Gereja Pohsarang, Perpaduan Arsitektur Jawa Majapahit dengan Katolik Roma – Bagian 1

Gereja Pohsarang (Foto Wikipedia)

koransulindo.com – Gereja Pohsarang atau Puhsarang, terletak di sebuah bukit kecil yang di bawahnya mengalir sungai berbatu-batu, dan sekelilingnya ditumbuhi pohon bambu. Bukit ini merupakan bagian dari desa Puhsarang dan terletak di Gunung Klotok, lereng Gunung Wilis, Kecamatan Semen, berjarak 10 kilometer dari barat daya Kota Kediri, Jawa Timur.

Gereja Katolik Roma ini berada pada ketinggian 400 meter di atas permukaan laut, dengan suhu udara yang sejuk, berkisar antara 21-25 derajat Celcius.

Dibangun pada 1936 atas prakarsa dari Romo Jan Wolters CM dan dibantu oleh arsitek terkenal Ir. Henricus Maclaine Pont, Gereja Pohsarang memadukan dua kebudayaan besar, Jawa Majapahit dengan Katolik Roma yang kental. Hal ini bisa ditemukan dengan melihat konstruksi bangunan serta ukiran dinding yang ada di Gereja Pohsarang.

Gereja ini merupakan landmark dari desa Puhsarang, dan mempunyai arti yang cukup penting bagi masyarakat sekitar. Ini karena fasilitas di sekitar gereja dapat mewadahi kegiatan-kegiatan utama dari masyarakat setempat. Fasilitas tersebut adalah: teater terbuka (pada awal gereja ini berdiri), sekolah, serta makam.

Mempunyai bentuk arsitektur unik dan beda dengan gereja kebanyakan, Gereja Pohsarang, selain didatangi para jamaat, juga menarik minat banyak pelancong, baik yang ingin berziarah maupun berwisata.

Tampak depan bangunan pada umumnya di Gereja Pohsarang (Foto WahyuAlam)

Dalam gereja ini terdapat dua bagian pokok yakni Bangunan Induk dan Bagian Pendapa. Selain itu, terdapat juga sebuah gapura yang menyerupai candi, Gapura Santo Yusuf, Menara Santo Henrikus, Ruang Gamelan, dan Patung Kristus Raja.

Bangunan Induk adalah bagian sakral atau kudus di gereja ini, dimana terdapat altar dan sakramen mahakudus, Bejana Baptis, sakristi, dan tempat pengakuan dosa. Bagian ini dulu dikhususkan untuk mereka yang sudah dibaptis, yang telah menjadi anggota umat. Pada masa dulu di dalam gereja memang dipisahkan antara mereka yang masih calon baptis dengan mereka yang sudah dibaptis, namun perbedaan itu sekarang sudah dihapuskan. Setiap orang, bahkan mereka yang bukan Katolik pun, dapat masuk ke dalam bagian ini, asalkan tidak mengganggu kekhidmatan ibadat.

Bangunan Induk memiliki atap berbentuk seperti cupola atau kubah. Di atas atap dipasang salib, pada ujung atap dipasang gambar simbolis keempat pengarang injil yakni Santo Matius Penginjil (manusia hersayap), Santo Markus Penginjil (singa yang bersayap), Santo Yohanes Penginjil (burung rajawali), dan Santo Lukas Penginjil (lembu jantan), yang juga menunjukkan ke empat arah mata angin. [Ahmad Gabriel]

(Bersambung ke bagian 2, 25 September 2021, pukul 22.00 di sini)

Baca juga: