Koran Sulindo – Alarm sudah dibunyikan jauh-jauh hari, sejak tahun lalu, bahkan sebelumnya. Tujuannya: mengingatkan orang Indonesia agar mewaspadai datangnya krisis ekonomi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Februari 2017 lalu juga sudah mengingatkan kembali. Katanya, merosotnya harga komoditas seperti pertambangan dan perkebunan dalam skala dunia memperburuk keadaan Indonesia. Karena, Indonesia cukup bergantung pada penerimaan dari sektor minyak dan gas, pertambangan, dan perkebunan.

Sejak 2014, kinerja ekspor-impor Indonesia memang tercatat negatif. Meski terlihat adanya pemulihan di kuartal keempat 2016 lalu hingga sekarang, risiko tetap menghantui.

Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) pada Maret 2017, misalnya, telah menaikkan suku bunga acuan, yang imbasnya bisa berdampak besar bagi Indonesia. Belum lagi adanya kebijakan ekonomi proteksionis yang dijalankan Presiden Amerikas Serikat Donald Trump.

Gejolak di Eropa, termasuk upaya penanggulangan krisis ekonomi Yunani ,punya pengaruh terhadap ekonomi global, termasuk Indonesia. Begitu pula upaya Cina menyeimbangkan pertumbuhan ekonominya.

Investasi di sektor hulu migas di Indonesia telah mengalami dampak dari itu semua.Pada tahun 2016 lalu, misalnya, Indonesia Petroleum Association (IPA) mencatat, investasi hulu migas mengalami penurunan 27,31%, dari US$ 15,34 miliar di tahun 2015 ke angka US$ 11,15 miliar. Padahal, mengacu pada studi yang dilakukan Boston Consulting Group (BCG), jika produksi migas Indonesia bertahan seperti posisi tahun 2015 selama 10 tahun mendatang, itu bisa menambah pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 1,2% per tahun hingga 2025. Pada tahun 2015, produksi minyak di tahun 2015 tercatat 785,75 ribu barel per hari dan produksi gas sebesar 8.100 juta kaki kubik per hari (MMSCFD).

Menurut Direktur IPA Tumbur Parlindungan, sesuai data Bank Indonesia dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), setiap investasi hulu migas sebesar US$ 1 juta bisa berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar US$ 700 ribu dan nilai tambah perekonomian sebesar US$ 1,6 juta. Dengan demikian, ketika dikalkulasi, investasi hulu migas tahun 2016 sebesar US$ 11,15 miliar bisa berkontribusi ke PDB sebesar US$ 23,7 miliar.

“Begitu investor masuk, ekonomi bisa membaik. Jangan dilihat dari penerimaan oil and gas saja, tapi ada sektor lain yang terpengaruh, yaitu peningkatan permintaan barang serta transaksi perbankan ihwal oil and gas,” kata Tumbur di Jakarta, 10 Mei 2017 lalu.

Berdasarkan data yang dimiliki IPA, transaksi perbankan dari sektor minyak dan gas cukup besar, yakni mencapai US$9,7 miliar di tahun 2016.  Investasi hulu migas, ungkap Tumbur lagi, perlu dilakukan untuk menahan laju penurunan produksi migas dalam negeri. Kalau laju penurunan produksi bisa ditahan, pertumbuhan PDB juga akan stabil.