Ilustrasi: Unjuk rasa di depan Kedubes Belanda di Turki/getty

Koran Sulindo – Hubungan diplomatik Belanda dengan Turki tegang karena ucapan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang menganggap negeri kincir angin itu fasis seperti Nazi.

Erdogan saat ini sedang melakukan kampanye untuk memperluas kekuasaannya melalui referendum. Sejak kudeta gagal Juli tahun lalu, Erdogan berhasil mematahkan perlawanan kaum oposisi – para wartawan, akademisi dan pegawai pemerintah. Di sisi lain, Erdogan menginginkan mendapatkan suara dari 4,6 juta warga Turki yang tinggal di berbagai negara Eropa Barat.

Pemerintah Belanda sendiri sedang menghadapi tantangan keras dari Partai Kebebasan pi mpinan Gert Wilders, yang anti akan kaum imigran pada pemilihan Rabu besok. Para politisi di Belanda dan Denmark khawatir akan kehadiran pengamat dari Turki yang dikawatirkan mengancam stabilitas keamanan dalam negeri mereka.

Pada Sabtu (11/3) lalu, otoritas Belanda melarang kedatangan pesawat yang ditumpangi oleh Menlu Turki Mevlut Cavusoglu dengan alasan keamanan. Kedatangan Menlu Turki ke Rotterdam itu untuk persiapan referendum bagi warga Turki di Belanda. Pemerintah Belanda juga melarang warga Turki yang akan memasuki konsulat Turki di Rotterdam.

Akibat tindakan tersebut, Erdogan menyebut tindakan pemerintah Belanda, sama seperti masa lalu di Jerman, Austria dan Swiss pada masa Nazi berkuasa dahulu. “Paham Nazi ternyata masih berkembang di Eropa.“

Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menuntut permintaan maaf dari Turki atas pernyataan itu. Rutte mengatakan negerinya kehilangan 200 ribu warganya saat pendudukan Nazi dalam perang dunia ke-2.

Sementara itu, informasi dari laman kantor berita Anadolu, kantor diplomatik Belanda di Ankara dan Istanbul ditutup sementara dengan alasan keamanan. Selain itu, Duta Besar Belanda untuk Turki sudah meninggalkan Ankara.

Hal yang sama juga diperlihatkan oleh pemerintah Denmark. Hari minggu lalu Perdana Menteri Lars Lokke Rasmussen menyatakan hubungan antara kedua negara bisa membahayakan.

“Pada situasi normal, kami  bisa menerima kedatangan Perdana Menteri Turki di Kopenhagen. Namun dengan pernyataan yang menyerang dari Turki ke Belanda, kemungkinan pertemuan itu tidak akan terjadi, “ ungkap Rasmussen.

Pemerintah Denmark akan mengamati perkembangan di Turki terlebih dahulu, “dengan rasa kekhawatiran adanya pelanggaran asas demokrasi,” katanya, seperti dikutip laman CNN.com.

Belanda bukan negara pertama yang dituduh Erdogan bertindak seperti Nazi. Jerman yang pertama menjadi sasaran kemarahan Erdogan karena sikap sama diambil Angela Merkel. Terdapat sekitar 1,5 juta warga Turki yang tinggal di Jerman, dan mereka merupakan suara yang menentukan.

Hubungan kedua negara juga sempat memburuk, ketika bulan lalu wartawan Die Welt berkebangsaan Turki Deniz Yucel, ditangkap dengan tuduhan terorisme. Pemerintah Turki juga marah ketika tahun lalu parlemen Jerman mengungkapkan pembantaian ratusan ribu warga Armenia oleh Turki pada 1915.

Direncanakan, bulan depan Turki akan melakukan referendum dengan pilihan mengubah sistem parlementer menjadi presidensial. Jika menang, kekuasaan akan terpusat di tangan Erdogan. [NOR]