Tidak lama setelah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, Kemerdekaan Indonesia pun menyebar ke seluruh dunia. Rakyat Indonesia yang sejak lama mendambakan kemerdekaan tanah-airnya mendukung sepenuhnya pernyataan kemerdekaan itu. Semangat membela kemerdekaan yang barus saja diperoleh tak dapat dibendung. Demikian juga masyarakat Surabaya atau di Jawa Timur. Mereka menyambut Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan gegap gempita. Proklamasi telah membawa suasana baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bendera merah putih, pada hari itu juga, berkibar gagah di Surabaya.
Namun, pengibaran Sang Saka itu mendapat reaksi dari tentara Jepang yang telah menjadi alat tentara Sekutu untuk menjaga status quo. Memang, menurut hukum internasional, berkewajiban untuk memelihara status quo. Dengan demikian, tentara Jepang berkewajiban agar keadaan tidak berubah sedikitpun dari keadaan pada tanggal 15 Agustus 1945, waktu tentara Jepang menyerah tanpa syarat pada tentara Sekutu.
Sehingga, aksi-aksi pengibaran bendera Merah-Putih merupakan aksi perlawanan yang terang-terangan terhadap status quo. Aksi-aksi pengibaran bendera itu tentu saja mendapat perlawanan dari tentara Jepang dan memunculkan insiden-insiden bahkan bentrokan berdarah antara arek-arek Suroboyo dengan tentara Jepang.
Tak lama setelah aksi-aksi pengibaran Bendera Merah Putih berlangsung, pembentukan pemerintah daerah dan pembentukan badan-badan perjuangan pembela kemerdekaan dan penjaga keamanan dan ketertiban dilakukan. Tepat tanggal 19 Agustus 1945, Raden Mas Tumenggung Aryo Suryo ditunjuk dan ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai Gubernur Jawa Timur, berkedudukan di Surabaya sebagai ibu kota provinsi. Sebelumnya, Raden Mas Tumenggung Aryo Suryo adalah Suchokan atau Residen Bojonegoro. Jabatan itu diperolehnya dari Jepang pada 10 Nopember 1943.
Bersamaan dengan berdirinya Pemerintah Karesidenan Surabaya, dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dipimpin Sungkono, Dr. Mustopo, Muhammad, Yonosewoyo dan beberapa tokoh pejuang lainnya. Sementara Angkatan Laut dipimpin oleh Atmaji.
Dalam situasi kalah perang melawan Sekutu, kondisi moril tentara Jepang tidak lagi solid. Mereka terbelah dalam dua sikap. Dua sikap inilah yang membentuk dua golongan dalam diri tentara Jepang. Sikap pertama, tentara-tentara Jepang yang masih setia pada janjinya kepada rakyat Indonesia di awal pendudukannya bahwa Jepang akan membantu rakyat Indonesia untuk keluar dari belenggu penjajahan Belanda. Walaupun kedatangan tentara Jepang akhirnya membawa malapetaka dan penderitaan yang luar biasa.
Tentara Jepang yang mengambil sikap ini, mengetahui betapa menderitanya rakyat Indonesia selama pendudukan tentara Jepang. Perintah kerja paksa atau romusha yang dilaksanakan tentara Jepang terhadap ratusan ribu rakyat Indonesia merupakan gambaran jelas penindasan dan bentuk ingkar janji tentara Jepang terhadap rakyat Indonesia.
Sikap kedua: tentara-tentara Jepang yang memegang teguh disiplin kemiliteran. Kelompok tentara ini mentaati peraturan internasional yang menyebutkan bahwa bagi tentara yang kalah perang diharuskan menjaga dan memelihara status quo, tidak boleh mengadakan perubahan apapun dan tetap menjaga keadaan seperti keadaan saat mereka menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu, 15 Agustus 1945. Sikap ini juga didorong oleh perintah Kaisar Jepang kepada seluruh pasukannya untuk menyerah dan tunduk pada komando tentara Sekutu.
Dengan keadaan ini, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah peristiwa yang membawa perubahan besar dan mengawali revolusi Indonesia. Bagi tentara-tentara Jepang yang memegang teguh disiplin kemiliterannya dan mentaati peraturan internasional, tentunya tidak mengakui dan tidak mau tahu tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tersebut.
