Ilustrasi: Salah satu adegan tari Pager Bumi/Dokumentasi Garin Nugroho

Koran Sulindo – Garin Nugroho yang dikenal sebagai sineas Indonesia -seorang sutradara pemenang penghargaan yang eksploratif -kembali mempertontonkan kreativitasnya di kota kelahirannya, kota leluhurnya, Yogya. Namun kali ini bukan berujud film atau patung, melainkan sebuah tarian yang berjudul Pager Bumi.

Tari Pager Bumi yang digarap bersama Ong Hariwahyu – seniman desain grafis dan yang selama ini dipercaya Garin untuk turut menggarap film sebagai art director – akan dipentaskan di Pendopo Art Space, Jalan lingkar Selatan Tegal Krapyak, Panggungharjo Bantul, Sabtu (25/3) malam.

“Pager Bumi merepresentasikan kondisi manusia Jawa sekarang. Yakni mengisahkan perjalanan kesatria dengan istrinya, dan pengawalnya pada awal abad 19,” ujar Garin saat berbincang-bincang dengan Koran Sulindo, Kamis (23/3).

Dituturkan Garin, pada awal abad ke-19, ketika tanah Jawa seperti sekarang penuh gonjang-ganjing abad baru Jawa menghadapi dua perkembangan perubahan zaman. Di satu sisi, Eropa kolonial dengan kapitalisme perdagangan dunia berupaya mendapatkan bahan mentah alam dari koloni-koloninya dengan senjata dan ekonomi uang yang tak pernah dipahami masyarakat Jawa sebelumnya.

Sementara di sisi lainnya, nilai-nilai baru, yaitu ideologi dan agama baru, masuk ke tanah Jawa dengan beragam cara, baik lewat adaptasi budaya maupun upaya pemaksaan tata cara budaya asli dari asal ideologi ataupun agama itu. Oleh karena itu, pada abad itu Jawa mengalami perjalanan baru penuh paradoks.

Dalam kondisi seperti inilah, yakni masuknya beragam gagasan, ideologi hingga agama dan industrialisasi yang tak mau adaptasi pada budaya Jawa dan Nusantara hanya akan melahirkan kekerasan demi kekerasan. Oleh karena itu dibutuhkan kesatria-kesatria Jawa baru yang bisa menghidupi budaya Jawa dalam zaman baru, serta berani melawan segala bentuk ekstrimitas  baik ekonomi, budaya hingga sosial dan politik.

Nah, di akhir cerita, lanjut Garin,  Sang kesatria memberi pesan bertajuk Pager Bumi, bahwa manusia Jawa akan hidup dalam beragam pagar. Pagar-pagar dengan pedang yang melahirkan kekerasan dan pagar jiwa tanah Jawa yang memberi kesuburan pikiran dan kelapangan hidup bagi beragam manusia. “Manusia Jawa akan jalan ditengah beragam pagar bumi Jawa, pagar radikalisme, pagar liberalisme dan sebagainya,” ujar Garin.

Dalam menggarap tari Pager Bumi ini Garin juga para penari yang telah punya nama. Sebagai penari utama ada Nungki Nur Cahyani,  Anter Asmorotejo dan Anggono Kusumo Wibowo, sebagai penari utama. Nungki, misalnya, mulai belajar menari sejak umur 4 tahun dan memperdalam tari melalui  pendidikan formal di SMKI Solo, kemudian di  ISI Surakarta. Ia pernah menempuh studi di  Pascasarjana UGM, Jurusan Media and Cultural Studies. Sebagai penari, ia pernah telibat pada banyak pementasan seperti bersama Sardono W. Kusumo, Soloensis (1999) di Brasil. Ia bergabung bersama Komunitas Lima Gunung.

Sedang Anggono ini dikenal telah melahirkan karya koreografi dalam berbagai proyek baik di tingkat nasional maupun internasional, antara lain kerjasama dengan Wayang Orang Griya Budaya Titah Nareswari dalam karya Mulih-Mula Mulaniar di Taman Budaya Surakarta (2007); Pertunjukan Wayang Orang Driya Budaya Titah Nareswari Loro-loro ning Atunggal, Adeging Praja Mangkunegaran ke-250 (2007); Mont Po Liw di Prancis (2008). [YUK]