Tradisi mekotek atau grebeg mekotek yang warisan budaya tak benda Indonesia diadakan di Bali untuk tolak bala dan sebagai doa keselamatan.
Koran Sulindo – Ratusan krama lanang (warga laki-laki) mengenakan pakaian adat sambil membawa tongkat kayu berkumpul di sekitar Pura Puseh dan Pura Desa, Desa Adat Munggu, Mengwi, Badung, Bali. Mereka bersatu menunggu prosesi di pura tersebut selesai untuk selanjutnya melaksanakan tradisi gerebeg atau yang lebih dikenal dengan mekotek.
Sore itu, prosesi ritual mekotek pun dimulai. Ratusan pria dari umur 12 hingga 60 tahun berkelompok menjadi beberapa grup di arena lapang. Masing-masing kelompok terdiri dari 50 orang. Lalu, secara serentak, di dalam kelompok masing-masing, para pria itu bergerak menggabungkan puluhan kayu pohon pulet sepanjang 3,5 – 4 meter hingga membentuk kerucut piramida.
Kemudian, seorang pemuda dengan gagahnya menaiki tumpukan kayu tersebut hingga berada di ujungnya dengan posisi berdiri. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemuda dari kelompok lain. Hingga nanti pada waktunya, kedua kelompok akan dipertemukan untuk saling dorong, “berperang” di bawah komando kedua pemuda yang masing-masing bertindak layaknya panglima perang.
Dalam proses dorong-mendorong itulah terdengar bunyi ‘tak-tek’ kayu yang saling beradu. Nama tradisi turun-temurun itu diambil dari bunyi tersebut; gerebeg mekotek. Meski cukup berbahaya, tradisi ini terus dilestarikan karena dianggap menyenangkan. Bahkan beberapa orang yang mencoba naik ke atas kayu terjatuh dan sebagian lainnya tersangkut di pohon.
Baca juga: Maen Pukulan Cepat Jarak Dekat ala Silat Beksi
Tradisi unik yang hanya berlangsung di Bali tiap enam bulan sekali atau setiap Hari Raya Kuningan tersebut disaksikan ribuan penonton. Mereka terdiri dari kalangan masyarakat lokal serta wisatawan Nusantara dan asing. Mereka berbaur memadati areal depan Pura Kahyangan Tiga dan sepanjang sudut desa.
Namun, tak semua orang bisa mengikuti atraksi mekotek. Peserta yang keluarganya sedang meninggal atau istrinya sedang melahirkan tak boleh mengikuti atraksi berbahaya tersebut. Selain itu, sebelum memulai atraksi, para peserta terlebih dahulu melakukan persembahyangan bersama di Puradesa dan diberi percikan air suci.
Tradisi mekotek sudah dilakoni warga secara turun-temurun sejak 1932. Semula, mekotek menggunakan tombak yang terbuat dari besi. Namun seiring perkembangan zaman dan untuk menghindari peserta yang terluka, sejak 1948 tombak besi mulai digantikan tombak dari bahan kayu pulet. Tombak yang asli dilestarikan dan disimpan di pura.
Rangkaian mekotek diawali dengan upacara Mendak Betara di Pura Dalem, lalu umat mengelilingi desa. Upacara berakhir di Pura Puseh. Warga desa percaya, perang mekotek dapat menjauhkan segala bentuk bencana.
Tradisi mekotek atau grebeg mekotek sudah mendapat setifikat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 27 Oktober 2016 sebagai warisan budaya tak benda Indonesia. Disebutkan, tradisi ini dijalani dengan tujuan untuk memohon keselamatan dan tolak bala.
Selain itu, tradisi mekotek juga diadakan sebagai ajang untuk mempersatukan anak-anak muda yang ada di masing-masing banjar adat. Dengan demikian, mereka diharapkan akan terhindar dari perbuatan negatif seperti narkoba, kebut-kebutan, dan lainnya.
Pada awalnya mekotek dilakukan untuk menyambut prajurit Kerajaan Mengwi yang datang dengan membawa kemenangan melawan Kerajaan Blambangan di Jawa. Selanjutnya, tradisi mekotek dipertahankan hingga sekarang.
