Koran Sulindo – Sejak siang Stadion Utama Gelora Bung Karno telah penuh sesak, sekitar 100 ribu orang memenuhinya. Di luar gerbang tak kalah ramai. Menjelang jam 16.00 WIB, Presiden Sukarno tiba menggunakan helikopter. Maka, dimulailah rangkaian acara pembukaan pesta olahraga akbar The Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Satu per satu kontingen tiap negara berparade, defile, sambil disambut riah-riuh penonton.
Lalu seorang atlet Indonesia, Harun Al-Rasjid, berlari membawa obor untuk menyalakan tungku api Ganefo. Api berkobar, dibarengi pengerekkan bendera dan nyanyian himne Ganefo. Acara seremonial yang tidak asing namun bermakna besar bagi para peserta. Bung Karno lalu naik ke podium. Suasana tiba-tiba hening. Dengan satu kalimat singkat dalam tiga bahasa, Indonesia, Inggris, dan Prancis, dia menyatakan, “dengan ini, Ganefo I saya buka.” Hari itu, 10 November 1963, Ganefo pertama resmi dibuka.
Ganefo bukanlah ujug-ujug datang dalam pemikiran Bung Karo. Ajang olahraga itu merupakan bagian dari gagasan Bung Karno tentang nation and character building bangsa Indonesia. Setelah era perjuangan fisik untuk pembebasan nasional usai, Soekarno pada tahun 1957 telah menandaskan bahwa nation building memerlukan revolusi mental. Bung Karno telah berkeyakinan bahwa, selain olahraga sebagai alat pembentuk jasmani, olahraga adalah alat pembangun mental dan rohani yang efektif. Dan, karenanya, olahraga dapat dijadikan salah satu alat untuk membangun bangsa dan karakternya (nation and character building).
Selain dimaterialkan dalam bentuk kurikulum di sekolah-sekolah dan menggencarkan kegiatan olahraga di kalangan rakyat, Bung Karno juga berusaha menjadikan ajang kejuaraan olahraga untuk menunjukkan nama bangsa Indonesia di dunia internasional. “Buat apa toh sebetulnya kita ikut-ikutan Asian Games? Kita harus mengangkat kita punya nama. Nama kita yang tiga setengah abad tenggelam dalam kegelapan,” kata Bung Karno.
Pada tahun 1961, Bung Karno melontarkan konsepsinya dalam memandang dunia, yaitu soal Nefo dan Oldefo. Nefo-The new emerging Forces—mewakili kekuatan baru yang sedang tumbuh, yaitu Negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin yang berusaha bebas dari neo-kolonialisme dan imperialisme serta berusaha membangun tatanan dunia baru tanpa exploitation l,homme par I’homme, sedangkan Oldefo—The Old Esthablished Forces—mewakili negeri-negeri imperialis dan kekuatan lama yang semakin dekaden.
Tak lama kemudian, dalam perebutan tuan rumah penyelenggaraan Asian Games ke-IV, Indonesia mengalahkan Pakistan dalam pemungutan suara. Begitu terpilih sebagai tuan rumah Asian Games ke-IV, Bung Karno segera berupaya melobby Soviet untuk memperoleh bantuan dalam pembangunan sejumlah proyek olahraga. Meski Soviet kurang nyaman dengan kedekatan politik internasional Indonesia dengan Tiongkok, namun negeri sosialis paling pertama di dunia ini tetap bersedia memberi bantuan sebesar $ 10,5 juta.
Menurut Maulwi Saelan, salah satu ajudan Presiden Bung Karno pada saat itu, pinjaman Soviet itu akan dibayar oleh pihak Indonesia dengan karet alam dalam tempo dua tahun.
Usaha Bung Karno tidak sia-sia. Indonesia berhasil membangun kompleks olahraga terbesar di Asia Tenggara kala itu. Kompleks olahraga itu punya stadion utama yang memiliki kapasitas 100.000 penonton (sebelum diciutkan menjadi 80.000 pada tahun 2007), dan menggunakan arsitektur temu gelang. Istana Olahraga (Istora) selesai dibangun pada 21 Mei 1961, Stadion Renang, Stadion Madya, dan dan Stadion Tenis (Desember 1961), Gedung Basket (Juni 1962), serta Stadion Utama (21 Juli 1962). Kompleks stadion olahraga ini dibangun selama 2 1/2 tahun, sepanjang siang dan malam, oleh 14 insinyur Indonesia dan 12.000 pekerja sipil dan militer yang bekerja secara bergantian dalam 3 shift.
