POLITIK tidak bisa lagi dianggap sebagai suatu ‘kebudayaan kuno’. Pemilih bukan hanya bapak atau ibu yang memiliki usia lanjut. Sebagai kendaraan demokrasi, politik harus bergerak dinamis mengikuti arah perkembangan zaman yang tak melulu soal senior-junior. Bahkan sejumlah survei mengatakan bahwa pemilih milenial pada pemilihan 2024 jumlahnya akan berkali lipat dan diramalkan akan menjadi pemilih mayoritas.
Namun para peneliti tidak bisa menemukan persamaan patokan kelahiran yang pasti bagi generasi milenial. Beberapa menyebutkan generasi milenial ialah yang lahir setelah tahun 2000-an. Ada pula yang menuturkan bahwa mereka yang lahir diatas tahun 1995 bisa dianggap sebagai generasi milenial.
Meskipun terdapat beberapa perbedaan, namun semua orang mengetahui bahwa generasi milenial bisa terlihat dari penguasaan teknologi yang lebih tinggi juga dalam budaya.
Dalam sebuah studi di Amerika yang memperlihatkan bahwa generasi milenial lebih terkesan lebih individual dari generasi-generasi sebelumnya. Cara berfikir seperti ini yang menjadikan generasi milenial tumbuh dalam ruang politik lewat media sosial. Apa yang mereka lihat dan pikirkan tentang demokrasi dan politik sangat dipengaruhi oleh pola ruang informasi yang sangat cepat dan mudah didapat.
Mereka terkesan mengabaikan masalah politik, terlihat buta atau tak peduli soal politik. Banyak juga dari mereka yang masih berfikir bahwa politik itu soal orangtua saja, anak muda hanya sebagai bayangan untuk menambah jumlah suara. Ataupun sebagian dari mereka yang sudah tidak peduli karena tahu bahwa siapapun yang mereka pilih tidak akan mewakili suara mereka dalam tangga demokrasi.
Berthold Friedrich Brecht mengatakan “Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.”
Penyair Jerman tersebut juga melanjutkan sindirannya, “Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri.”
Mungkin saja Berthold lahir di abad yang berbeda, namun ia tahu bahwa kata-katanya akan menjadi sindiran hingga ratusan tahun ke depan. Tentu saja apa yang dikatakan Bethold sangat cocok bagi si milenial buta politik yang terkesan acuh tak acuh terhadap perubahan dinamika politik Indonesia.
Namun, yang perlu dipahami adalah mereka juga melihat gambaran citra politik dan demokrasi di Indonesia yang begitu abstrak. Dinding antara demokrasi dan oligarki sangat tipis. Pembungkaman hingga kekerasan aparat rakyat menyampaikan suaranya begitu lekat di telinga para milenial. Akhirnya mereka memilih untuk diam dan tak peduli bahkan takut meskipun mereka dijamin oleh konstitusi.
Dalam sudut pandang partai politik, generasi milenial adalah lumbung suara. Aspirasi mereka adalah sebuah hal yang harus terakomodasi dengan baik tentu saja dengan lewat media sosial seperti YouTube, Instagram, TikTok bahkan Twitter yang selama ini menjadi tempat berkumpulnya para milenial yang cukup melek dengan politik.
Tahun 2024 akan menjadi tahun politik yang didominasi oleh pemilih muda dan pemilih baru. Berbeda dengan tahun 2019 yang diagendakan sebagai politik identitas, tahun 2024 akan menjadi celah bahwa wajah politik Indonesia akan cukup berbeda.
Generasi milenial sudah melihat tahun-tahun sebelumnya bahwa politik identitas hanya membawa perpecahan. Mereka telah memahami bahwa arti demokrasi sesungguhnya tidak berbicara soal mayoritas dan minoritas. Memang narasi soal suku, agama, ras dan antar antar golongan ini masih laris manis dalam sebuah agenda politik. Namun, sebagai generasi yang sangat melek informasi dan teknologi mereka telah paham bahwa hal tersebut sudah ketinggalan zaman atau sering disebut kuno.
Saat Pilpres 2019, Presiden terpilih Joko Widodo dianggap sukses mengambil suara dari generasi milenial. Bahkan saat ia terpilih kembali menjadi presiden kedua kalinya, Jokowi membentuk staf khusus yang diisi oleh orang-orang muda yang diberi nama ‘Staf khusus Milenial’. Pada awalnya orang-orang sangat penasaran namun ketika diumumkan siapa saja yang duduk dalam kursi stafsus tersebut semua menjadi skeptis.
Bagaimana tidak, mereka adalah anak-anak muda yang memiliki privilege dalam kehidupan mereka. Mereka dianggap tidak mumpuni bahkan memiliki konflik kepentingan. Tapi sebenarnya setelah diumumkan bahwa Jokowi membentuk stafsus milenial kita bisa mengerti bahwa posisi mereka sebenarnya tidak di situasi yang baik. Para stafsus ini tidak memiliki kewenangan yang jelas, mereka yang diharapkan sebagai perpanjangan lidah para generasi milenial yang membutuhkan gagasan-gagasan baru dan inovatif untuk kemajuan bangsa sesuai dengan perkembangan zaman tampaknya memiliki kinerja yang tidak signifikan.
Hal tersebut sebagai mengukuhkan bahwa milenial cenderung hanya dibutuhkan sebagai citra politik para senior. Sebagai lumbung utama pemilihan, generasi milenial hanya dibutuhkan sesaat. Namun ada juga yang benar-benar menyadari bahwa generasi milenial dan setelahnya adalah pion utama dalam kemajuan bangsa termasuk politik dan demokrasi. [NS]