Fashion: Mahkota Peradaban

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti saat tampil dalam peragaan busana di Indonesia Fashion Week 2018.

Koran SulindoFashion statement. Kamus Merriam-Webster mengartikan istilah tersebut sebagai “to be fashionable in a bold way”, sementara kamus Macmillan mengartikannya “something unusual that you wear, own, or use that is intended to show people that you know a lot about fashion”.

Amy Wirabudi, Konsultan Fashion

Setidaknya ada tiga ungkapan kunci dari arti istilah tersebut: bold way ‘cara yang berani’; unusual ‘tidak biasa’, dan; intended to show people ‘dimaksudkan untuk diperlihatkan ke orang lain’. Jadi, bisa dikatakan, fashion statement adalah cara kita menyatakan atau menampilkan diri secara berani dan tidak biasa di hadapan orang lain.

Tentu saja, penampilan kita itu tetap enak dilihat. Karena, meski fashion punya banyak sekali definisi, umumnya definisi itu punya satu kesamaan, yakni mengacu ke konsep penampilan (dan rasa) yang sedap dipandang. Lazimnya, ketika berbicara fashion, batasannya pun kemudian menjadi menyempit, lebih mengacu ke kain, busana, dan pernak-pernik perhiasan yang dapat dikenakan.

Akan halnya statement adalah ‘pernyataan’, yang dalam arti luas adalah ‘bahasa’. Dan, di negeri kita ada ungkapan “bahasa menunjukkan bangsa”, yang pengertiannya lebih ke ciri kasat mata terkait identitas seseorang. Dengan demikian bisa dikatakan fashion statement berkenaan dengan cara nyata seseorang menunjukkan identitasnya lewat produk-produk fashion, terutama lewat bahan pakaian, model pakaian, dan perhiasan yang ia kenakan di hadapan orang lain atau di ruang publik.

Namun, fashion bukanlah sesuatu yang statis atau tidak pernah berubah. Seperti halnya bahasa yang berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat, begitu pula fashion. Fashion senantiasa berubah dari waktu ke waktu, mengikuti perkembangan masyarakat. Bila ada yang mengatakan “tak ada yang tetap di dunia ini kecuali perubahan”, begitulah hakikat fashion.

Itu artinya juga fashion punya sejarah yang sangat panjang, termasuk sejarah “uji-coba” nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Misalnya, apa yang dipandang sebagai hal atau sesuatu yang fashionable beberapa dekade lalu mungkin pada masa kini identik dengan hal atau sesuatu yang norak. Sebaliknya, apa yang dianggap fashionable di masa sekarang boleh jadi dinilai sebagai hal yang “ajaib dan memalukan” di masa lalu.

Identitas Kultural

TAK DAPAT dinafikan, nilai-nilai, norma, dan perkembangan kebudayaan yang hidup di tengah masyarakat luas pada suatu masa memainkan peran penting dalam memengaruhi trend fashion. Kita lihat perempuan di India sebagai contoh.

Mereka memakai sari setelah menikah, karena mereka dulu umumnya tinggal di rumah, sementara suami mencari nafkah keluarga. Namun, kemudian, ketika perempuan India banyak yang sudah mulai berkontribusi terhadap pendapatan keluarga, mereka tidak lagi membatasi diri hanya dengan memakai sari.

Desainer dan industri fashion juga cenderung menghasilkan produk-produk yang mempertimbangkan kesesuaiannya dengan budaya yang hidup di masyarakat suatu daerah. Bila, misalnya, kemudian orang di luar daerah itu akan mengadopsi trend pakaian dari daerah lain, lazimnya orang itu akan mempertimbangkan kesesuaian dengan budaya daerahnya sendiri. Misalnya  ragam bentuk kebaya yang berkembang sesuai dengan budaya pemakainya. Di negeri ini, pada tahun 1900 sampai 1940, kebaya seakan menjadi busana wajib pagi hari bagi para perempuan Belanda, yang kemudian dikenal sebagai jenis kebaya Indo. Kebaya ini dibuat dengan potongan dan gaya mirip kebaya Jawa, namun dengan bagian lengan lebih pendek. Bahannya dari katun dan dihiasi dengan renda, yang umumnya diimpor dari Eropa. Untuk daleman, mereka tidak lagi mengenakan korset ataun pun stagen, namun pakaian dalam yang ringan dan nyaman.Identitas Kelas Sosial

FASHION bukan saja sangat dipengaruhi oleh kultur zamannya, tapi juga oleh kondisi alam, termasuk iklim. Orang-orang Mesir Kuno, misalnya, mengenakan pakaian yang tidak hanya terlihat glamor, tapi juga nyaman bagi mereka, karena iklim negerinya yang panas. Itu sebabnya mereka suka pakaian berwarna putih.

