Gamawan Fauzi Tersangka Baru Kasus Korupsi KTP Elektronik?

Mantan Mendagri Gamawan Fauzi/bisnisjakarta.com

Koran Sulindo – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan menetapkan 2 orang tersangka baru dalamkasus korupsi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik (e-KTP). Nama 2 tersangka baru itu akan diumumkan pekan depan.

Hingga saat ini sudah sebanyak 7 orang dijerat ke pengadilan dalam kasus yang merugikan negara trilunan rupiah tersebut. Mereka adalah pejabat di Kemendagri Irman dan Sugiharto, mantan Ketua DPR Setya Novanto, Andi Naragong, Made Oka Masagung, Anang Sugiana Sudiharjo, dan Irvanto Hendra Pambudi. Nama terakhir yang disebut juga merupakan keponakan dari Setya Novanto.

“Kami sudah naikkan beberapa tersangka baru. Ada dari pengusaha, ada dari birokrat kayaknya,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi 3 DPR, di kompleks parlemen Senayan Senin (1/7/2019) lalu.

Namun Agus tidak mau menyebutkan nama tersangka baru tersebut.

Sementara Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan pengumuman tersebut masih menunggu kesiapan internal KPK.

“Nanti kita ekspos, kita sudah gelar perkara, tinggal diumumkan. Yang jelas dua,” kata Saut, di tempat sama.

Berdasar persidangan yang sudah digelar dalam kasus ini, kemungkinan salah satu tersangka baru itu adalah mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Tersangka baru lainnya kemungkinan adalah adik Gamawan Fauzi, Azmin Aulia.

Kedua calon tersangka tersebut sering dipanggil ke gedung KPK.

Gamawan Fauzi pertama kali dipanggil KPK pada 12 Oktober 2016. Gamawan menjabat Mendagri periode 2009-2014 dan bertanggung jawab dalam proyek pengadaan E-KTP.

Sebelumnya, mantan anggota DPR RI dan Bendahara Partai Demokrat, Nazaruddin mengatakan Gamawan Fauzi terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik atau e-KTP.

“Sekarang yang pasti e-KTP sudah ditangani oleh KPK. Kita harus percaya dengan KPK, yang pasti mendagrinya harus tersangka,” kata Nazaruddin, usia diperiksa di KPK, Jakarta, Selasa (27/9/2016).

Nazaruddin yakin KPK sudah mengantongi bukti-bukti keterlibatan Gamawan. Proyek E-KTP, kata Nazaruddin, dikendalikan ketua fraksi Partai Golkar di DPR yaitu Setya Novanto dan mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Pelaksananya adalah Nazaruddin, staf dari PT Adhi Karya Adi Saptinus, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, dan Pejabat Pembuat Komitmen.

Beberapa pemberian, menurut Nazaruddin, diberikan melalui adik Gamawan, Azmin Aulia. Nazaruddin mengaku dilapori para pengusaha bahwa pemberian untuk Gamawan telah terlaksana. Menurut Nazaruddin, ada ancaman bahwa Mendagri tidak akan menandatangani penetapan pemenang lelang proyek e-KTP jika pemberian tidak dilakukan. Akibatnya, penetapan pemenang lelang sempat tertunda sampai pemberian kepada adik Gamawan terlaksana.

“Itu sudah diserahkan. Kalau tidak, penetapan pemenang tidak akan terealisasi. Penetapan pemenang ada di Menteri,” kata Nazaruddin.

Dalam dakwaan dua tersangka awal, Irman (mantan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri dan Sugiarto (Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri), yang dibacakan JPU KPK di persidangan Tipikor Jakarta, pada 9 Maret 2017, Gamawan diduga sedikitnya menerima US$ 2 juta. Duit haram itu diserahkan Andi Agustinus alias Andi Narogong pada Maret 2011, melalui Afdal Noverman, dengan maksud agar pelelangan pekerjaan penerapan e-KTP tidak dibatalkan Gamawan.

Dalam surat dakwaan KPK terhadap terdakwa Irman dan Sugiharto, Gamawan disebut diperkaya sebesar 4.5 juta dollar AS, atau lebih dari Rp 60 miliar.

Sementara Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni, kata jaksa, dalam persidangan menjelaskan pernah mendapat keluhan dari pengusaha pelaksana proyek e-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong tentang Irman yang terus menerus meminta uang untuk Gamawan Fauzi.

“Adanya aliran dana dari Afdal Noverman Rp 1 miliar secara tunai juga menambah keyakinan jaksa penuntut umum adanya aliran uang ke Gamawan Fauzi,” kata jaksa.

Azmin Aulia

Sementara itu Azmin Aulia, ‎Direktur PT Gajendra Adhi Sakti, mangkir dari pemeriksaan KPK dalam kasus ini pada Senin 1 Juli 2019 lalu, untuk melengkapi berkas penyidikan dengan tersangka Politikus Golkar, Markus Nari.

