Catatan Cak AT:

Satu hal yang tak pernah berubah dari umat Islam adalah kemampuan mereka untuk berselisih pendapat, bahkan soal hal yang berdarah-darah sekalipun —seperti lokasi penyembelihan hewan dam jamaah haji. Iya, itu lho, hewan yang jadi tumbal karena jamaah haji telat sadar bahwa larangan ihram bukan pajangan.

Para ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali, dengan sangat warak dan penuh kehati-hatian, tetap keukeuh bahwa hewan dam—baik karena melanggar larangan ihram, meninggalkan kewajiban, atau karena ‘masalah teknis’ lain—harus disembelih di tanah haram.

Kenapa? Karena mereka meyakini bahwa maksud dari “baligha al-ka’bah” dan “mahilluha ila al-bayt al-‘atiq” adalah isyarat ilahi bahwa hewan tersebut harus sampai di sekitaran Ka’bah, bukan di depan rumah RT atau lapangan bola desa.

Argumen mereka masuk akal. Selain karena teks-teks literal mendukung pendapat itu, mereka juga berpandangan bahwa ini soal kehormatan Baitullah dan kepedulian terhadap para mustahiqqin (penerima manfaat) di tanah suci.

Makanya, buat mereka, yang tidak menyembelih dam di Mekkah itu bukan cuma melanggar fiqih, tapi juga kehilangan romantika spiritual beraroma darah.

Namun, datanglah Darul Ifta’ Mesir, lembaga fatwa kenamaan yang dikenal sebagai rumah tafsir syariah yang ramah—bukan yang gampang marah.

Dalam fatwanya nomor 7660 tertanggal 14 Januari 2023, Darul Ifta’ memutuskan secara lugas dan elegan: “Boleh menyembelih hewan dam di luar Mekkah, bahkan di kampung halaman sendiri.” Link fatwa selengkapnya tersedia di sini: https://s.id/DamHaji

Fatwa mereka tidak pakai embel-embel “kalau begini, kalau begitu”—langsung mubah secara mutlak. Tentu saja bukan karena mereka kehabisan tiket pesawat ke Saudi atau ingin menyejahterakan jagal lokal, tapi karena argumentasi yang cukup solid dan tidak kalah ‘berdarah’.

Mari kita kulik soal fikih yang jangan kaku, sebab ada mazhab lain juga.