Namun, pakaian serta perhiasan pada masa itu hanya dikenakan oleh orang-orang kaya. Para pekerja dan anak-anak dalam keseharian nyaris telanjang. Dengan demikian, fashion dapat menjadi “alat” untuk menunjukkan identitas kelas dan kekuatan (power) kelas sosial seseorang.

Banyak peneliti menemukan, pakaian dan simbol-simbolnya yang setara dengan itu sepanjang sejarah memang kerap digunakan oleh kelas penguasa untuk mengekspresikan kekuatan dan kekayaan mereka. Bukan hanya zaman Mesir Kuno, pengenaan busana mewah sebagai alat untuk mengekspresikan kekuatan juga dilakukan di Prancis pada abad ke-17. Misalnya pada masa Raja Louis XIV.

Dalam buku Negara Teater: Kerajaan-Kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas (2000), Clifford Geertz memperkenalkan istilah negara teater, negara yang berbasis pada pengertian negara sebagai stateliness, yakni negara yang melakukan penguasaan dan penaklukan terhadap pihak-pihak tertentu, termasuk warganya, bukan dengan cara penaklukkan harfiah dengan kekerasan, tapi melalui simbol dan kemegahan. Juga lewat perayaan dan kebesaran sang penguasa.

Tidakkah cara-cara seperti itu, dengan menciptakan negara teater seperti dilansir Geertz, bisa dikatakan juga sebagai fashion statement?

Sampai sekarang, penggunaan busana mewah untuk menonjolkan kekuatan masih tetap ada. Lihat saja bagaimana rumah mode high-end mendominasi industri fashion selama puluhan tahun belakangan ini. Misalnya Louis Vuitton, Hermès, dan Gucci, tiga merek mewah terkuat di dunia.

Sebagian dari kita mungkin mengetahui bagaimana kisah Hermès terhubung dengan Putri Grace Kelly dari Monako. Pada suatu hari menjelang akhir tahun 1950-an, Grace Kelly menggunakan handbag Hermès hitam dari kulit buaya untuk menyembunyikan perutnya yang sedang hamil dari mata paparazzi —yang sebenarnya bisa dikatakan hampir tidak kentara kehamilannya. Kisah itu kemudian menjadi sangat terkenal, sehingga handbag Hermès itu menjadi simbol kekuatan perempuan dan dikenal dengan sebutan tas Kelly. Begitu juga foto-foto Grace Kelly yang sedang menutupi perutnya dengan handbag Hermès hitam itu, digunakan oleh banyak kaum feminis Eropa sebagai kekuatan simbolis perempuan dalam perjalanan menuju puncak kesuksesan di tengah dunia yang dipenuhi gerombolan pria.

Menurut Pierre Bourdieu dalam bukunya yang berjudul Distinction (1984), fashion dan selera (taste) menjadi suatu penanda yang memproduksi dan memertahankan perbedaan kelas sosial. Selera menjadi suatu konsep kunci yang memberi makna dan isi ke identitas sosial seseorang atau kelompok masyarakat. Penafsiran Bourdieu pada fashion itu dibingkai oleh selera kultural dan perjuangan kelas sosial.

Kelas menengah ke atas, dalam pandangan Bourdieu, lebih berfokus pada nilai-nilai estetika produk fashion dan sejauh mana produk fashion yang mereka kenakan berbeda dengan masyarakat pada umumnya alias tidak pasaran atau bahkan hanya dimiliki oleh satu orang. Sementara itu, kelas pekerja lebih berfokus pada fungsi dan daya tahan produk fashion dalam rentang waktu yang relatif lama. Jadi, fashion dapat dipandang juga sebagai penanda identitas kekuatan ekonomi suatu kelas sosial di masyarakat.

Di sisi lain, cara pandang Bourdieu tersebut bisa dijadikan sebagai “alat ukur” seberapa demokratisnya suatu masyarakat. Semakin demokratisnya suatu masyarakat, penampilan orang-orang di depan publik pun semakin beragam dan, yang paling penting, tidak begitu memerlihatkan perbedaan kelas sosial. Dengan begitu dapat dikatakan fashion merefleksikan pula perkembangan demokrasi di suatu kelompok masyarakat.

Kalau kita amati penampilan dan cara berbusana sebagian besar anggota masyarakat di Indonesia, terutama di kota-kota besar, bisa dikatakan masyarakat kita sudah menjadi masyarakat yang demokratis. Fenomena ini semakin terasa menguat ketika semakin banyak orang Indonesia yang dapat mengakses Internet relatif mudah lewat smartphone dan globalisasi menerpa seluruh dunia.

