Koran Sulindo – Kebijakan Presiden Filipina Rodrigo Duterte dalam memberantas narkotika dan obat-obat terlarang mendapat kecaman dari Gereja Katolik. Kebijakan itu disebut justru menjadi “teror” bagi rakyat miskin.
Sepeti yang dilaporkan Reuters pada Minggu (5/2) kemarin, Waligereja Filipina menilai tindakan kekerasan semacam pembunuhan terhadap pengguna dan bandar obat bius, misalnya, tidak akan menyelesaikan masalah. Itu bukan jawaban atas maraknya peredaran narkotika di Filipina.
Celakanya, kebijakan demikian dianggap pas, normal dan publik nampaknya tidak peduli dengan pembunuhan itu. Lebih buruk lagi publik justru merasa tindakan pembunuhan itu memang dibutuhkan.
Kebijakan tersebut kini mendapat sorotan tajam karena umumnya dilakukan di lokasi yang menjadi daerah warga miskin. Kebanyakan warga miskin itu tidak tewas karena narkotika. Mereka dibunuh tanpa adanya proses hukum dan peradilan.
Seperti Gereja Katolik, organisasi kaum miskin kota Filipina Kalipunan ng Damayang Mahihirap (Kadamay) juga memprotes kebijakan Duterte itu. Kelompok ini merasa Kepolisian Nasional Filipina (PNP) tidak saja bertanggung jawab terhadap pembunuhan, juga harus berani membongkar budaya korupsi dan impunitas di kepolisian.
“Polisi menggunakan standar ganda. Kebijakan ini berhenti setelah polisi terbukti membunuh pengusaha Korea Selatan Jee Ick Joo di kantor PNP. Jika ini tidak terjadi, maka PNP akan terus membunuhi warga miskin,” kata Ketua Kadamay Gloria Arellano seperti dikutip bulatlat.com pada 31 Januari lalu.
Kebijakan Cacat dan Korup
Arellano menuturkan, kebijakan Duterte soal perang terhadap obat-obatan terlarang itu sesungguhnya cacat dan korup. Pasalnya, itu hanya menyasar warga miskin. Tentu saja kebijakan demikian merugikan rakyat Filipina. Dan saat bersamaan peredaran narkotika masih saja merajalela.
“Maka presiden harus mengubah kebijakannya itu. Ia harus membuktikannya,” kata Areallano.
Sejak Duterte mendeklarasikan perang terhadap narkotika – sekitar tujuh bulan yang lalu – lebih dari tujuh ribu orang tewas. Dari jumlah itu, lebih dari 2.500 orang dinyatakan tewas dalam aksi tembak-menembak ketika polisi sedang melancarkan operasi.
Seperti koor, pemerintah dan polisi sama-sama membantah telah terjadi pembunuhan tanpa proses hukum. Para uskup Filipina secara resmi melayangkan surat protes kepada Duterte mengenai kebijakan perang terhadap narkotika itu. Uskup juga meminta agar pemerintah menindak polisi korup dan nakal.
Jumlah penduduk Filipina saat ini mencapai sekitar 100 juta jiwa. Dari jumlah itu 80 persen beragama Katolik. Gereja memiliki sejarah yang kuat dan memiliki pengaruh politik di Filipina.
Hubungan Gereja Katolik dan Duterte berjalan kurang baik. Presiden populis itu kerap menyerang gereja, bahkan Paus. Ia mengatakan, para uskup itu memiliki istri, terlibat dalam praktik homoseksual, menyalahgunakan dana negara dan kerap menganiaya anak-anak. [KRG]