KETUA HAK ASASI MANUSIA PBB pada pekan lalu kembali menegaskan, dia sangat mencurigai telah terjadinya tindakan genosida di Rakhine. Sebelumnya, pihak PBB berkali-kali menyatakan, perlakuan yang menimpa warga minoritas muslim Rohingya sebagai “jelas-jelas pembersihan etnis”.

Terkait kecurigaan itu, Penasihat Keamanan Nasional Myanmar menuntut bukti yang jelas. Sementara itu, Liga Nasional untuk Demokrasi, yang menang pemilu dan sekarang berkuasa, menolak bekerja sama dengan tim penyelidik PBB dan terus saja mengeluarkan retorika anti-Rohingya. Partai itu juga menghalangi wartawan yang ingin memberitakan pembunuhan besar-besaran dan eksodus warga Rohingya ke negara tetangga, Bangladesh.

Padahal, partai tersebut dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, pemenang Nobel Perdamaian tahun 1991 dan sejumlah penghargaan internasional lain. Itu sebabnya, ada petisi online yang mendesak Panitia Nobel untuk mencabut penghargaan Nobel Perdamaian dari tangan Suu Kyi.

Namun, sampai sekarang Panitia Nobel di Oslo belum memberikan tanggapan. Respons justru datang Kota Oxford di Inggris. Warga kota itu sepakat mencabut gelar warga kehormatan dari Aung San Suu Kyi. Alasannya: dia dinilai tak berbuat banyak mengatasi krisis kemanusiaan di Rakhine. Hal sama juga dilakukan warga Kota Dublin di Republik Irlandia.

Terakhir, pada awal Maret 2018, Holocaust Memorial Museum di Amerika Serikat mencabut Elie Wiesel  Award yang diberikan kepada Suu Kyi pada tahun 2012 lampau, karena dulu dinilai “kepemimpinannya dan pengorbanannya luar biasa dalam melawan tirani di Myanmar”. Penghargaan tersebut juga sebagai pengakuan atas berbagai upaya Suu Kyi dalam “mewujudkan kebebasan dan martabat rakyat Myanmar”.

Namun, kemudian, setelah pembantaian umat Islam yang terjadi di Rakhine, pihak Holocaust Memorial Museum menilai Suu Kyi “diam saja melihat genosida yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap warga minoritas Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine”. “Ketika militer menyerang Rohingya pada 2016 dan 2017, kami berharap Anda—yang kami anggap peduli dengan hak asasi manusia—melakukan sesuatu untuk mengutuk dan menghentikan operasi militer yang dilakukan secara brutal serta mengeluarkan pernyataan solidaritas bagi warga Rohingya yang diserang,” demikian antara lain isi surat Holocaust Memorial Museum untuk Suu Kyi, seperti diberitakan BBC. Mestinya, ungkap pihak Holocaust Memorial Museum lagi, Suu Kyi menggunakan otoritas moral untuk mengatasi keadaan setelah menyaksikan skala kejahatan yang dilakukan oleh militer terhadap warga sipil Rohingya.

Terkait keputusan Holocaust Memorial Museum mencabut gelar “pahlawan hak asasi manusia“ dari Suu Kyi, Kedutaan Besar Myanmar di Washington mengatakan “pencabutan penghargaan ini sangat disayangkan”. Pihak keduataan juga menuding Holocaust Memorial Museum “diperalat oleh pihak-pihak yang gagal memahami situasi yang sebenarnya terjadi di Rakhine”.

Sejak sejumlah serangan pemberontak telah memicu tindakan keras dari pihak keamanan Myanmar pada Agustus 2017 lalu, lebih dari 650 ribu orang muslim Rohingya meninggalkan Negara Bagian Rakhine di Myanmar. Mereka menuju ke Bangladesh. Penelusuran yang dilakukan sejumlah wartawan dan berbagai organisasi pembela hak asasi manusia telah menemukan bukti-bukti kuat adanya pelanggaran hak asasi berat di Rakhine. Banyak saksi dan korban yang selamat menyatakan, militer dan kelompok militan yang didukung tentara melakukan pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran rumah warga Rohingya.

Pihak militer dan pemerintah Myanmar selalu menolak tuduhan telah melakukan pelanggaran hak asasi berat. Bahkan, pada September 2017, Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing menyalahkan kaum Rohingya atas krisis yang menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi ke Bangladesh. Ia mengatakan kaum Rohingya “tak pernah menjadi kelompok etnis” dan menuduh “ekstremis” berupaya menguasai negara bagian Rakhine, sehingga ia mengajak warga dan media Myanmar untuk bersatu terhadap “masalah” Rohingya. Semua itu dituliskan lewat akun Facebook-nya. Kendati demikian, pihak militer belakangan mengakui keterlibatan personel mereka dalam kasus pembunuhan warga Rohingya. [PUR]