Internet menyajikan informasi hal-ihwal fashion dari berbagai belahan dunia, yang pada gilirannya berpengaruh juga ke individu-individu dan tak jarang menjadi trend di masyarakat secara luas. Trend globalisasi membuat berbagai produk fashion branded relatif bisa dijangkau berbagai kalangan, yang mendorong industri fashion di Tanah Air lebih terbuka dan sensitif (dalam arti positif) terhadap berbagai perubahan trend fashion yang terjadi di tengah masyarakat.Mahkota Budaya Indonesia

KURT W. BACK, pakar psikologi sosial dari Amerika Serikat, secara konservatif memperkirakan industri fashion global bernilai lebih dari US$ 1,3 triliun, kurang-lebih 2% dari nilai ekonomi dunia. Sementara itu, industri farmasi dunia (yang menyuplai obat-obatan ke berbagai belahan Bumi) “hanya” memiliki nilai setengahnya, sekitar US$ 880 miliar. Karena itu, kata Back dalam artikelnya yang bertajuk “Modernism and Fashion: A Social Psychological Interpretation” (dalam buku Malcom Barnard, Fashion Theory: A Reader, 2007), fashion merupakan salah satu mahkota peradaban; suatu kreativitas sekaligus suatu “seni” yang memungkinkan seseorang dan berbagai kebudayaan mengungkapkan perasaan dan kepribadian mereka.

Di Indonesia, industri fashion pun berkembang pesat sejak beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data survei dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016, sektor ekonomi kreatif pada tahun menyumbang 7,38% terhadap total perekonomian nasional dan sektor fashion berkontribusi sebanyak 18,15% atau nomor dua setelah kuliner.

Lewat keterbukaan komunikasi di era digital, desainer fashion Indonesia juga sudah banyak yang dikenal dan kemudian diakui dunia internasional. Kita bisa menyebut karya Sebastian Gunawan dan Tex Saverio di Asian Couture Federation, karya Rinaldy A. Yunardi di Victoria’s Secret, serta Denny Wirawan di New York Fashion Week sebagai contoh.

Pesatnya industri fashion di Tanah Air juga membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) meningkat. Pada 2016, industri TPT tumbuh 1,2% dan menyumbang devisa negara sebesar US$ 11,87 miliar atau kurang-lebih Rp 160 triliun, menurut data Kementerian Perindustrian. Angka tersebut setara dengan 8,2% dari total ekspor nasional pada tahun 2016.

Bisa diprediksi, industri fashion Indonesia akan terus berkembang menjadi lebih besar lagi. Juga sektor industri yang terkait. Apalagi, Indonesia adalah negara yang “sangat ajaib”. Negeri ini, menurut data Sensus Penduduk 2010, didiami 300 kelompok etnis, yang terdiri dari 1.340 sub-etnis atau suku bangsa, dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa. Belum lagi jumlah bahasa daerahnya yang sangat beragam pula. Ada 1.158 bahasa daerah, dengan 1.211 dialek. Bisa dibayangkan betapa sangat kayanya budaya Indonesia. Bila perkembangan fashion sangat dipengaruhi perkembangan masyarakat dan budayanya, seperti telah diuraikan di atas, jelaslah industri fashion Indonesia menyimpan potensi raksasa. Bila potensi itu dikelola secara profesional dan terintegrasi dengan sektor lain niscaya akan semakin berkontribusi besar terhadapan pertumbuhan ekonomi. Juga akan memberi pengaruh pada tingkat peradaban bangsa, mengingat industri fashion berada di wilayah industri kreatif.Peluang Skala Dunia

PELUANG untuk terus berkembang menjadi sangat besar juga dengan semakin majunya dunia teknologi informatika, yang melahirkan model perdagangan berbasis online atau e-commerce. Menurut Bank Indonesia, nilai transaksi e-commerce di Indonesia pada tahun 2014 mencapai US$ 2,6 miliar atau setara dengan Rp 34,9 triliun. Untuk tahun 2015, menurut situs katadata, nilai transaksi e-commerce Indonesia mencapai US$ 3,5 miliar dan angka ini bila dibandingkan dengan tahun  2011 mengalami lonjakan kurang-lebih 250%.

Untuk tahun 2016, lembaga Statiska mencatat nilai transaksi e-commerce Indonesia meningkat lagi secara signifikan, menjadi US$ 5,65 miliar. Adapun nilai transaksi pada tahun 2017 mencapai lebih dari Rp 85 triliun.

