Generasi Milenial dan Politik

Pendiri dan Pemimpin Umum Koran Suluh Indonesia, Emir Moeis

Koran Sulindo – Generasi milenial, terutama yang lahir tahun-tahun 1990 dan awal 2000-an, lahir dalam situasi dunia yang sudah borderless. Aliran Barat, sistem informasi luas yang tak tersekat-sekat lagi, mereka sudah lebih menjadi manusia internasional. Sementara di negeri kita ini, negeri yang sangat mementingkan politik, peran DPR jadi begitu kuat, peran partai politik dominan, dan peran politik begitu kuat di pemerintahan ini.

Generasi milenial tak begitu peduli dengan hal tersebut. Kalau ada pertentangan antara Tiongkok dengan Amerika Serikat, misalnya, mereka tak peduli. Yang penting mereka bisa hidup, bisa berkonsumsi dengan gaya mereka.

Politik? Apakah mereka memikirkan politik? Kurang yakin saya. Kalau menanyakan kepada mereka tentang sosialisme, atau apa negara kita menjadi kapitalis, sosialis, federal, mereka tidak peduli. Yang penting bisa hidup dengan senang.

Mungkin mereka tidak sekuat generasi sebelumnya dalam kecintaan kepada negeri dan NKRI. Maaf ini bukan tuduhan tapi ini cuma kekhawatiran.

Kenapa itu bisa terjadi? Salah satu yang menjadi penyebabnya adalah karena bolong dan minimnya pelajaran sejarah sejak tahun 1970-an. Sejak Orde Baru, tumbangnya Soekarno pada tahun 1967, dan dan dimulai tahun 1970-an, isi pelajaran sejarah di sekolah-sekolah meluntur. Pelajaran Civic (kewarganegaraan) juga hilang. Yang ada adalah pelajaran pendidikan moral Pancasila (PMP).

Padahal pelajaran sejarah sangat menentukan pembentukan karakter dan pola pikir bangsa. Bagaimana anak didik menjadi anti-kolonialisme, anti-imperialisme, anti-kapitalis, kalau tidak pernah tahu sejarahnya.

Kalau ditanya Ampera, pasti mereka hanya bisa menjawab Amanat Penderitaan Rakyat, tak tahu makna di belakangnya. Padahal menurut Soekarno, Ampera adalah penderitan yang dialami bangsa kita selama 350 tahun, termasuk penyiksaan, ketidakadilan, perampasan hak-hak pribadi, hak politik, hak asasi manusia, bangsa yang tidak dilihat, semua demi kepentingan penjajah.

Penderitaan rakyat saat itu dan diamanatkan kepada generasi baru berikutnya. Sehingga terbentuk keinginan merdeka dan kita tak ingin lagi dijajah, tak ingin kolonialisme dan imperialisme muncul lagi. Muncullah pemikiran dari founding father tentang Pancasila, NKRI, dan lain-lain

Tapi itu sebenarnya bermuara dari Ampera. Bagaimana kita disiksa, dijajah, dan dirampok.

Terputusnya sejarah masa lalu ke generasi muda menyebabkan mereka tidak menjiwai dan tidak punya persepsi untuk bangsa. Ini amat sangat berbahaya.

Sangat penting untuk Menteri Pendidikan dari SD hingga SMA diberikan lagi pelajaran sejarah dan kewarganegaraan. Jangan lagi hanya sekedar kata-kata bombastis Pancasila, tapi harus pandangan menyeluruh, holistik, tentang sejarah bangsa ini. Juga tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan lagi. Contoh, pada zaman pemberontakan-pemberontakan. Juga penting mempelajari Peristiwa Madiun, PRRI Permesta, dan G30S. Termasuk pembantaian jutaan bangsa Indonesia pada 1965 juga harus diakui sebagai sejarah hitam dan kelam kita. Itu harus dipelajari agar tidak terulang lagi.

Kadang-kadang ada ketakutan dari penguasa untuk membuka lagi sejarah kelam kita. Ketakutan ini harus dihilangkan.

Periode setelah reformasi kita sudah bebas berbicara, tapi tolonglah, kami titipkan anak-anak bangsa ini untuk diberikan pengetahuan yang jelas tentang sejarah bangsa.

Suluh Indonesia dalam skala yang mungkin sangat kecil selalu akan memberikan tulisan tentang sejarah bangsa ini. Tapi pemerintah sebagai lembaga yang jauh lebih besar dari kami, wajib untuk menggalakkan pelajaran sejarah di sekolah-sekolah yang masih sangat kurang. [Emir Moeis]