikan dengan nama “Soematra Sepakat”. Dewan terdiri atas Sorip Tagor, sebagai ketua; Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris; dan Moelia, sebagai bendahara.
Salah satu anggota Soematra Sepakat adalah Ibrahim Datoek Tan Malaka, yang saat itu menjalani pendidikan di sekolah guru di Haarlem. Belakangan, bergabung pula Zaid Rasad (mahasiswa di Wageningen, Achmad Salim (kader di Akademi Militer Alkmaar), Moh. Ilyas (mahasiswa teknik di Delft), dan Amaroellah (guru bahasa Melayu di akademi Angkatan Laut di Den Helder dan Williamsoord).
Tujuan dan program Soematra Sepakat sangat ambisius, yaitu untuk meningkatkan tarap hidup penduduk di Sumatra, karena tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan Sumatra. Untuk itu, para anggota di negeri Belanda secara teratur harus mengirimkan artikel tentang berbagai kegiatan ke Sumatra. Diserukan juga untuk membentuk cabang di seluruh Sumatra, juga membentuk perpustakaan dan dana belajar. Sempat terbentuk beberapa cabang di Sumatra, tapi Soematra Sepakat kemudian kurang berkembang.
Dalam perjalanan selanjutnya, pada tahun 1922, Perhimpunan Hindia menjadi lebih radikal lagi, program kerjanya sudah mulai mengarah kepada perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan Indonesia. Dua tahun kemudian, 1924, nama organisasi berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI), organisasi yang berperan besar dalam menumbuhkan kesadaran pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. [Satyadarma]