PFS, lembaga konsultan e-commerce global, memperkirakan total transaksi e-commerce di Indonesia pada tahun 2018 ini akan mencapai US$ 11 miliar. Menurut PFS, Indonesia diperkirakan pada tahun-tahun mendatang menjadi salah satu pasar e-commerce dengan pertumbuhan tercepat di Asia-Pasifik.

Pada 12 Oktober 2017 lalu, Kepala Subdit Tata Kelola e-Business Kementerian Komunikasi dan Informatika Nyoman Adhiarna mengatakan, berdasarkan kajian bersama konsultan independen, nilai transaksi e-commerce di Indonesia bisa melampaui US$ 130 miliar atau Rp 1.755 triliun (kurs Rp 13.500) di tahun 2020. “Target tahun 2020 transaksi US$ 130 miliar. Ada yang mengatakan target ini terlalu ambisius, tapi itu sudah dikaji oleh konsultan, bahkan bisa lebih cepat. Ini the biggest ASEAN,” kata Nyoman, seperti dikutip banyak media.

Data Sensus Ekonomi 2016 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, industri e-commerce Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir tumbuh sekitar 17%, dengan total jumlah usaha e-commerce mencapai 26,2 juta unit. Adapun riset global dari Bloomberg menyatakan, pada 2020 lebih dari separo penduduk Indonesia akan terlibat di aktivitas e-commerce.

Sementara itu, McKinsey dalam laporan berjudul “Unlocking Indonesia’s Digital Opportunity” juga mengungkapkan, peralihan ke ranah digital akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga US$ 150 miliar pada tahun 2025. Laporan itu menyatakan pula, 73% pengguna Internet di Indonesia mengakses Internet melalui perangkat seluler. Angka ini diperkirakan akan terus bertambah dalam lima tahun ke depan.

Tahun 2014 lampau, Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) bekerja sama dengan Google Indonesia dan Taylor Nelson Sofnes (TNS) membuat riset untuk mengetahui perilaku orang Indonesia dalam berbelanja secara online dan produk yang disasar. Respondennya berjumlah 1.300 orang dari 12 kota di Indonesia, berusia 18 tahun ke atas. Hasilnya antara lain 78% responden—yang mengaku membeli secara online dalam sebulan terakhir—mengatakan pernah membeli produk fashion secara online. Dan, memang, menurut riset tersebut juga, produk fashion berada di tingkat teratas yang paling sering dibeli secara online. Itulah faktanya!

Padahal, menurut data Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia, pengguna Internet di Indonesia hingga tahun 2013 baru ada 71,19 juta orang. Pada survei terakhir diketahui pengguna Internet di Indonesia pada tahun 2016 ada 132,7 juta orang, dari total populasi yang berjumlah 256,2 juta jiwa, menurut sensus yang diadakan BPS. Dari jumlah itu, 69,9% mengakses Internet dari mana saja, tidak terbatas di rumah, kantor, dan kampus/sekolah. Itu artinya infrastruktur teknologi informatika di Indonesia bisa dibilang cukup memadai.

Sungguhpun begitu, yang memanfaatkan Internet di Indonesia untuk berdagang/berbisnis baru 8,9% dari jumlah pengguna. Jadi, peluang usahanya masih sangat besar.

Yang perlu diingat, jagat Internet adalah dunia tanpa garis perbatasan yang tegas, kalau tidak ingin menyebutkan sebagai borderless. Dengan begitu, pelaku usahanya bisa dari mana saja. Dalam beberapa tahun terakhir ini saja kita alami sendiri betapa agresifnya pelaku bisnis dari Tiongkok melakukan penetrasi pasar di Indonesia lewat jejaring dunia maya.

Di sisi yang sama, bagi pelaku bisnis di Indonesia juga terbuka peluangnya yang sangat lebar untuk melakukan penetrasi pasar di negara lain, juga lewat Internet. Di sinilah peran pemerintah diperlukan, baik melalui regulasi, pengembangan infrastuktur Internet, pembinaan dan pelatihan, maupun bantuan permodalan, terutama untuk start up serta usaha mikro, kecil, dan menengah.

Industri fashion di Tanah Air sudah semestinyalah dijadikan prioritas utama yang perlu didukung pemerintah. Karena, ya, sejumlah fakta yang telah disebutkan tadi.

Potensi industri fashion Indonesia untuk menjadi pemain besar bisnis di Internet dalam skala dunia pun sangat besar. Karena, seperti telah diuraikan di atas, fashion berkaitan erat dengan budaya dan Indonesia adalah negeri dengan warna-warni budaya yang sangat luar biasa. Peluang inilah yang sudah semestinya dilihat pemerintah untuk diwujudkan menjadi sumber devisa, yang pada gilirannya akan membuat bangsa Indonesia lebih sejahtera. Ayo, bergerak! []