SEJARAH – Hal yang wajar jika keturunan (trah) Sri Sultan Hamengkubuwono II Yogyakarta menuntut harta benda milik HB II yang dijarah  saat peristiwa Geger Sepehi/Sepoy tahun 1812 dikembalikan oleh Kerajaan Inggris. Harta benda keraton tersebut dijarah olah pasukan pimpinan Inggris yang berkuasa di tanah Jawa pada tahun 1811-1816.

Tuntutan diajukan  ke Mahkamah Internasional. “Dasar Trah Sultan HB II menuntut dikembalikannya harta jarahan di saat Geger Sepehi 1812 terutama Manuskrip adalah merujuk pada UUD 1945 Amandemen, pada Pasal 32 yang tertulis, Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya,”  kata perwakilan Trah Sultan HB II Fajar Bagoes Poetranto.

Dasar lain pihak trah mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional, adalah  Peraturan Presiden No 78 tahun 2007 tentang Pengesahan Convention For The Safeguarding Of The Intangible Cultural Heritage (Konvensi Untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda).

Pihak trah Sultan HB II juga sudah melayangkan surat hingga tiga kali ke Kerajaan Inggris melalui Kedutaan Besar Inggris di Jakarta dan sampai saat ini belum ada balasan surat yang menyatakan secara jelas terkait pertanggungjawaban, permohonan maaf dan pengembalian manuskrip asli dan harta benda lainnya yang dijarah pada peristiwa Geger Sepehi 1812.

Geger Sepehi/Sepoy

Geger Sepehi atau Geger Sepoy merupakan penyerbuan pasukan Inggris terhadap Keraton Yogyakarta pada 19-20 Juni 1812. Peristiwa Geger Sepoy berawal ketika pada 1811 Inggris mulai menancapkan kekuasaannya di Jawa dan berkeinginan menguasai Nusantara. Inggris di Jawa kala itu dipimpin oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.

Langkah awal yang dilakukan Raffles adalah menguasai sepenuhnya Pulau Jawa dan mempertahankannya dari serangan pihak lain, khususnya Prancis dan Belanda. Raffles kemudian mengirim residen-residen ke penjuru wilayah di Jawa, termasuk kerajaan-kerajaan yang ada.

Kedatangan  pasukan Inggris sudah tentu  mendapat tentangan dari Sultan Hamengkubuwono II Yogyakarta yang bersekutu dengan Sunan Pakubuwono IV raja Keraton Surakarta. Raffles kemudian mengutus Residen Yogyakarta John Crawfurd, dan Pangeran Notokusumo untuk berdiplomasi dengan Sultan Hamengkubuwono II. Jalan diplomasi menemui titik buntu dan berakhir dengan upaya penaklukan Kasultanan Yogyakarta.

Kasultanan Yogyakarta saat itu sedang dilanda konflik keluarga, akibat ketidak-puasan Pangeran Notokusumo kepada HB II, ini hal yang memperlemah pertahanan keraton. Konflik tersebut dimanfaatkan oleh Raffles untuk menyerang Yogyakarta pada 18-20 Juni 1812, yang sering disebut sebagai Geger Sepoy karena kebanyakan pasukan Inggris dari Brigade Sepoy. Brigade ini adalah pasukan yang direkrut dari warga India yang sudah terlebih dahulu dikuasai oleh Inggris.

Geger Sepoy dimulai dengan perencanaan yang matang. Pasukan gabungan yang dipimpin  Inggris sebanyak 1200 orang, didukung pasukan dari Legiun Mangkunegaran Surakarta sebanyak 800 orang, serta dukungan dari pasukan Pangeran Notokusumo dan Tan Jin Sing, seorang petinggi di Keraton Yogyakarta.

