Poster Gatotkaca menghancurkan tembok China. (Sumber: instagram/lagrandeindonesia12)

Sorotan di Gelora Bung Karno

Di tengah dentuman drum, kibaran bendera Merah Putih, dan gegap gempita suporter, sebuah poster di tribun Gelora Bung Karno (GBK) sukses menyita perhatian Gatotkaca, pahlawan pewayangan Nusantara, digambarkan sedang menghancurkan Tembok Besar Cina.

Visual bombastis ini dengan cepat menjadi perbincangan nasional. Banyak yang menganggapnya sebagai gambaran semangat membara Timnas Indonesia dalam laga krusial kualifikasi Piala Dunia melawan Cina. Namun, tak butuh waktu lama sebelum gelombang kritik, dukungan, hingga kecaman mulai membanjiri jagat maya. Insiden ini membuka diskusi penting tentang batas-batas ekspresi nasionalisme.

Ketika Simbol Menjadi Problem

Dalam tradisi pewayangan Jawa, Gatotkaca adalah sosok kesatria pemberani, putra Bima dan Arimbi, yang dikenal sakti mandraguna. Ia sering diangkat sebagai representasi kekuatan rakyat dan semangat tak kenal menyerah. Namun, ketika sosok heroik ini divisualisasikan menghancurkan ikon sejarah bangsa lain, tafsir simbolisnya menjadi rumit dan memicu pertanyaan.

Menurut Dr. Hendra Wijaya, pakar komunikasi visual dari Universitas Indonesia, visual tersebut bukan sekadar dukungan moral. “Poster ini membawa pesan ideologis yang bisa dibaca ofensif, terutama jika lawannya adalah bangsa yang memiliki sejarah panjang dan hubungan diplomatik yang sensitik seperti Cina,” jelasnya. Pesan ini melampaui semangat olahraga dan berpotensi merusak citra di mata publik internasional.

Riuh Rendah Suara Netizen

Fenomena ini tidak hanya viral di Twitter dan Instagram, tetapi juga memunculkan dua kutub pendapat yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, ada yang melihatnya sebagai “ekspresi semangat nasionalisme” murni.

Misalnya, @anaktribun87, seorang suporter fanatik yang hadir langsung di GBK, berujar di media sosial: “Itu ekspresi cinta tanah air, bro! Gatotkaca itu simbol ksatria kita. Kalau Cina bawa naga, kita bawa Gatotkaca. Fair!” Baginya, ini adalah bentuk perlawanan simbolis yang wajar dalam kompetisi.

Namun, di sisi lain, banyak netizen yang menganggapnya “xenofobia terselubung”. @rennytan, misalnya, mengkritik tajam: “Apa hubungannya menang bola dengan merusak tembok bangsa lain? Nasionalisme itu bukan vandalisme budaya.”

Bahkan, perdebatan ini merambah ke komunitas diaspora Tionghoa di Indonesia. Daniel Tjoa, aktivis sosial di komunitas Tionghoa Muda, menyatakan, “Sebagai warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, saya merasa tidak nyaman. Simbol semacam ini bisa memperkeruh harmoni yang selama ini kami jaga.”

Mengapa Visual Ini Jadi Masalah?

Dr. Ratri Yunita, dosen komunikasi budaya Universitas Padjadjaran, menekankan bahwa visual publik tidak bisa dilepaskan dari konteks sosialnya. “Ketika visual melibatkan simbol bangsa lain, apalagi dalam suasana kompetisi antarnegara, sensitivitas lintas budaya harus dijaga,” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa dalam konteks komunikasi antarbudaya, pemahaman terhadap nilai dan simbol tiap bangsa menjadi sangat penting, apalagi di era digital saat batas audiens tak lagi lokal. “Gambar itu dilihat bukan hanya oleh kita, tapi oleh warganet global. Ia bisa ditafsirkan sebagai bentuk penghinaan, padahal niat awalnya mungkin hanya semangat sportivitas,” papar Ratri.

Pentingnya Literasi Media dan Budaya Populer

Kasus poster Gatotkaca ini mencerminkan defisit literasi media visual di kalangan kreator konten massa. Poster tersebut kemungkinan besar dibuat oleh penggemar dengan semangat tinggi, namun kurang pemahaman akan dampak simbolik visual di ruang publik dan digital.

