Mitos-gerhana- Memukul Kentongan
Memukul Kentongan Mengusir Gerhana (sumber foto: nationalgeoraphic.grid.id)

Sejak dulu nenek moyang kita selalu menghubungkan fenomena alam dengan cerita mitologi.  Fenomena alam yang banyak mitologinya adalah gerhana, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan. Di antara keduanya, cerita tentang gerhana bulan jauh lebih banyak karena masyarakat masa lalu menggunakan kalender Saka yang berdasarkan hitungan bulan. Sampai kini segolongan masyarakat masih menganggap bahwa gerhana disebabkan oleh raksasa yang menelan matahari atau bulan.

Matahari dan bulan merupakan benda langit yang sering dihubungkan dengan dewa. Aditya atau Raditya dikenal sebagai Dewa Matahari, sementara Candra atau Wulan dikenal sebagai Dewi Bulan. Di Nusantara mitologi gerhana termuat dalam berbagai kitab dari ratusan tahun lalu yang umumnya berasal dari India. Di Nusantara kitab-kitab sastra itu dituangkan kembali dalam bahasa Jawa Kuno.

Sumber tertulis

Di Jawa cerita Tantu Panggelaran dari abad ke-15 terselip kisah tentang kamandalu (kendi) dan amerta (air sakti untuk kehidupan abadi). Ketika berlangsung pesta, seorang raksasa bernama Rahu menyamar sebagai dewa. Ia berhasil ikut minum air amerta. Namun Raditya Wulan mengetahui penyamaran raksasa yang sebenarnya jahat itu. Wisnu yang memiliki senjata cakra berhasil memenggal leher Rahu hingga putus. Saat itu air amerta belum sampai ke badan Rahu. Akibatnya hanya kepala Rahu tetap hidup karena terkena percikan air amerta.

Karena dendam kepada Raditya Wulan maka kepala Rahu selalu mengintip mencari kesempatan untuk menelannya. Ketika Rahu berhasil menelan Raditya Wulan, itulah peristiwa yang disebut gerhana.

Masalah raksasa jahat dan air amerta dijumpai pula dalam kisah Amertamanthana atau Samudramanthana. Kisah Amertamanthana diambil dari kitab Adiparwa, bagian pertama dari kitab Mahabharata. Kisah ini begitu dikenal oleh masyarakat pendukung kebudayaan Hindu di Nusantara. Penyalinan kisah ini ke dalam bahasa Jawa Kuno dilakukan sejak zaman Dharmawangsa Teguh, Raja Mataram Hindu (991–1016 Masehi).

Dalam Samudramanthana tokoh yang hadir antara lain raksasa, Dewa Wisnu,  Aditya (Dewa Matahari), dan Candra (Dewi Bulan). Kisahnya sama seperti pada Tantu Panggelaran.  Raksasa itu berhasil menelan sementara, namun kemudian Aditya dan Candra keluar lagi karena raksasa itu sudah tidak memiliki badan. Dari kisah itu tergambar kalau gerhana tidak pernah berlangsung lama.  

Sumber tertulis lain yang digunakan untuk mengetahui peristiwa gerhana adalah prasasti.  Adanya gerhana, misalnya, pernah terekam pada prasasti di Candi Belahan (Jawa Timur) pada 7 Oktober 1009.  Sampai kini Trigangga merupakan arkeolog yang mendalami prasasti, terlebih mencari informasi tentang gerhana. Kuncinya adalah pertanggalan prasasti yang menyebut 15 paro terang pada kalender Saka. Dari sekian ratus prasasti dan naskah kuno, menurut Trigangga, ada 20 prasasti dan 1 naskah yang bertanggal 15 paro terang. Di Jawa ditemukan 17 dan di Bali ditemukan 4. Tinggalan tertulis tidak secara gamblang menyebutkan gerhana. Hanya prasasti Sucen 1 765 Saka (843 Masehi) yang menyebut ungkapan “tanggal 15 (saat) gerhana bulan”.

Adanya gerhana juga disebutkan Prasasti Turyyan (Turen) pada 24 Juli 929. Satu-satunya prasasti dari Bali tentang gerhana bulan parsial adalah Batwan B. Gerhana itu terjadi pada 14 April 1055. Di luar itu menurut prasasti Semanding (gerhana bulan total pada 18 Juni 1182),   Malenga B (gerhana bulan panumbral pada 21 September 1336), dan Kusmala (gerhana bulan panumbral pada 14 Desember 1350).

Sementara itu arkeolog Sukarto K. Atmodjo membaca adanya gerhana matahari dalam prasasti Bwahan Wingkang-ranu dari Bali, yang bertanggal 1181 Masehi. Prasasti itu menyinggung tentang gerhana matahari dan bulan.  Dalam prasasti tersebut termuat aturan saat terjadi graha atau grahana. Saat terjadinya adityagraha (gerhana matahari), maka tidak dikenakan biaya pembelian kerbau dan babi.  

Soal gerhana terdapat pula dalam prasasti Buyan-Sanding-Tamblingan. Prasasti itu bertuliskan, “Tidak diperbolehkan tarang-tarangan pada waktu gerhana bulan atau gerhana matahari.” Mungkin, sebagaimana termuat dalam Kompas, 12 Juni 1983, tarang-tarangan adalah kegiatan menjemur atau membakar, tapi bisa juga nama sebuah upacara sesaji.

