Di pantai utara, garam sangat mudah dibuat melalui proses sederhana dengan penguapan, tak seperti proses di Bengali, India yang rumit. Dengan membuat penampungan air laut pada saat pasang, air dibiarkan tergenang selama beberapa hari untuk mencegah rasa pahit. Setelah itu air laut dialirkan melalui pipa-pipa kecil ke berbagai ‘ladang’ mirip ladang padi dan dibiarkan menguap.
Dengan cuaca cerah, setidaknya butuh lima hari agar air laut menguap seluruhnya dan meninggalkan butiran-butiran garam di dasarnya. Dari ladang itu, garam dikumpulkan sebelum dibawa ke gudang untuk disimpan.
Di bawah pemerintahan kolonial, produksi garam sepenuhnya diberikan secara khusus kepada orang-orang Cina. Mereka bebas menentukan jumlah pekerja yang dibutuhkan sekaligus boleh mengubah ladang padi petani menjadi ‘ladang’ garam.
Untuk skala industri yang lebih besar dari sekadar ‘ladang’ garam, maka jumlah pekerja yang dibutuhkan disiapkan oleh bupati atau penguasa setempat. Menikmati keuntungan dari menyewakan lahan padi dan menyerahkan pekerja, maka lebih banyak lagi lahan pertanian yang dijual untuk produksi garam.
Namun, di bawah sistem ini sulit mengetahui biaya produksi garam yang sebenarnya. Para petani lokal biasanya menginvestasikan lahan dan uang, tetapi hasil yang didapat biasanya tak lebih banyak dari kebutuhan sehari-hari.
Para tengkulak biasanya membeli garam dari orang Cina dan menjualnya lagi kepada para pedagang kecil di pasar dengan harga yang lebih mahal. Harga garam di tengkulak umumnya bervariasi tergantung jauh dekatnya lokasi produksi.
Di beberapa tempat seperti Salatiga dan Ungaran, di mana garam dari wilayah ini dibawa ke daerah pedalaman harga umumnya naik menjadi 120-140 dolar Spanyol per koyan. Sementara di wilayah seperti Cirebon dan Surabaya harga garam hanya 30 dolar sementara di Gresik hanya 25 dolar. Pada tahun 1813 ketika sistem perladangan garam dihapus, harga garam di satu distrik ditentukan sebesar 57 dolar per koyan atau 30 dolar per ton.
Jumlah produksi garam diperkirakan berdasar kebutuhan di Jawa dan Madura mendekati angka 1.000 koyan, termasuk yang diproduksi pribumi sebanyak 16.000 koyan atau 32.000 ton. Untuk menjamin garam bisa didistribusikan dengan merata, Belanda membangun beberapa depot kecil di seluruh Jawa.
Umumnya garam dari Jawa diekspor ke pulau-pulau lain bersaing dengan garam produksi Siam dan Koromandel. Garam dari Jawa dianggap lebih unggul dari segi harga dan kualitas. [TGU]
* Tulisan ini pertama dimuat pada Maret 2018