Setiap bangsa memiliki titik balik dalam sejarahnya—momen ketika rakyat bersatu untuk menentang ketidakadilan dan memperjuangkan perubahan. Filipina mengalami salah satu momen tersebut pada Februari 1986, ketika ribuan orang turun ke jalan dengan satu tujuan: mengakhiri pemerintahan otoriter tanpa menumpahkan darah.
Revolusi Kekuatan Rakyat bukan sekadar peristiwa politik, tetapi juga simbol kekuatan sipil dalam memperjuangkan demokrasi. Bagaimana gerakan damai ini bisa menggulingkan seorang diktator yang telah berkuasa lebih dari dua dekade? Mari kita telusuri perjalanan singkat bersejarah yang mengubah wajah Filipina selamanya.
Sejarah Revolusi Kekuatan Rakyat
Mengutip laman National Today, setiap tanggal 25 Februari, Filipina memperingati Hari Revolusi Kekuatan Rakyat, sebuah peristiwa penting dalam sejarah negara tersebut. Hari libur ini memperingati demonstrasi publik yang terjadi pada 22–25 Februari 1986, yang berhasil menggulingkan pemerintahan tirani dan membuka jalan bagi tatanan politik baru. Revolusi ini menjadi inspirasi bagi banyak negara lain karena berlangsung damai meskipun mendapat tekanan dari pemerintah.
Revolusi ini berawal dari serangkaian demonstrasi damai di Metro Manila, tepatnya di jalan yang kini dikenal sebagai Epifanio de los Santos Avenue (EDSA). Gerakan ini merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos yang represif dan otoriter.
Selama lebih dari dua dekade berkuasa, Marcos menerapkan darurat militer, yang menyebabkan meningkatnya kemiskinan dan maraknya pelanggaran hak asasi manusia. Kecurangan pemilu serta kekerasan terhadap oposisi semakin memicu ketidakpuasan rakyat.
Salah satu pemicu utama revolusi ini adalah pembunuhan terhadap Senator Benigno “Ninoy” Aquino, seorang tokoh oposisi yang dihormati. Pembunuhan ini mengguncang masyarakat Filipina dan memicu gelombang perlawanan. Dalam waktu tiga hari, ribuan orang dari berbagai latar belakang turun ke jalan, memenuhi EDSA. Demonstrasi ini diwarnai dengan kegiatan seperti konser dan doa bersama yang dipimpin oleh pendeta dan biarawati. Suasana damai ini menjadi simbol perlawanan tanpa kekerasan.
Momen Penentu dan Kejatuhan Marcos
Selama demonstrasi, tentara yang awalnya diperintahkan untuk menyerang rakyat mulai membelot. Salah satu insiden bersejarah adalah ketika sebuah skuadron militer yang dikirim untuk menyerang warga di Camp Crane justru membelot dan mendaratkan helikopter di tengah-tengah kerumunan, disambut sorak-sorai rakyat.
Pada pagi hari 25 Februari 1986, di Club Filipino, janda mendiang Ninoy Aquino, Corazon Aquino, dilantik sebagai Presiden Filipina. Upacara pelantikannya diiringi oleh momen simbolis, di mana “Alkitab” yang digunakan dalam sumpah jabatan dipegang oleh ibu mertuanya, ibu dari Ninoy Aquino. Pada malam harinya, Ferdinand Marcos dan keluarganya meninggalkan Filipina, menandai berakhirnya era kekuasaannya yang penuh ketidakadilan.
Revolusi Kekuatan Rakyat tidak hanya mengubah Filipina tetapi juga menjadi inspirasi global bagi gerakan-gerakan perlawanan damai. Peristiwa ini menunjukkan bahwa perubahan politik yang besar dapat terjadi tanpa kekerasan, hanya dengan kekuatan rakyat yang bersatu. Hingga kini, Filipina tetap memperingati hari bersejarah ini sebagai pengingat akan pentingnya demokrasi dan keberanian rakyat dalam melawan tirani. [UN]