Situasi inilah yang membuat keadaan memanas dan mulai terjadi insiden-insiden kecil perlawanan rakyat Indonesia terhadap tentara Jepang. Sekutu yang tanggap akan kondisi ini mengerahkan tentara Jepang yang masih teguh pada disiplin kemiliterannya untuk menghadapi perlawanan perjuang-pejuang Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan bangsanya.
Sedangkan bagi pejuang-pejuang kemerdekaan, tentara Jepang harus dipaksa dengan kekerasan agar tidak menghalangi kemerdekaan Indonesia. Tentara Jepang kini menjadi musuh yang harus digempur melalui pertempuran. Pilihan para pejuang kemerdekaan hanyalah “merdeka atau mati”.
Demikianlah, pertempuran demi pertempuran tak dapat dibendung di Surabaya. Pada bulan Agustus, September, hingga pertengahan Oktober 1945 arek-arek Suroboyo dengan gencar melakukan pertempuran untuk mengambil alih kekuasaan dan merebut persenjataan tentara Jepang. Perjuangan dilakukan dalam dua jalan: diplomasi dan pertempuran. Jalan pertempuran terutama untuk menghadapi tentara Jepang yang masih memegang teguh disiplin kemiliteran.
Tak lama setelah proklamasi kemerdekan, 3 September 1945, Daerah Karesidenan Surabaya diresmikan sebagai Wilayah Negara Republik Indonesia, dipimpin oleh Residen Sudirman. Begitu pula, Komite Nasional Indonesia atau KNI terbentuk pada 28 Agustus 1945, dipimpin oleh Dul Arnowo. Badan Keamanan Rakyat juga telah terbentuk dan dipimpin oleh Sungkono, Dr Mustopo, Yonosewoyo dan lain-lain, Angkatan Laut juga telah terbentuk pula dengan pemimpinnya Atmaji.
Peristiwa penting lain yang terjadi, penolakan Kesatuan Polisi Istimewa (Tokubetsu Keisatsu Tai)—yakni kesatuan polisi bentukan Jepang—dilucuti senjatanya oleh tentara Jepang. Bahkan Mohammad Yassin, seorang Inspektur Polisi Tingkat Satu dari Kesatuan Polisi Istimewa (Tokubetsu Keisatsu Tai) mengumumkan bahwa kesatuan itu telah melebur menjadi Kesatuan Polisi Negara Republik Indonesia. Dengan peleburan itu, maka bertambah pulalah kekuatan perjuangan di daerah Surabaya.
Sejak mendapat kabar Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, para tokoh pejuang Jawa Timur, menggelar rapat-rapat massal diseluruh wilayah Jawa Timur, terutama di Surabaya, untuk mendukung kemerdekaan bangsa Indonesia. Pelucutan senjata dan penguasaan kembali kantor-kantor yang diduduki tentara Jepang kian lama kian gencar. Pertempuran-pertempuran itu memakan banyak korban di berbagai daerah, terutama di sekitar Surabaya.
Saat gerakan melucuti persenjataan tentara Jepang berlangsung di Surabaya, 15 September 1945, tentara Inggris telah mendarat di Jakarta—dan 25 Oktober 1945 mereka tiba di Surabaya. Tentara Inggris ini tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). Tugasnya adalah melucuti persenjataan tentara Jepang, membebaskan tawanan perang Jepang, serta memulangkan dan tentara Jepang. Selain itu, pasukan Inggris juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda. Ini artinya, Inggris akan memngembalikan Indonesia sebagai negeri jajahan Hindia Belanda.
Untuk maksud itu, NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut bersama tentara Inggris masuk ke Indonesia. Inilah yang menjadi pemicu kemarahan dan membangkitkan perlawanan rakyat Indonesia. Kemarahan itu bukan saja ditumpahkan oleh lembaga-lembaga keamanan Indonesia, melainkan rakyat umum. Bagi arek-arek Suroboyo saat itu, lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup dijajah Belanda. Perlawanan terjadi di mana-mana antara rakyat melawan tentara AFNEI dan NICA. [KS-11]