Artileri Inggris mulai peperangan dengan menembakkan meriam mereka ke benteng keraton pada 18 Juni 1812. Selama dua hari, peperangan terjadi di luar benteng Baluwerti keraton dan juga saling tembak meriam dan artileri lainnya. Kemudian pada subuh dini hari 20 Juni 1812, pertahanan Keraton Yogyakarta jebol dan pasukan masuk melalui Plengkung Tarunasura, Nirbaya, dan Alun-Alun Utara. Sultan Hamengkubuwono II ditangkap beserta para pangeran yang masih tersisa.

Keraton Yogyakarta berhasil diduduki dan terjadi penjarahan besar-besaran terhadap harta benda dan kekayaan intelektual yang ada di dalamnya. Ditulis dalam babad Bedhahing Ngayogyakarta tercatat pedati-pedati selama empat hari terus- menerus mengangkut harta rampasan itu ke kediaman Residen Yogyakarta John Crawfurd.

Tak hanya merampas pusaka keraton seperti Kiai Paningset, Kiai Sangkelat, Kiai Urub, Kiai Jinggo, Kiai Gupito, Kiai Joko Piturun, dan Kiai Mesem. Tentara Inggris juga merampas kancing baju Sultan HB II yang terbuat dari berlian. Mereka juga menjarah gamelan, wayang, ribuan kitab sejarah, serta naskah daftar kepemilikan tanah.

Geger Sepehi yang berlangsung tiga hari tersebut mengubah hampir seluruh tatanan lama Kasultanan Yogyakarta. Pelengseran dan pembuangan Sultan Hamengkubuwono II Ke Penang Malaya, dan pengangkatan Sultan baru pilihan penguasa Inggris. Ritual jumenengan yang biasanya dilakukan sesuai adat istiadat keraton berubah menjadi sesuai keinginan Kolonial Inggris dengan pelantikan yang dilakukan di Loji Residen dan menyejajarkan pemimpin kolonial Inggris, Raffles, dengan sang sultan baru.

Usai perang Inggris melakukan berbagai kebijakan yang menguntungkan pihaknya di keraton. Kebijakan pertama yang dilakukan Inggris adalah mengangkat Adipati Anom Surojo sebagai Sultan Hamengkubuwono III yang dipaksa tunduk kepada pemerintah Gubernurmen Inggris. Kedua, Inggris mengangkat Pangeran Notokusumo sebagai pemimpin kepangeranan yang merdeka bernama Kadipaten Pakualaman dan dia bergelar Adipati Pakualaman I. Ketiga, Inggris juga mengangkat Adipati Anom Ibnu Jarot sebagai Sulan Hamengkubuwono IV menggantikan ayahnya yang meningggal pada tahun 1814.

Peristiwa Geger Sepoy juga telah menguras seluruh kekayaan  materi dan berkas jejak keilmuan keraton. Seluruh naskah sejarah yang ada di keraton diboyong oleh pasukan Raffles dan kebanyakan dibawa ke Inggris dan sekarang disimpan di The British Library.

Inggris mendapat konsensi wilayah Kedu, Jipang, Japan, Grobogan, dan Pacitan. Akibatnya, bupati-bupati di wilayah tersebut  dipulangkan ke Yogyakarta dan diganti bupati baru yang tunduk kepada penguasa Inggris.

Setelah menguasai wilayah Kasultanan Yogyakarta, Inggris menerapkan pajak sewa atas tanah yang digarap penduduk serta menghapus penyerahan ke pihak lain. Di beberapa tempat, Inggris memberi penugasan kepada orang Cina untuk mengelola pajak yang dipungut dari penduduk untuk disetor ke penguasa Inggris.

Geger Sepoy tidak hanya sejarah kelam kekalahan yang meruntuhkan wibawa keraton, namun juga menjadi tonggak lahirnya tata kelola baru di tanah warisan dinasti Mataram. Untuk mengenang peristiwa ini dibangun Prasasti Geger Sepoy di Kampung Ketelan Wijilan Pojok Beteng Lor Wetan, Yogyakarta. [KS]