Pada awal tahun ini hujan es semakin sering terjadi di Indonesia, pada beberapa daerah butiran hujan es bahkan mampu merusak pemukiman dan lahan pertanian. Apakah ini sebagai pertanda alam atau fenomena biasa?
Pertengahan Maret ini ratusan petani kopi di Pagaralam, Sumatera Selatan harus gigit jari, panen kopi mereka dipastikan menurus drastis akibat hujan es yang sering melanda. Kerusakan tanaman kopi terjadi karena bunga dan biji kopi rusak terkena hujan es, banyak buah muda kemudian menjadi busuk atau kering di pohon.
Kejadian serupa juga terjadi di Surabaya, hujan es sebesar kelereng mengakibatkan puluhan rumah warga pada 21 Februari 2022. Terjangan hujan es dengan intensitas tinggi membuat atap rumah warga bolong-bolong. Diameter es yang turun diperkirakan sebesar 1 hingga 5 sentimeter sehingga dapat merusak bangunan.
Fenomena alam ini juga terjadi hampir merata di berbagai wilayah seperti Cianjur, Riau Sukabumi, Lampung, Tangerang, Bekasi juga Banyuwangi. Sebagai antisipasi, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengimbau kepada masyarakat untuk tetap waspada adanya cuaca ekstrem. Bahkan, BMKG menyebut, potensi cuaca ekstrem seperti fenomena hujan es, hujan lebat dan puting beliung masih dapat terjadi pada Maret hingga April selama pancaroba
Hujan es terbentuk saat tetesan air hujan terbawa ke atas menjadi badai petir. Peristiwa itu membawa mereka ke bagian atmosfer di mana udara cukup dingin untuk membekukan tetesan hujan.
Intensitas hujan es berbentuk butiran tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi sudah menjadi fenomena global. Di Leicestershire, Inggris ketika anak-anak tengah menikmati liburan sekolah dengan bermain di kolam agar tidak kepanasan. Tiba-tiba, langit menjadi gelap.
Pada sore hari tanggal 21 Juli 2021, hujan es seukuran bola golf tiba-tiba turun dari langit, memecahkan kaca jendela dan menimpa mobil. Kebun yang beberapa saat sebelumnya dipenuhi orang-orang yang berjemur di bawah sinar matahari sore, kini rusak parah akibat hujan es.
Badai es yang lebih parah terjadi di Calgary di Kanada pada Juni 2020. Hujan es seukuran bola tenis yang terjadi saat itu menyebabkan kerusakan pada setidaknya 70.000 rumah dan kendaraan, menghancurkan tanaman dan membuat daerah itu mengalami kerugian C$1,2 miliar, atau sekitar Rp13,4 triliun. Badai es terjadi selama 20 menit dan menjadi salah satu peristiwa cuaca paling merugikan.
Bagaimana hujan es terbentuk?
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto mengatakan hujan es merupakan salah satu fenomena cuaca ekstrem yang terjadi dalam skala lokal dan ditandai dengan jatuhan butiran es dari awan serta dapat terjadi dalam periode beberapa menit.
Fenomena hujan es dapat terjadi karena dipicu oleh pola konvektifitas di atmosfer dalam skala lokal-regional yang signifikan. Hujan es dapat terbentuk dari sistem awan konvektif jenis Cumulonimbus (Cb) yang umumnya memiliki dimensi menjulang tinggi yang menandakan bahwa adanya kondisi labilitas udara signifikan dalam sistem awan tersebut.
“Sehingga dapat membentuk butiran es di awan dengan ukuran yang cukup besar. Besarnya dimensi butiran es dan kuatnya aliran udara turun dalam sistem awan CB atau yang dikenal dengan istilah downdraft,” kata Guswanto.
Menurut Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS, hujan es terbentuk saat tetesan air hujan terbawa ke atas menjadi badai petir. Peristiwa itu membawa mereka ke bagian atmosfer di mana udara cukup dingin untuk membekukan tetesan hujan.
Kelembaban dari udara terakumulasi di bagian luar tetesan es saat bergerak di udara, menyebabkan batu es tumbuh di lapisan seperti bawang. Itu akan terus tumbuh sampai aliran udara tidak lagi cukup kuat untuk membuatnya tetap tinggi.
Udara yang lebih lembap dan aliran ke atas yang lebih kuat akan menyebabkan hujan es yang lebih besar. Aliran udara ke atas dengan kecepatan 103 km/jam bisa mengakibatkan munculnya hujan es seukuran bola golf, sementara yang 27% lebih cepat dapat membuat hujan es seukuran bola bisbol.
Badai destruktif yang menghasilkan hujan es dengan diameter lebih dari 25 milimeter (mm) membutuhkan serangkaian kondisi tertentu, kata Julian Brimelow, spesialis ilmu fisika bidang Lingkungan dan Perubahan Iklim Kanada. Hujan es dengan ukuran tersebut, membutuhkan kelembaban yang cukup, aliran udara ke atas yang kuat, dan “faktor pemicu”, biasanya cuaca.
Pengaruh perubahan iklim
Udara yang lebih hangat dapat menampung lebih banyak uap air sementara suhu yang lebih tinggi juga berarti lebih banyak air yang diuapkan dari permukaan bumi. Hal ini diperkirakan akan menyebabkan curah hujan yang lebih deras dan badai yang lebih ekstrem di beberapa bagian dunia.
“Saat planet terus menghangat, area di mana badai hujan es kemungkinan terjadi cenderung bergeser,” kata Brimelow.
Area yang memiliki kelembapan yang cukup menjadi faktor pembatas dapat menjadi lebih lembap dan akibatnya, frekuensi hujan es dapat meningkat.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan menjelaskan bahwa fenomena hujan es ini menunjukkan transisi dari musim hujan ke kemarau atau biasa dikenal sebagai musim pancaroba.
Hujan es ini, menurut Wahyu, disebabkan oleh cuaca ekstrem karena dinamika iklim. Hal itu dapat dilihat dari perubahan suhu di Indonesia, yakni mencapai 0,7 sampai 1 derajat selsius.
“Seperti yang sedang berlangsung saat ini, kondisi ini akan lebih ekstrem di masa mendatang,” kata Wahyu. Lalu ia juga menerangkan, kondisi ini akan memicu pembentukan awan Cumulonimbus yang lebih tinggi dengan perbedaan suhu yang signifikan. Terutama antara wilayah permukaan dan lapisan atas dari struktur awan secara lebih besar.
Efeknya, terbentuknya kecepatan angin vertikal yang lebih besar di dalam awan Cumulonimbus. Sehingga memicu cuaca ekstrem yang mendorong badai, hujan es dan petir. Kejadian ini dapat dikategorikan sebagai bencana perubahan Iklim.
Bencana akibat perubahan iklim diperkirakan akan semakin meningkat di masa yang akan datang. Maka diperlukan upaya sistematis untuk mengidentifikasi dan mengurangi dampak perubahan iklim secara nasional dan global. Salah satu langkah nyata adalah dengan menekan laju perusakan lingkungan baik itu perusakan hutan maupun eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam Indonesia. [PTM]