Mitos dan takhayul 

Masyarakat Indonesia zaman dulu menganggap gerhana merupakan peristiwa yang menakutkan sehingga memunculkan mitos dan takhayul. Maka kemudian lahir berbagai tradisi khas menyambut gerhana di banyak kebudayaan di Indonesia. Uniknya, ada kemiripan tradisi tersebut di berbagai daerah. 

Masyarakat Bali menganggap gerhana merupakan manifestasi dari Kala Rau, tokoh raksasa yang hanya punya kepala, yang ingin menelan Ratih (Dewi Rembulan). Pada saat gerhana, masyarakat Bali memukul-mukul kentongan untuk mengalihkan perhatian Kala Rau agar mengurungkan niatnya menelan Bulan. Ada juga yang memukul lesung, sebagai tradisi ngoncang.

Mitos-gerhana-memukuli lesung
Memukuli Lesung untuk mengusir gerhana (sumber foto: haloblora.com)

Di Jawa, Rau atau Rahu sering disebut Kala Rahu atau Batara Kala.  Untuk mengusir Kala Rahu masyarakat Yogyakarta menyelenggarakan tradisi gejog lesung saat gerhana. Lima sampai enam orang memukuli lesung dengan alu sehingga menimbulkan irama. Lesung padi dipandang mewakili tubuh Kala sehingga bila dipukuli Kala akan segera memuntahkan matahari. Masyarakat Jawa lain menganggap memukul lesung bertujuan agar Batara Kala merasa geli, mual, lalu memuntahkan bulan. 

Masyarakat Sunda, terutama di Kabupaten Majalengka pun melakukan ritual uar. Uar adalah hajat ketupat dan tangtangangin (ketupat yang bungkusnya berasal dari daun bambu), ritual untuk mencegah bala setelah kejadian gerhana. Ritual biasa dilakukan sehari setelah terjadi gerhana.

Di Bangka-Belitung untuk mengusir sang raksasa, masyarakat membuat keributan dan kegaduhan dengan memukul bermacam benda. Dulu orang-orang yang ketakutan lari ke hutan atau bersembunyi di kolong ranjang. 

Di Kalimantan, sebagaimana tribunnews.com, masyarakat Dayak percaya  saat terjadi gerhana, puji-pujian dihaturkan melalui upacara adat oleh balian (dukun) dengan mantra dan doa. Khusus para remaja, mereka akan keluar rumah sambil menutupi kepala dengan wajan agar rambutnya tidak segera beruban. Selain itu dibunyikan gong, gendang, atau tabuh-tabuhan untuk mengusir energi negatif.  Sampai kini masyarakat yang bermukim di sekitar sungai tidak akan keluar rumah kalau terjadi gerhana matahari. 

Desa-desa pedalaman di Kalimantan Tengah punya tradisi menabuh garantung, alat musik sejenis gong, saat terjadi gerhana matahari. Bahkan semua benda yang bisa menimbulkan suara keras juga akan dipukul. Menurut kepercayaan setempat, terjadinya gerhana matahari adalah akibat perkelahian Surya dengan Bulan. Memukul garantung dan menciptakan kegaduhan dipercaya bisa melerai duel itu.

Di Maluku Utara dikenal tradisi dolo-dolo, yakni memukul kentongan dari bambu secara bersama-sama. Saat gerhana, kentongan, tifa, dan peralatan dapur dipukul agar muncul suara bising hingga matahari kembali terang. Menurut tradisi ini gerhana terjadi akibat ditelannya matahari oleh seekor naga sehingga bumi menjadi gelap.

Tradisi menyambut gerhana dengan memukul benda-benda agar menimbulkan suara bising juga ada di Nusa Tenggara Timur. Penduduk di sana akan memukul kaleng atau seng bekas. Suara nyaring yang ditimbulkan itu dipercaya bisa membuat gerhana cepat berlalu. 

Di Flores, daerah NTT lainnya, ada tradisi tabuh gendang dan gong. Tradisi itu disebut Weleng Wulang. Masyarakat percaya gerhana bulan mampu memberikan tanda-tanda rezeki dalam kehidupan.

Memukulkan tempurung kelapa menjadi tradisi menyambut gerhana di Jailolo, Halmahera, Maluku Utara. Cara seperti ini sudah dilakukan turun-temurun. Selain tempurung kelapa, masyarakat Jailolo juga keluar dari rumah saat gerhana. Mereka membawa barang yang bisa menimbulkan suara bising seperti ember dan panci.  

Yang unik, di berbagai daerah ada kepercayaan wanita hamil tidak boleh melihat gerhana. Untuk itu ada selamatan “sego rogoh”. Nasi beserta lauk-pauk dimasukkan kuali atau wadah terbuat dari tanah liat untuk selanjutnya disantap bersama. 

Di Sidoarjo (Jawa Timur) masyarakat menyelenggarakan ritual khusus untuk ibu hamil agar ibu dan bayi diberikan kelancaran dan kesehatan saat kelahiran nanti. Ritual mandi keramas kerap dilakukan masyarakat. 

 Masyarakat Jawa juga melakukan tradisi unik saat gerhana. Ibu hamil disarankan untuk menggigit pecahan genteng sambil tangannya mengelus perut. Lalu si ibu hamil diminta masuk ke kolong ranjang. [DS]