Koran Sulindo – Chappy Hakim akhirnya resmi mengundurukan diri sebagai Direktur Utama PT Freeport Indonesia. Pihak Freeport pada Sabtu siang (18/2), telah mengumumkan akan perubahan manajemen. “PT Freeport Indonesia (PTFI) hari ini mengumumkan bahwa Chappy Hakim akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Direktur dan kembali ke posisinya semula sebagai penasihat perusahaan,” demikian antara lain bunyi siaran pers perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut.
Namun, siaran pers itu tak menyebut alasan Chappy mengundurkan diri. Chappy hanya mengatakan, keputusan untuk mundur tersebut merupakan keputusan terbaik. “Saya telah memutuskan, demi kepentingan terbaik bagi PTFI dan keluarga saya, saya mengundurkan diri dari tugas-tugas saya sebagai Presiden Direktur dan melanjutkan dukungan saya kepada perusahaan sebagai penasihat,” ujar Chappy.
Richard C. Adkerson, Chief Executive Officer dan President Freeport-McMoRan Inc., juga telah memberikan restu ke Chappy. Adkerson menyampaikan terima kasih ke Chappy Hakim atas sumbangsihnya selama kurang lebih empat bulan menjabat sebagai Direktur Utama Freeport Indonesia. “Kami memahami bahwa ini adalah keputusan yang sulit dibuat oleh Pak Chappy,” tutur Adkerson.
Sebelumnya, lewat akun resmi-nya di Twitter, mantan Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Muhammad Said Didu, mengatakan bahwa dirinya mendengar Chappy Hakim akan mundur dari posisinya itu. “Saya dapat informasi tadi sore bhw Dirut Freeport pak @chappyhakim mengundurkan diri. Artinya ada masalah serius yg terjadi,” tulis Didu pada Sabtu dini hari. Ia membuat kultwit (kuliah twit) panjang dengan hastag #simalakama, yang antara lain memaparkan persoalan Freeport.
Diungkapkan Didu juga, Chappy Hakim dikenal cukup dekat dengan Presiden Joko Widodo. “Jadi, Dirut Freeport pasti ‘persetujuan’ Presiden,” katanya. Jika orang dekat Presiden seperti Chappy Hakim saja tidak kuat, lanjutnya, artinya ada pihak yang lebih kuat pengaruhi kebijakan. “Dengan mundurnya pak @chappyhakim maka muncul buah #simakama lain, yaitu hubungan dg investor dan pemilik saham di AS. Info yang saya terima bhw pemilik saham terbesar sekarang di Freeport adalah salah satu orang terdekat Presiden AS saat ini. Ada 3 simalakama baru yg muncul akibat ketidaktegasan pemimpin ambil keputusan tepat di waktu yg tepat, yaitu : 1) pelaksanaan PP baru dg Kontrak yg masih hidup, 2) izin Ekspor dg ancaman PHK, 3) ketegasan kbjkn dg gejolak sosial Papua,” tulisnya dalam beberapa kali twit.
Simalakama pertama diperkirakan, jika tidak ada keputusan tegas, bisa menjadi tuntutan arbitrase. “Ini bisa jadi masalah serius,” katanya. Perlu diketahui aturan di Amerika Serikat, lanjutnya, jika ada perusahaan tambang Amerika Serikat diberlakukan tidak adil di luar negeri, pemerintahnya akan bantu full. “Artinya, jika terjadi arbitrase, maka yg terjadi sebenarnya adalah pemerintah Indonesia melawan pemerintah AS. Saya pernah dapat informasi tdk resmi bhw jika Freeport ajukan arbitrase kira2 akan menuntut ganti rugi sktr Rp 500 trilyun,” kata Didu.
Dalam pandangan Didu, hal mendesak yang harus diselesaikan pemerintah terkait Freeport adalah pemutusan hubungan kerja pada tahun 2017, yang akan membuat sekitar 15.000 orang kehilangan pekerjaannya. Juga anjloknya ekonomi Papua secara drastis. “Hal yang perlu juga mendapat perhatian khusus adalah kewajiban Freeport utk melepaskan saham menjadi 51% thn ini juga. Kebijakan itu kelihatan sangat bagus krn freeport hrs melepaskan lagi sahamnya sktr 42 % tambah 9% yg ada. Pertanyaannya siapa yg akan membeli saham tersebut? Pemerintah atau BUMN atau swasta nasional atau swasta dari LN? Harga saham 42% tsb mungkin sktr Rp 60 – 70 trilyun (blm tentu benar). Jika dari APBN tdk mungkin krn tdk ada dlm APBN 2017. Bagaimana dg BUMN? Saham yg 10 % saja yg ditawarkan sjk 2016 blm tersedia dana – apakah akan minta PMN? Sdh lewat juga. Jika APBN dan BUMN tdk bisa, artinya yg beli adalah swasta nasional atau swasta asing. Ini kebijakan jebakan batman. Artinya krn lewat Peraturan Pemerintah suatu perusahaan swasta harus menjual ke swasta lain. Teman papà lagikah? Jika ini terjadi dan tidak ada swasta lain mau membeli, maka yg katanya selalu siap membeli adalah perusahaan dari Tiongkok. Jika itu terjadi, artinya kita mengusir Perusahaan AS dari Papua dan menggantikan dg perusahaan dari Tiongkok-wallahualam,” ungkap Didu.
Kisruh Freeport ini antara lain dipicu soal izin ekspor konsentrat dan perpanjangan kontrak. Pemerintah melarang Freeport melakukan ekspor konsentrat dengan dasar Undang-Undang Minerba. Freeport dapat melakukan ekspor lagi jika sudah membangun smelter.
Namun, pada 16 Februari lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral kembali menerbitkan izin rekomendasi ekspor PT Freeport Indonesia dengan volume ekspor sebesar 1.113.105 Wet Metric Ton konsentrat tembaga. Izin ekspor ini juga telah disetujui pemerintah melalui Kementerian Perdagangan.
Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Bambang Gatot Ariyono, izin yang diberikan telah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Pertimbangannya sesuai peraturan perundang-undangan. Pembangunan smelter-nya memang masih nol, tapi kan diberi waktu lima tahun,” ujar Bambang di Jakarta, Jumat (17/2).
Kendati Freeport telah diberi persetujuan rekomendasi ekspor, tampaknya persoalan ini belum akan berakhir. Menurutu Said Didu dalam cuitannya pada Sabtu petang, dirinya mendapat informasi bahwa Freeport menolak izin ekspor yang telah diberikan pemerintah itu dan menetapkan status force majure. Kisruh tampaknya masih akan terus berlanjut. [PUR]