Koran Suluh Indonesia Volume II Nomor 24, 27 Desember - 3 Desember 2017

Koran Sulindo – Persoalan ekonomi masih terus membelit negara ini. Daya beli masyarakat, sebagaimana diungkapkan Badan Pusat Statistik (BPS), menurun. Utang luar negeri terus bertambah, sudah mencapai derajat yang sangat mengerikan. Bahkan, Bank Dunia menempatkan utang luar negeri Indonesia sudah berada di level bahaya. Karena, seperti kata pengamat ekonomi politik Ichsanuddin  Noorsy pada diskusi di DPR, Jakarta, Juli 2017 lalu, fluktuasi utang luar negeri Indonesia sudah di atas 30%.

Ketimpangan ekonomi juga lebar. Nisbah Gini atau Gini ratio Indonesia ada di posisi 0,39 pada tahun 2016 lalu, menurut data BPS juga. Padahal, nisbah Gini yang dihitung BPS itu tidak mengukur tingkat ketimpangan pendapatan dan ketimpangan kekayaan. Nisbah Gini yang dihitung BPS berdasarkan data pengeluaran yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia niscaya akan semakin rendah. Karena, seperti diungkapkan United Nations Development Program, semakin tinggi tingkat ketimpangan di Indonesia akan membuat semakin rendah posisi IPM. Pada tahun 2016 saja IPM Indonesia sudah melorot dari tahun sebelumnya.  Di tahun 2015, posisi IPM Indonesia berada di urutan 110. Namun, pada tahun 2016, posisinya berada di urutan 113 dari 188 negara.

Kebijakan politik ekonomi nasional seperti sedang mengalami disorientasi. Seolah bangsa ini kehilangan pijakan untuk bisa keluar dari belitan persoalan ekonomi.

Para pengambil keputusan juga seakan tak begitu memperhitungkan kekuatan rakyat Indonesia sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi. Partisipasi rakyat tak diberi ruang besar untuk dapat dikelola sebagai kekuatan untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi negara.

Padahal, menurut Bung Karno, kekuatan massa-rakyat itu semestinya diolah dengan semangat gotong-royong, sebagai inti dari Pancasila. Dengan demikian seluruh potensi ekonomi nasional dapat dimobilisasi, untuk meningkatkan produksi dan menambah penghasilan negara. Karena itu, massa-rakyat harus terus diperkuat.

Pemerintah juga harus benar-benar menyusun rencana program ekonominya secara konsepsional, organisasional, dan struktural. Pada masa Bung Karno memimpin negara ini telah dibuat Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana.

Rencana tersebut mulai digagas tahun 1959. Karena, hampir sama dengan situasi dan kondisi sekarang, Bung Karno menilai revolusi Indonesia mulai kehilangan arah. Indonesia pada masa itu dianggap telah menjadi liberal. Berbagai sektor kehidupan masyarakat, terutama sektor politik, ekonomi, dan budaya, telah dirasuki liberalisme.

Pembangunan Nasional Semesta Berencana akan mengembalikan Indonesia ke arah dan tujuannya kembali, yang merupakan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur atau masyarakat sosialis Indonesia. “Dalam masyarakat sosialis Indonesia tiap-tiap orang dijamin akan pekerjaaan, sandang-pangan, perumahan, serta kehidupan kulturil dan spirituil yang layak. Susunan ekonomi yang demikianlah yang harus menjadi tujuan segenap kegiatan ekonomi kita, yang harus menjadi tujuan tiap-tiap putra Indonesia,” demikian antara lain dikatakan Bung Karno ketika mengumumkan Deklarasi Ekonomi pada 28 Maret 1963.

Syarat yang juga tak bisa diabaikan untuk mencapai tujuan tersebut adalah penguasaan bangsa Indonesia pada seluruh aktivitas ekonomi di negara ini. Tujuannya agar rencana pembangunan revolusioner tak dihalangi oleh kaum kolonialis dan imperialis yang terus bergentayangan—bahkan sampai sekarang. Dan, menurut Bung Karno lagi, aktivitas ekonomi Indonesia pada tahun 1960-an sudah berada di tangan bangsa Indonesia sendiri.

Ekonomi yang mandiri, yang oleh Bung Karno dikatakan sebagai Ekonomi Berdikari,  bukan sekadar tujuan, tapi harus dijadikan prinsip dari cara bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan tersebut. Prinsip itu terutama berkaitan dengan pembiayaan pembangunan, yang harus menghindari diri dari bantuan atau utang dari negara atau bangsa lain.

Sungguhpun demikian bukan berarti Indonesia harus mengelakkan kerja sama ekonomi dengan negara-negara lain. Kerja sama justru tetap perlu dilakukan, sepanjang atas dasar kesamaan derajat dan kepentingan. Bukan kerja sama yang menjadikan Indonesia sebagai sapi perah dan akan menjadikan bangsa Indonesia bak ayam yang mati di lumbung padi. [PUR]