Koran Sulindo – Ia bukan saja figur arsitektur yang tidak tertandingi, namun ia juga arsitektur “kesayangan” Bung Karno. Karena peran sentralnya itu, Bung Karno lalu acap mengajaknya berkunjung ke berbagai negara untuk mempelajari arsitektur bangunan negeri-negeri tersebut.
Ia adalah almarhum Friedrich Silaban, pria kelahiran Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912. Ia menamatkan Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Narumonda, Tapanuli dan melanjutkannya ke Koningin Wilhelmina School, sebuah sekolah teknik di Jakarta.
Karyanya yang paling fenomenal adalah Masjid Istiqlal. Karena itu pula nama Friedrich Silaban menjadi masyur. Kisahnya menjadi arsitek Istiqlal bermula dari sebuah sayembara membuat desain maket pada 1955. Kala itu, Presiden Soekarno menjadi Ketua Dewan Juri sayembara. Ada 22 dari 33 arsitek yang lolos sayembara itu.
Ketika sayembara diumumkan, nama Friedrich Silaban muncul sebagai pemenang. Presiden Soekarno lalu menjuluki karya Silaban berjudul “Ketuhanan” itu sebagai “By the grace of God“. Selanjutnya, lima tahun kemudian, penanaman tiang pancang baru dilakukan. Dan setelah 17 tahun kemudian pembangunan selesai dan resmi digunakan pada 22 Februari 1978.
“Pak Silaban justru menghabiskan banyak waktunya untuk Masjid Istiqlal hingga akhir hayatnya,” kata Setiadi Sopandi, penulis biografi Friedrich Silaban ketika ditemui saat peluncuran Biografi Friedrich Silaban di Perpustakaan Bank Indonesia, Jakarta, pada pertengahan Juni 2017.
Soal desain Masjid Istiqlal itu, Poltak Silaban, salah satu anaknya bercerita, tidak mudah bagi ayahnya untuk membuatnya. Selain karena tidak punya pengalaman membuat masjid, juga karena pengetahuannya yang minim tentang Islam. Akan tetapi, itu tidak membuatnya putus asa. Entah ide dari mana, justru ia menggambarkan desain masjid seperti yang bisa dilihat sekarang.
“Ayah saya bilang ide itu datang begitu saja,” tutur anak ketiga Friedrich Silaban itu.
Sementara Panogu Silaban, adik Poltak pada 2015 mengatakan, ketika mau mengikuti sayembara desain Masjid Istiqlal, ayahnya mengunjungi banyak tempat hingga ke Cianjur. Di sana ia bertemu banyak kyai dan bertanya tentang masjid.
Asli Indonesia
Soal ini, F Silaban pada 1978 pernah mengatakan, arsitektur Masjid Istiqlal itu tidak meniru dari negara manapun. Ia akan tetapi juga sulit menjelaskan dari mana datangnya ide desainnya. Patokannya dalam merancang hanya berdasarkan kaidah-kaida arsitektur yang sesuai dengan iklim Indonesia dan apa yang dikehendaki orang Islam terhadap masjid.
“Rancangan Pak Silaban memang selalu memikirkan soal iklim. Rancangannya konsisten soal itu. Tak pernah ada rancangannya yang menggunakan pendingin udara. Karakter lainnya adalah monumentalis,” kata Setiadi Sopiandi.
Buku biografi atau perjalanan hidup Friedrich Silaban diluncurkan di Perpustakaan Bank Indonesia, Jakarta pada 14 Juni 2017. Lokasi ini dipilih bukannya tanpa alasan. Rancangan gedung Bank Indonesia merupakan salah satu karya Silaban.
Buku ini tidak saja memperkenalkan karya-karyanya yang bisa dilihat hingga hari ini, tapi juga memperkenalkan rancangan-rancangannya dalam sketsa dan tidak pernah diwujudkan. Buku ini juga bercerita tentang hubungan dekatnya dengan Bung Karno. Selain menjadi kawan diskusi, Silaban juga menjadi kawan debat Bung Karno dalam hal arsitektur.
Kisah itu terekam ketika Bung Karno ingin membangun Stadion Gelora Bung Karno di Senayan. Setiadi bercerita, pembangunan stadion yang rencananya untuk penyelenggaraan Asian Games ke -IV 1962 itu awalnya tidak melibatkan Silaban. Selain pembiayaan, pembangunan stadion tersebut juga melibatkan tenaga ahli dari Uni Soviet. terlebih rancangannya merujuk Stadion Luzhniki di Moskow.
Lokasinya pun sudah diputuskan di kawasan Dukuh Atas. Rancangannya dibuat di dua lokasi berbeda dipisahkan oleh jalan raya. Alasannya Dukuh Atas dekat dengan pusat kota.
Pada suatu hari di tahun itu, dalam sebuah rapat yang dihadiri Bung Karno, Silaban pun dilibatkan. Bung Karno lalu meminta pendapat Silaban mengenai rancangan itu. Di situ Silaban menyampaikan ketidaksetujuannya atas rencana lokasi dan rancangan. “Bung Karno pun menyetujui usulan tersebut. Itu sebabnya, kita mengetahui GBK kemudian dibangun di Senayan,” kata Setiadi.
Setiadi Sopiandi berharap lewat peluncuran buku ini, publik semakin mengenal sosok Friedrich Silaban yang punya peran besar untuk negeri ini. Di samping itu, publik juga menjadi tahu bahwa bangunan-bangunan hasil rancangan Silaban sudah berumur lebih dari 50 tahun. Dengan demikian, sudah sepantasnya dijadikan cagar budaya.
“Artinya, kita harus memperlakukan gedung-gedung itu dengan pantas. Kalau pun ada perbaikan sana-sini, setidaknya pelestarian dan restorasi gedung terhadap gedung itu tidak menyinggung Pak Silaban dan Bung Karno,” kata Setiadi. [Kristian Ginting]