PT Pertamina (Persero) menyebutkan proyek konsumsi bahan bakar minyak (BBM) jenis solar subsidi akan melebihi kuota yang ditetapkan pemerintah untuk tahun 2022.

Pada tahun ini pemerintah menurut Pertamina menetapkan kuota solar subsidi sebanyak 14,09 kiloliter (KL). Sedangkan angka konsumsi solar subsidi diproyeksikan dapat mencapai 16 juta kiloliter (KL) hingga akhir tahun ini.

“Jadi kalau lihat targetnya 14,9 juta KL, tapi kami prediksi naik ke 16 juta KL. Jadi sampai dengan akhir tahun ada peningkatan 14 persen kuotanya,” ungkap Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Senin (28/3/2022).

Menurut Nicke, konsumsi solar subsidi pada Februari 2022 saja sudah melebihi kuota hingga 10 persen. Realisasi penyaluran solar subsidi per Februari 2022 mencapai 2,49 juta KL dari yang seharusnya 2,27 juta KL. Menurut dia, peningkatan konsumsi itu tidak dibarengi dengan peningkatan dari sisi suplai.

Kuota solar subsidi tahun ini menurun 5 persen ketimbang kuota di tahun 2021. “Gap ini lah yang menyebabkan terjadinya masalah di suplai,” lanjut nicke.

Di sisi lain, tingginya permintaan solar subsidi juga diduga karena adanya penyelewengan dari pelaku industri seperti sawit dan tambang yang harusnya tidak berhak mengonsumsi solar subsidi. Ini dilakukan karena ada selisih harga dengan solar non subsidi.

Saat ini selisih harga antara solar subsidi dan non-subsidi atau Dex Series semakin tinggi yaitu mencapai Rp 7.800 per liter, berdasarkan perhitungan Pertamina.

Pada Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, ada ketentuan terkait transportasi yang bisa dan tidak bisa menggunakan solar subsidi. Adapun dalam beleid itu mobil pengangkut hasil tambang dan perkebunan dengan roda lebih dari 6 tidak bisa menggunakan solar subsidi.

Dugaan penyelewengan tampak dari meningkatkan penjualan solar hingga mencakup 93 persen, sementara penjualan solar non-subsidi menurun menjadi hanya 7 persen.

“Ini kami duga, karena penjualan solar non-subsidi itu turun dan penjualan solar subsidi naik. Padahal industri sedang naik, jadi memang semuanya ke sana,” kata Nicke.

Ia pun berdalih butuh petunjuk teknis dari pemerintah melalui regulasi level Keputusan Menteri untuk bisa mengantisipasi potensi penyelewengan solar subsidi. Ini dipandang perlu guna memastikan bahwa penyaluran solar subsidi bisa tepat sasaran.

Selain itu, ia menilai, dengan potensi peningkatan konsumsi solar subsidi hingga akhir tahun maka diperlukan kembali penyesuaian kuota solar subsidi.

“Kami memohon dukungan, jika memang solar subsidi ini adalah bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka kuotanya perlu disesuaikan dengan kebutuhan,” ungkapnya.

Solar subsidi berjenis bio solar selama ini dituding menjadi penyebab kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng dalam negeri. Bio solar dan minyak goreng menggunakan bahan baku yang sama yaitu Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit. Untuk memproduksi biodiesel campuran solar pengusaha sudah mendapatkan subsidi ditambah dengan insentif yang tinggi. [DES]