Baca juga: Manongkah: Selancar Lumpur ala Suku Laut Duanu
Pada masa pemerintahan Belanda tahun 1915, mekotek pernah dihentikan. Mereka khawatir, mekotek mendorong pemberontakan. Namun kemudian, terjadilah wabah penyakit menimpa warga. Bahkan, tiba-tiba ada sebelas orang meninggal dunia. Maka, mekotek pun dilaksanakan lagi untuk tolak bala.
Menurut pengakuan warga, orang yang meninggal dalam bencana itu beruntun dalam jumlah yang banyak. Selain itu, beragam hama menyerang sawah mereka sehingga sawah tak pernah memberikan hasil pertanian yang memuaskan.
Para pemuka adat lalu mendiskusikan masalah tersebut dengan pihak Belanda. Akhirnya, Belanda mengizinkan kembali pelaksanaan tradisi mekotek meskipun dengan syarat, warga tidak boleh membawa tongkat tombak besi tapi di atasnya cukup diikat pandan berduri sebagai lambang sebuah tombak, ketajaman, dan tamiang sebagai simbol permohonan.
Setelah peristiwa itu, tradisi mekotek dilaksanakan kembali oleh warga Desa Munggu. Namun, kali ini mereka tidak menggunakan tombak, melainkan kayu sebagai sarana penyangga pemuda yang naik ke pucuk kerucut untuk bertindak sebagai pengarah.
Pelaksanaan
Upacara mekotek digelar setiap enam bulan sekali. Atau 210 hari (berdasarkan kalender Hindu) pada hari Sabtu Kliwon Kuningan, tepat pada hari raya Kuningan, atau selesai hari raya Galungan. Biasanya, ia berlangsung bersamaan dengan bulan Januari.
Dahulu, perayaan mekotek menggunakan besi yang memberikan semangat juang sebelum ke medan perang atau setelah dari medan perang. Namun, karena banyak peserta yang terluka, tombak dari besi tersebut digantikan dengan tongkat dari kayu pulet yang sudah dikupas kulitnya dan diukur panjangnya sekitar 3,5 – 4 meter.
Para peserta diwajibkan mengenakan pakaian adat madya yaitu kancut dan udeng batik, serta berkumpul di pura dalem Munggu. Setelah berkumpul, mereka melakukan persembahyangan dan ucapan terima kasih atas hasil perkebunan.
Setelah itu, seluruh peserta melakukan pawai menuju sumber air di kampung Munggu. Upacara ini diikuti oleh 2.000 peserta yakni penduduk Munggu yang terdiri dari 15 banjar. Mereka turun ke jalan dari usia 12 hingga 60 tahun. Para peserta dibagi dalam kelompok-kelompok, masing-masing terdiri dari 50 orang.
Baca juga: Cerita Tentang Bangunan Cagar Budaya Masjid Cut Meutia
Desa Munggu sendiri terdiri saat ini dari 1.118 KK. Maka, dalam pelaksanaan tradisi mekotek, satu rumah mesti mengirimkan sebanyak dua atau tiga anggota keluarga untuk ikut berpartisipasi di dalamnya. Dengan demikian, jumlah pesertanya sekitar 2.000 orang.
Peserta tradisi mekotek yang diwajibkan adalah warga yang sudah dianggap dewasa yakni umur 12 tahun ke atas, serta memiliki badan yang kuat dan tahan melakukan dorongan. Peserta lelaki bertuga memegang kayu, sementara peserta perempuan mengiringi di belakangnya.
Sementara itu, kayu yang digunakan dalam tradisi mekotek adalah jenis kayu pulet dengan panjang 3,5 – 4 meter. Setiap peserta mekotek diwajibkan membawa sendiri-sendiri kayu puletnya yang bisa digunakan berkali-kali. Kayu ini tahan disimpan dan digunakan hingga sepuluh tahun.
Kayu pulet bisa dicari di sekitar Desa Munggu atau desa tetangga. Dahulu, sebelum daerah ini padat penduduk, kayu pulet mudah ditemukan di mana-mana. Namun saat ini, kayu tersebut banyak ditemukan di Tabanan. [Ahmadie Thaha]