Azmin Aulia/Antarafoto

Sebelumnya, dalam surat dakwaan Setya Novanto, Paulus Tannos diduga memberikan fee kepada Gamawan Fauzi melalui Azmin Aulia sebesar 5 persen dari nilai pekerjaan yang diperoleh. Sehingga akhirnya Gamawan disebut sebagai pihak yang diuntungkan dari proyek ini dan hal ini masuk dalam pertimbangan hakim dalam putusan Novanto saat itu.

“Gamawan Fauzi Rp 50 juta, satu unit ruko dan sebidang tanah melalui Azmin Aulia,” kata Hakim Franky Tumbuwun di Pengadilan Tipikor, Selasa, (24/4/2018) lalu.

Azmin dalam persidangan sebelumnya mengakui membeli ruko dan tanah milik Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tanos. PT Sandipala merupakan anggota konsorsium pelaksana proyek e-KTP.

“Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi sempurna dengan dibelinya aset Paulus Tanos oleh
Azmin Aulia dengan harga di bawah harga pasar,” kata jaksa.

Dalam persidangan Andi Agustinus alias Andi Narogong, terdakwa mengatakan uang korupsi proyek e-KTP mengalir kepada anggota DPR dan pejabat di Kementerian Dalam Negeri. Salah satu yang ikut menerima jatah dalam bagi-bagi fee tersebut adalah Azmin Aulia.

Azmin disebut-sebut mendapat ruko di Grand Wijaya, Kebayoran, Jakarta Selatan. Ruko tersebut diberikan kepada Azmin oleh Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tanos.

Andi juga mengatakan Azmin Aulia adalah salah satu kunci penentu pemenang lelang dalam proyek e-KTP.

“Jadi, kemenangan e-KTP kuncinya ada di Pak Irman dan pejabat Depdagri pada Azmin Aulia, saya melihat demikian. Kalau Pak Novanto membantu anggaran,” kata Andi, di Pengadilan Tipikor Jakarta, 30 November 2017.

Sementara Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sudihardjo, memperkuat kesaksian itu dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada 22 Februari 2018, dengan terdakwa Setya Novanto. Anang mengaku mengetahui adanya pemberian ruko di Grand Wijaya, Jakarta Selatan kepada Azmin Aulia yang merupakan adik Gamawan Fauzi.

“Yang saya dengar dari Paulus, ruko itu dia bilang dikasi ke Azmin,” kata Anang kepada jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Anang, Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tanos mengaku kepadanya mengenai pemberian ruko kepada Azmin. PT Sandipala dan PT Quadra merupakan perusahaan pelaksana proyek e-KTP.

Anang menegaskan ruko itu diberikan secara cuma-cuma kepada Azmin. Namun, tak lama kemudian kasus korupsi dalam pengadaan e-KTP mulai diberitakan oleh media massa. Paulus kemudian mengatakan kepada Anang bahwa pemberian ruko tersebut kemudian dibuat seolah-olah sebagai jual beli. Paulus dan Azmin belakangan membuat bukti transaksi jual beli ruko, yang diduga sebagai upaya menyamarkan pemberian.

“Waktu itu kan e-KTP disorot terus. Ya sudahlah dibuat transaksi jual beli saja. Awalnya dikasih, tapi dibuat transaksi jual beli,” kata Anang.

Azmin Aulia tercatat memiliki perusahaan cangkang di Virgin Island. Uniknya perusahaannya itu memakai alamat di Indonesia yang persis sama dengan alamat perusahaan cangkang milik Paulus Tannos, tersangka kasus e-KTP yang sekarang bersembunyi di Singapura. Alamat perwakilan keduanya di Virgin Islan maupun Singapura juga sama. Pendirian kedua perusahaan itu pada hari yang sama.

Alamat perusahaan mereka di Indonesia berada di Jalan Mampang Prapatan Jakarta, Di sebuah gedung milik Riza Chalid yang kini juga tak jelas rimbanya.

Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara akibat kasus korupsi E-KTP itu sekitar Rp2 triliun, dari nilai anggaran proyek yang sebesar Rp6,7 triliun.  Salah satu bentuk penyelewengan yang ditemukan adalah penggunaan teknologi kartu E-KTP. Teknologi itu tidak sesuai dengan proposal yang diajukan. Ada penurunan kualitas kartu yang digunakan untuk E-KTP yang tidak sesuai dengan proposal. KPK juga menduga ada penggelembungan harga satuan komponen E-KTP.

KPK telah memantau dugaan korupsi proyek e-KTP  selama tiga tahun, bahkan sejak proses tendernya yang sempat kisruh dan dibawa ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lalu, kecurigaan lembaga ini kian memuncak setelah Kejaksaan Agung menerbitkan surat penghentian penyidikan selepas memeriksa Irman yang kala itu Pelaksana Tugas Dirjen Dukcapil.

Total yang dimaling dari proyek itu diperkirakan mencapai sekitar Rp 2,3 triliun dari total nilai proyek sekitar Rp 5,9 triliun. Saksi yang diperiksa dalam perkara ini juga mencapai sekitar 300 orang. Berdasarkan besarnya aliran dana yang dikorupsi serta banyaknya orang yang terlibat, proyek ini bisa digolongkan sebagai skandal mega-korupsi. [Didit Sidarta]