Fenomena ini juga relevan dengan Teori Spiral of Silence dari Elisabeth Noelle-Neumann. Suara minoritas yang merasa poster itu berlebihan mungkin memilih diam karena takut dibungkam oleh mayoritas yang mendukungnya. Ini terlihat jelas di berbagai forum daring, di mana suara-suara kritis justru diserang balik dengan tuduhan “tidak nasionalis” atau “pro asing”.

Batasan Nasionalisme dan Ekspresi Chauvinisme

Sebagian pihak mungkin menyatakan bahwa poster Gatotkaca hanyalah bagian dari kebanggaan budaya (cultural pride), sama seperti negara lain memakai simbol lokalnya. Namun, perbedaannya terletak pada konteks destruktif yang divisualisasikan. Gatotkaca tidak sekadar tampil gagah, ia secara eksplisit digambarkan menghancurkan warisan budaya bangsa lain.

Dalam teori Etika Komunikasi menurut Johannesen, sebuah pesan harus memenuhi prinsip “komunikasi yang penuh hormat terhadap sesama.” Poster tersebut jelas gagal melewati uji etika ini karena menempatkan pihak lain dalam posisi dilecehkan secara simbolis. Batasan antara nasionalisme yang sehat dan chauvinisme (kepercayaan berlebihan pada keunggulan negara sendiri yang disertai kebencian terhadap negara lain) menjadi sangat tipis dalam kasus ini.

Belajar dari Komparasi Internasional

Menarik untuk membandingkan kasus ini dengan strategi komunikasi visual di negara lain. Jepang, misalnya, dikenal menampilkan samurai atau karakter anime sebagai simbol nasionalisme dalam olahraga, namun jarang (atau bahkan tidak pernah) menggambarkan mereka sedang menghancurkan lambang negara lawan.

Di Piala Dunia 2022, tim Maroko menggunakan visual “singa Atlas” untuk menggambarkan kekuatan mereka, namun tidak pernah digambarkan menyerang bendera atau simbol negara lawan. Hal ini menunjukkan bahwa ada cara-cara ekspresi kebanggaan nasional yang kuat tanpa harus merendahkan pihak lain.

Mencari Jalan Tengah: Nasionalisme yang Bijak

Lalu, bagaimana sebaiknya? Apakah kreativitas suporter harus diredam? Tentu saja tidak. Namun, penting bagi komunitas kreatif dan pendukung untuk memahami prinsip dasar komunikasi publik: semangat tak harus menyakitkan, dan simbol tak harus menyerang.

Sebenarnya ada beberapa saran konkret untuk membangun ekosistem dukungan yang lebih bijak

1. PSSI dan panitia laga dapat memberikan guideline visual yang jelas untuk suporter, menekankan batasan etika dan sensitivitas budaya.

2. Komunitas kreatif bisa menggelar kelas singkat literasi simbol dan etika komunikasi visual, untuk meningkatkan kesadaran akan dampak pesan yang mereka ciptakan.

3. Media mainstream harus aktif mengedukasi publik tentang isu ini, bukan sekadar membahas kehebohannya, melainkan juga menyoroti pentingnya etika visual.

Epilognya adalah, Gatotkaca yang Menginspirasi, Nasionalisme yang Dewasa

Gatotkaca adalah simbol kekuatan rakyat, bukan mesin perusak. Ia adalah penjaga langit, bukan peruntuh tembok peradaban. Poster Gatotkaca di GBK seharusnya menjadi pengingat, betapa pentingnya kehati-hatian dalam mengekspresikan kebanggaan nasional di ruang publik.

Dalam era global yang penuh sensasi visual dan viralitas instan, satu gambar bisa membangun semangat, tapi juga bisa merusak reputasi bangsa. Mari kita bangun nasionalisme yang cerdas, inklusif, dan etis, agar kekuatan visual tidak berubah menjadi senjata retorik yang melukai.

“Visual adalah bahasa baru bangsa. Maka, kita harus menulisnya dengan empati dan kehormatan.”