Koran Sulindo – PT Freeport Indonesia menyetujui divestasi saham untuk Pemerintah Republik Indonesia hingga 51 persen dan membangun Smelter paling lambat hingga 5 tahun mendatang. Dalam kesepakatan itu, Freeport mendapat perpanjangan izin operasi tambang selama 10 tahun lagi setelah izin habis pada 2021 nanti. Izin itu bisa ditambah selama 10 tahun lagi hingga 2041.
Namun untuk mendapatkan perpanjangan operasional itu, Freeport harus mengganti statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Freeport harus mengajukan lagi proses administrasi menjadi IUPK, dengan catatan seluruh lampiran di dalam IUPK bisa segera rampung. Lampiran itu mencakup rencana pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian logam (smelter) yang selesai paling lambat pada 2022, divestasi sebesar 51 persen, dan komitmen setoran penerimaan negara lebih besar dibanding saat Kontrak Karya.
Pemerintah dan PT Freeport Indonesia berunding soal ini sejak awal tahun, setelah pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2017.
Pemerintah dan PT Freeport Indonesia segera menyelesaikan dokumentasi dari struktur yang disepakati.
“Saya mau detail dan teknisnya akan diselesaikan dalam minggu ini,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, dan Ketua Tim Perundingan Pemerintah RI, dalam jumpa pers, di Jakarta, Selasa (29/8), seperti dikutip Antaranews.com.
Jumpa pers juga dihadiri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Presiden dan CEO Freeport McMoran Richard Adkerson.
Rio Tinto
Freeport berjanji akan menggelontorkan dana hingga US$20 miliar jika operasional tambangnya diperpanjang RI.
Namun dalam soal divestasi saham, Freeport Indonesia belum meminta persetujuan Rio Tinto, perusahaan yang selama 20 tahun terakhir bekerjasama mengeruk tembaga dan emas di tambang Grensberg, Papua.
Richard Adkerson mengatakan Rio Tinto hanya memegang hak partisipasi sebesar 40 persen di dalam pengelolaan itu, 60 persen di tangan Freeport.
“Rio Tinto tidak punya saham apapun di Freeport Indonesia. Freeport Indonesia adalah entitas korporasi yang memiliki partner joint venture dengan Rio Tinto. Yang kami bicarakan di sini adalah divestasi. Namun, kami tetap memiliki hak partisipasi di dalam kerja sama ini sebesar 60 persen,” kata Adkerson.
Menurut Adkerson, Freeport tak perlu mendapatkan izin dari Rio Tinto soal divestasi saham, karena Kontrak Karya RI adalah dengan Freeport.
Kerja sama Freeport dengan Rio Tinto berlangsung sejak 1995.
Penerimaan Negara
Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penerimaan negara dari PT Freeport Indonesia akan lebih besar dengan kesepakatan baru ini.
Penerimaan negara dari operasi PT Freeport di Indonesia yang berupa pajak dan non pajak, pemerintah telah mengusulkan jumlah yang lebih besar dari yang dihasilkan dari Kontrak Karya sesuai Undang-Undang Minerba No. 4 Tahun 2009 pasal 169 huruf c.
“Kami telah menghitung data historis operasi PT Freeport Indonesia dan penerimaan negara berdasarkan komposisi dari sisi perpajakan yaitu pajak, bea cukai, pajak daerah serta penerimaan bukan pajak berupa royalti. Kita telah mengusulkan suatu penerimaan yang lebih besar daripada yang diperoleh dari Kontrak Karya telah disepakati antara pemerintah Indonesia dan PT Freeport, yaitu berdasarkan UU Minerba No. 4 Tahun 2009 Pasal 169 huruf c. Pada prinsipnya, total penerimaan negara akan lebih besar dari yang diterima dari basis Kontrak Karya,” kata Sri Mulyani, seperti dikutip kemenkeu.go.id.
Besaran penerimaan negara, yang akan lebih besar itu, diletakkan dalam lampiran IUPK nanti. Lampiran tersebut juga berisi kewajiban-kewajiban Freeport menyetorkan penerimaan negara baik dalam bentuk royalti, PPh, PPN, PBB, pajak daerah, dan pembagian penerimaan antara pusat dan daerah.
“Kami akan letakkan dalam bentuk lampiran IUPK huruf M dan O yang menjelaskan kewajiban PT Freeport dalam memenuhi kewajibannya menyetor penerimaan negara baik dalam bentuk royalties, Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), pajak daerah dan sharing revenue antara pusat dan daerah. Nanti akan kita tuangkan dalam Peraturan Pemerintah tidak hanya untuk Freeport tapi juga untuk seluruh perusahaan mineral di Indonesia yang memiliki Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK),” kata Sri.
RI dan Freeport menyepakati hasil perundingan ini pada Minggu 27 Agustus 2017 lalu. Kesepakatan itu mencakup 4 hal. Pertama, landasan hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia akan berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan berupa Kontrak Karya (KK).
Kedua, divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51% untuk kepemilikan Nasional Indonesia. Hal-hal teknis terkait tahapan divestasi dan waktu pelaksanaan akan dibahas oleh tim dari Pemerintah dan PT Freeport Indonesia.
Ketiga, PT Freeport Indonesia membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter selama 5 tahun, atau selambat-lambatnya sudah harus selesai pada Oktober 2022, kecuali terdapat kondisi force majeur.
Dan terakhir, stabilitas penerimaan negara. Penerimaan negara secara agregat harus lebih besar dibanding penerimaan melalui Kontrak Karya selama ini, yang didukung dengan jaminan fiskal dan hukum yang terdokumentasi untuk PT Freeport Indonesia.
Setelah PT Freeport Indonesia menyepakati 4 poin di atas, sebagaimana diatur dalam IUPK, maka PT Freeport Indonesia akan mendapatkan perpanjangan masa operasi maksimal 2 x 10 tahun hingga 2041.
Kasus Freeport ini memang dijadikan ujicoba oleh pemerintah dalam pengelolaan tambang mendatang. [DAS]