FATMAWATI

(foto: Pikiran Rakyat)

Koran Sulindo – Di balik peristiwa bersejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ada kisah tentang Fatmawati. Istri Soekarno yang juga memiliki peran penting waktu itu.

Fatmawati Soekarno 5 november 1966 (foto; Wikipedia)

Pada saat Soekarno bersama tokoh lainnya sedang mempersiapkan segala sesuatu yang akan digunakan untuk momen pembacaan naskah teks proklamasi. Fatmawati keluar dari pintu rumahnya, dan tidak sengaja ia mendengar teriakan bahwa bendera Indonesia belum ada.

Baca juga Peristiwa RENGASDENGKLOK : Menjelang Detik-detik Proklamasi

Kemudian, Fatmawati yang saat itu sedang hamil tua berinisiatif untuk menjahit bendera Indonesia. Ia memanggil Chaerul Basri untuk segera menemui Shimizu yang merupakan pimpinan barisan Propaganda Jepang Gerakan Tiga A.

Tak lama Shimizu pun bertemu Fatmawati sambil membawa pesanan, kain dua blok berwarna merah dan putih. Kain itu lalu dijahit untuk dijadikan bendera oleh Fatmawati dengan kondisi fisik yang cukup lemah karena hamil tua serta sudah waktunya untuk melahirkan putra sulungnya.

“Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah Putih, saya jahit berangsur-angsur dengan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangan saja, sebab dokter melarang saya menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit.” kata Fatmawati dalam buku yang ditulis oleh Bondan Winarno

Beliau menghabiskan waktunya menjahit bendera besar selama dua hari hingga bendera Merah Putih berukuran 2×3 meter itu akhirnya selesai dibuat.

Bendera buatan Fatmawati itu dikibarkan setelah pembacaan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945 di Jl Pegangsaan Timur no 56 Jakarta. Bendera tersebut hingga kini masih disimpan dan menjadi benda pusaka negara.

Peran Fatmawati dalam kemerdekaan Indonesia tidak hanya menjahit bendera. Ia juga kerap menjadi orator untuk menyemangati masyarakat dan pejuang dalam merebut kemerdekaan. Bahkan, Fatmawati juga dikenal dengan kepiawaiannya dalam menjalin hubungan dengan para kepala negara di level internasional.

Baca juga CORNEL SIMANJUNTAK

Fatmawati lahir di Bengkulu pada 5 Februari 1923 dengan nama asli Fatimah. Ayahnya, Hasan Din, adalah salah seorang pemimpin Muhammadiyah di Bengkulu. Orang tua Fatmawati disebut-sebut sebagai keturunan kerabat Kesultanan Indrapura yang mengungsi ke Bengkulu ketika kerajaan itu diserang VOC pada awal abad ke-19.

Kisah cinta Soekarno dan Fatmawati dimulai pada suatu hari di bulan Agustus 1938. Sukarno yang saat itu menjalani pengasingan, dipindahkan dari Flores ke Bengkulu. Sukarno pun segera berkawan dengan Hasan Din dan ia diminta mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah.

Fatmawati, anak gadis semata wayang Hasan Din yang baru beranjak 15 tahun, bersekolah di situ dan jadi murid Sukarno. Selulus dari sekolah Muhammadiyah, Sukarno menawari Fatmawati untuk bersekolah di Rooms Katholik Vakschool bersama Ratna Juami, anak angkat Sukarno dan Inggit Garnasih (istri kedua Sukarno).

Fatmawati tak lantas menerimanya karena terbentur persyaratan masuk. “Bung Karno menjamin akan mengurus hal itu dan mulai hari itu juga aku tinggal di rumah Bung Karno,” kenang Fatmawati dalam memoarnya Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno (1985).

Pada 1 Juni 1943, Fatmawati pun dipersunting oleh Soekarno.

Ia menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967 dan merupakan istri ke-3 dari presiden pertama Indonesia, Soekarno, dan ibunda dari presiden kelima, Megawati Soekarno.

(foto: Tagar.id)

Rosihan Anwar bersaksi dalam sebuah memoarnya  yang terbit di harian Kompas (9 November 1994), betapa bahagianya Fatmawati bisa berumrah. Ia melukiskan perjalanan ibadah itu adalah cita-cita yang lama Fatmawati impikan dan ketika terlaksana layaknya “di alam surga”.

Di penghujung pertemuan itu Rosihan sempat pula bertanya tentang doa apa yang dimohonkan oleh Fatmawati di Makkah. “Saban hari aku melakukan zikir dan mengucapkan syahadat serta memohon supaya diberi oleh Tuhan keberanian dan melanjutkan perjuangan fi sabilillah. Aku berdoa untuk cita-cita seperti semula yaitu cita-cita Indonesia Merdeka. Janganlah sampai terbang Indonesia Merdeka,” jawab Fatmawati.

Siapa sangka, umrah itu adalah perjalanan terakhir bagi Fatmawati. Karena kelelahan, kondisinya tiba-tiba drop saat perjalanan pulang ke tanah air. Pada 14 Mei 1980, Fatmawati wafat di Kuala Lumpur. Jasadnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, di Blok AA1 Unit Islam. Tepat di atas makamnya juga diberi tanda seperti bendera merah putih lengkap dengan tulisan “Pejuang 45”. [Nora E]