Selain berhasil membangun kompleks olahraga, Indonesia juga berhasil membangun Hotel Indonesia (HI), memperluas ruas jalan Thamrin, jalan jenderal Sudirman, jalan Grogol (sekarang: Jalan S. Parman), dan pembangunan jembatan Semanggi yang didesain oleh Ir. Sutami.
Di ajang Asian Games itu, Indonesia berhasil menunjukkan prestasi yang membanggakan, yakni menempati urutan kedua perolehan medali setelah Jepang. Sarengat, pelari terbaik Indonesia saat itu, berhasil menjadi pelari tercepat dan memecahkan rekor Asia.
Melawan Imperialisme
Sementara itu, karena sikap keras Indonesia menentang kepesertaan Israel dan Taiwan di Asian Games, maka komite Olympiade Internasional (IOC) mencabut sementara keanggotaan Indonesia dalam organisasi tersebut. Sukarno menuding, Taiwan terlibat dalam memberikan bantuan persenjataan kepada PRRI-Permesta yang membangkang terhadap pemerintah pusat di Jakarta. Alasan penolakan atlet dari Israel karena negara itu sebagai salah satu kelompok Old Emerging Forces (Oldefos). Melakukan ekspansi ke wilayah Palestina dan negara Arab lainnya.
Sikap Indonesia tersebut mendapat dukungan dari Tiongkok dan negara-negara jazirah Arab. Menanggapi keputusan sepihak IOC tersebut, Bung Karno marah besar lalu memberikan penegasan bahwa Indonesia menyatakan keluar dari IOC. Indonesia menganggap organisasi tersebut sebagai perpanjangan tangan dari kepentingan neo-kolonialisme dan imperialisme.
Menanggapi perintah Bung Karno, Menteri Olahraga Maladi mengirimkan nota ke markas IOC di Swiss, dimana organisasi olahraga tersebut bersidang. “Mereka berharap kita menjadi lemas dan berharap akan diterima kembali. Dikira kita ini bangsa apa? Kita bukan bangsa tempe. Saya perintahkan kepada menteri Maladi untuk keluar dari IOC. Segera bentuk Games of The New Emerging Forces. Yaitu, gabungan dari negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan negara-negara sosialis. Ganefo yang akan kita bikin nanti adalah olahraga dari keluarga sendiri dari satu kandang. Saya perintahkan negara bikin Ganefo. Ini bukan sekedar perintah Presiden, tapi seluruh rakyat Indonesia, “ demikian memo dari Presiden Sukarno, seperti dikutip dari buku Ganefo, Olimpiade Kiri di Indonesia, karya Muhidin M Dahlan (Warung Arsip, 2016)
Persiapan Ganefo dilaksanakan secara kilat sesuai instruksi Sukarno. Menteri Maladi ditugaskan untuk mengurusinya. Konferensi persiapan dilaksanakan di Jakarta pada 27-29 April 1963. Sepuluh negara hadir sebagai anggota penuh: Kamboja, Tiongkok, Guinea, Indonesia, Irak, Pakistan, Mali, Vietnam Utara, Republik Persatuan Arab, dan Uni Soviet. Sedangkan Srilanka dan Yugoslavia hadir sebagai pengamat. Nama pesta olahraga ini pun dikemukakan ke publik untuk kali pertama: The Games of The New Emerging Forces (Ganefo).
Dalam pidato pembukaan konferensi di Hotel Indonesia, Presiden Sukarno menjelaskan Ganefo memiliki tujuan politis untuk menandingi IOC dan kubu imperialisme di dalamnya. Dia tidak menentang idealisme Olimpiade yang dicetuskan Baron de Coubertin (pendiri sistem olimpiade modern) sebagai sarana persatuan, perdamaian, dan persahabatan antarmanusia di seluruh dunia.
“Kami dengan senang hati bergabung ke dalam IOC karena kami sependapat dengan ide yang disampaikan oleh Baron de Coubertin. Tapi apa yang ternyata kami dapatkan dari IOC? Sikap mereka menunjukkan bahwa mereka sekarang hanyalah sebuah alat imperialisme dan politik! Kami punya pengalaman pahit dengan Asian Games! Bagaimana perasaanmu, komunis Cina! Ketika kamu dikucilkan dari olahraga internasional hanya karena kamu negara komunis? Ketika mereka tidak bersahabat dengan Republik Persatuan Arab, ketika mereka mengucilkan Korea Utara, ketika mereka mengucilkan Vietnam Utara, bukankah itu keputusan politik?” kecam Sukarno.